Ikan Purba Hidup yang Melebihi Era Dinosaurus Ini Ada di Indonesia

 

Inilah wujud ikan purba Coelacanth (Latimeria menadoensis). Ditemukan di Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara, Pada 30 Juli 1998. Tepatnya, dikedalaman 100 – 150 meter. Ukurannya, panjang 124 sentimeter dengan bobot berat 29 kilogram.

Spesimen basah ikan betina tiada tara ini, terpajang rapi di Laboratorium Herpetologi, Gedung Widya Satwaloka, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor.

Mengapa disebut ikan purba? Ini dikarenakan, ikan yang seumurannya sudah tidak ada lagi. Alias sudah menjadi fosil. Sementara Coelacanth ini masih hidup sampai sekarang. Jenis ini masih ada di perairan Sulawesi Selatan, bahkan hasil penelitian terakhir mendeteksi keberadaannya di Papua. “Masyarakat lokal, tempat ia ditemukan menyebutnya ikan raja laut,” papar Renny Kurnia Hadiaty, Ichthyology Laboratory, Divisi Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, kepada Mongabay Indonesia, baru-baru ini.

 

Kepala eusthenopteron (model) yang hidup di era Devonian. Sumber: Wikipedia

 

Diperkirakan, Coelacanth telah hidup sejak Zaman Devonian sekitar 400 juta tahun silam atau disebut juga Zaman Ikan yang mengacu pada evolusi beberapa kelompok ikan. Pada masa ini, ikan mengalami perkembangan cukup cepat. Ikan besar yang dinamakan dunkleosteus, panjang 6 meter dengan berat 1 ton, muncul pada periodesasi ini.

Begitu juga dengan jenis hiu primitif cladoselache, yang panjangnya 1,8 meter, serta jenis eusthenopteron yang hidup sekitar 385 juta tahun silam. Pada masa ini, hiu dan ikan berahang besar begitu aktif sebagai pemangsa di lautan. Nama Devonian sendiri diambil dari sebuah tempat di Inggris, Devon, daerah yang pertama kali batuannya diteliti.

 

Bila dibandingkan dengan kemunculan dinosaurus di muka bumi sekitar 230 juta tahun silam, dipastikan Coelacanth ini lebih purba lagi umurnya. Selain dijuluki fosil hidup, keajaiban ikan ini adalah sampai sekarang, ia tidak mengalami evolusi bentuk.

Coelacanth merupakan ikan dengan rongga mulut berduri. Sebelumnya, keberadaan jenis ini hanya diketahui dari fosil saja. Hingga akhirnya pada 22 Desember 1938, ia benar-benar terlihat nyata, hidup, di Muara Chalumna, Afrika Selatan. Adalah Marjorie Courtenay Latimer, kurator museum di East London, Afrika Selatan, yang menemukan dan melaporkannya kepada Profesor J.L.B. Smith, ahli ikan dari Universitas Rhodes. Jenis ini pun dinamakan Latimeria chalumnae.

Pencarian terus dilakukan oleh para peneliti. Sampai diketahui, perairan Kepulauan Komoro, di barat Madagaskar merupakan habitat jenis ini. Coelacanth juga, dalam laporan Schart et all (2005), ditemukan di lautan lepas Afrika Selatan, Mozambiq, Kenya, dan Tanzania. Kesemua jenis ini masih mengacu pada Latimeria chalumnae.

 

Dinosaurus merupakan hewan yang dominan pada masanya sekitar 230 juta tahun silam. Sumber: Jurassicpark.wikia.com
Dinosaurus merupakan hewan yang dominan pada masanya sekitar 230 juta tahun silam. Sumber: Jurassicpark.wikia.com

 

30 Juli 1998, spesiemen hidup Coelacanth tertangkap jaring nelayan di perairan Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara, bagian gugusan pulau yang membentuk Taman Nasional Bunaken. Sebelum diketahui ia merupakan ikan purba, masyarakat setempat pernah menjualnya di Pasar Ikan Bersehati, Manado, tahun 1997.

 

Latimeria chalumnae yang berada di Kepulauan Komoro. Sumber: Wikipedia

 

Coelacanth yang tertangkap itu pun berhasil didokumentasikan Mark V Edmann, peneliti asal Amerika yang saat itu bersama istrinya tinggal di Manado. Edmann telah berpesan kepada nelayan setempat, memberikan jenis tersebut kepadanya bila kembali tertangkap. Lokasi terjeratnya ikan ini diperkirakan sekitar 250 – 400 meter dari bibir pantai. Selanjutnya, Edmann dan M. Kasim Moosa, dari Biologi Kelautan LIPI, menyumbangkan spesimen tersebut ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Hal menggembirakan dari temuan Coelacanth ini adalah dikukuhkannya sebagai jenis baru yaitu Latimeria menadoensis. Tentunya, berdasarkan analisa DNA mitokondria dan isopopulasi yang sudah dilakukan para peneliti.

 

Ikan purba Latimeria menadoensis yang berada di Gedung Widya Satwaloka, LIPI, Cibinong, Bogor. Foto: Rahmadi Rahmad

 

Kajian “Morphological Study of The Scales of Latimeria menadoensis”  yang dilakukan Renny Kurniadi Hadiaty dan Ike Rachmatika menunjukkan, ada perbedaan antara Latimeria menadoensis dengan Latimeria chalumnae. Bagian bawah tubuh L. menadoensis dan L. chalumnae pada daerah dorsal dan sisik yang membentang hingga ekor, menjelaskan hal itu.

Untuk warna, L. menadoensis bercirikan cokelat dengan bercak putih tidak berpola pada sisiknya. Sementara,   L. chalumnae berwarna kebiruan dengan noda putih tidak beraturan pula pada sisiknya.

Perbedaan mendasar lainnya adalah, L. menadoensis memiliki jumlah jari pada sirip punggung kedua yang lebih sedikit dibanding     L. chalumnae. Namun begitu, jumlah jari-jari sirip ekor tambahannya malah   lebih banyak. Keseluruhan, dari 23 karakter meristik dan morfometrik yang diteliti pada dua jenis ini, sekitar 52 persennya memang tidak sama.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,