Per 1 Januari 2017 Cantrang Resmi Dilarang, Tapi….

Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawl) dan Pukat Tarik (seinen nets) resmi diberlakukan mulai 1 Januari 2017. Dengan berlakunya peraturan tersebut, seluruh alat tangkap yang biasa digunakan kapal ikan Indonesia (KII) dan masuk kelompok tersebut, terlarang statusnya.

Namun, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Zulficar Mochtar buru-buru mengatakan, pemberlakuan Permen tersebut tak berarti memberlakukan pelarangan secara masif kepada pengguna alat tangkap yang dilarang. Justru, Pemerintah tetap memberi kesempatan kepada mereka.

“Kita beri waktu toleransi selama enam bulan ke depan. Selama waktu tersebut, diharapkan pengguna alat tangkap, khususnya cantrang, bisa segera melakukan penggantian,” ungkap dia di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Zulficar, dalam masa enam bulan ke depan, pihaknya juga akan melakukan pendampingan secara intensif kepada para pengguna alat tangkap yang dilarang untuk bisa melakukan penggantian. Itu artinya, upaya penggantian akan didorong melalui pendampingan, dan tidak hanya dari pemberlakuan Permen.

Selama proses enam bulan tersebut, Zulficar berjanji tidak akan ada penangkapan nelayan ataupun kapal yang masih menggunakan alat tangkap yang dilarang. Namun, agar para pengguna memahami, Pemerintah berjanji hanya akan memberikan teguran saja kepada para pengguna dan memberikan peringatan untuk segera menggantinya.

Janji tersebut juga terungkap dalam Surat Edaran yang dikeluarkan KKP secara resmi pada 3 Januari lalu. Surat itu memerintahkan KKP dan pemerintah daerah melakukan pendampingan selama enam bulan.

“Kami ingin menegaskan kepada publik bahwa Cantrang itu sudah dilarang sejak 1 Januari. Tapi, jika kami terlalu frontal, juga berbahaya. Makanya kami beri pendampingan selama enam bulan ke depan. Tujuannya, agar pengguna bisa memahami dan menggantinya dengan alat yang dibolehkan,” papar dia.

Adapun, isi pokok dari surat edaran itu, mencakup lima hal, yaitu:

  1. Membentuk kelompok kerja penanganan penggantian alat penangkapan ikan (API) yang melibatkan kementerian/lembaga terkait.
  2. Memfasilitasi akses pendanaan dan pembiayaan melalui perbankan dan lembaga keuangan nonbank.
  3. Merelokasi daerah penangkapan ikan.
  4. Mempercepat proses perizinan API pengganti yang diizinkan.
  5. Memfasilitasi pelatihan penggunaan API pengganti. Keenam, tidak menerbitkan surat izin penangkapan ikan (SIPI) baru untuk API yang dilarang.

Dengan adanya himbauan tersebut, KKP menginginkan proses penggantian alat tangkap bisa berjalan dengan baik dan tanpa perlawanan. Ini juga seperti menjawab kritikan dari banyak pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan anggota parlemen yang menganggap bahwa pelarangan alat tangkap seperti cantrang itu akan merugikan nelayan.

Seiring dengan hilangnya ikan awu-awu, pukat awu-awu yang dimiliki warga tidak lagi digunakan sejak 2003 silam. Foto: Wahyu Chandra
Seiring dengan hilangnya ikan awu-awu, pukat awu-awu yang dimiliki warga tidak lagi digunakan sejak 2003 silam. Foto: Wahyu Chandra

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan sempat bersuara, meski peraturan tersebut berlaku pada 2017, namun nelayan sudah merasakan keresahan sejak peraturan tersebut disahkan, atau dua tahun sebelumnya. Hal itu, karena Pemerintah hingga saat ini belum memberikan solusi bagi pengguna alat tangkap yang akan dilarang tersebut.

“Para nelayan terus mengeluhkan akan diberlakukannya Permen tersebut. Di sisi lain, Pemerintah belum memberikan solusi atas penerapan Permen tersebut,” ujar dia.

Daniel mengungkapkan, dari informasi yang diterima Komisi IV, saat ini sedikitnya terdapat 38 ribu kapal yang berasal dari Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Timur. Seluruh kapal tersebut langsung terdampak dari pemberlakuan Permen.

“Ini menyangkut 760 ribu orang nelayan di tiga provinsi tersebut yang terdampak langsung. Itu belum termasuk yang ada di Jawa Barat dan Kalimantan,” jelas dia.

Lebih lanjut Daniel menjabarkan, banyaknya kapal dan nelayan yang terdampak langsung, karena di dalam Permen disebutkan ada 17 jenis alat tangkap yang resmi akan dilarang untuk dioperasikan mulai 1 Januari 2017 nanti.

Akibat kebijakan tersebut, Daniel mengklaim, saat ini sudah ada kerugian ekonomi dengan nominal yang sangat besar, yakni Rp3,4 triliun. Selain itu, akan muncul juga pengangguran di Jabar dengan jumlah 66.621 orang.

“Kebijakan ini telah menimbulkan kerugian secara ekonomi dan sosial. Sedangkan di Kalimantan Barat, informasi yang kita peroleh bahwa ada 3.982 kapal yang tidak bisa melaut,” ungkapnya.

Sehari menjelang tenggat waktu penggunaan cantrang berakhir pada 31 Desember 2016, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI).

Dalam peraturan tersebut ditetapkan, pelarangan penggunaan beberapa alat tangkap ikan kelompok pukat hela dan pukat tarik dan Cantrang termasuk di dalamnya.

 

Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly
Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Pokja Cantrang

Agar proses pendampingan dan penggantian berjalan lancar, KKP sengaja membentuk kelompok kerja (Pokja) yang khusus menangani penggantian alat tangkap cantrang. Pokja tersebut, kata Zulficar, dibentuk sesuai dengan amanat surat edaran yang memfokuskan pada pendampingan dan sosialisasi kepada seluruh aparat di Indonesia tentang tenggat waktu enam bulan.

“Dengan adanya Pokja, maka nanti akan ada koordinasi aparat hukum untuk tidak melakukan penindakan. Tetapi, nanti akan fokus pada pembinaan saja selama enam bulan sampai Juni nanti. Pokja sendiri akan dibentuk dalam seminggu ke depan,” jelas dia.

Saat pokja terbentuk, Zulficar menerangkan, tim akan bekerja bersama dengan aparat dan juga pemerintah daerah yang terlibat langsung di lapangan. Dalam pendampingan tersebut, pihaknya ingin memberikan pemahaman tentang relokasi daerah penangkapan ikan, percepatan perizinan alat penangkapan ikan pengganti yang diizinkan, dan memfasilitasi penggunaan Alat Penangkapan Ikan (API) pengganti.

“Kami juga melakukan pendampingan dengan memfasilitasi akses pendanaan dan pembiayaan melalui perbankan dan lembaga keuangan nonbank,” sebut dia.

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) mengonfirmasi, selama proses sosialiasi pada 2015-2016, pihaknya telah berhasil mendorong pengguna cantrang untuk mengganti dengan alat yang ramah lingkungan. Dari data yang ada, jumlahnya sudah mencapai 3.198 kapal berukuran kurang dari 10 gros ton (GT) dan 2.578 kapal berukuran 10 sampai 30 GT. Adapun alat tangkap cantrang yang sudah diganti sebanyak 2.091 unit.

Untuk akses pendanaan dan pembiayaan, Zulficar menyebutkan, pihaknya memfasilitasi pengguna cantrang dan alat tangkap yang dilarang lainnya untuk memperoleh permodalan melalui Gerai Permodalan Nelayan (Gemonel). Skema yang ditawarkan dalam Gemonel adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Adapun, dana yang ditawarkan itu, kata dia, adalah untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional melaut dan investasi nelayan, seperti pengadaan atau pemeliharaan kapal, alat penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan.

“Dari catatan kami, pada 2016, sudah ada 189 nelayan yang mengajukan permohonan kepada pihak perbankan dengan nilai usulan mencapai Rp46 miliar,” jelas dia.

Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly
Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia untuk bergerak cepat mengganti alat tangkap yang dilarang dengan alat tangkap yang ramah lingkungan.

“Per 1 Januari 2017 sudah berlaku, sementara hingga saat ini penggantian masih belum selesai. Ini harus segera dilaksanakan cepat,” ucap dia.

Menurut Halim, penggantian alat tangkap yang dilarang memang wajib dilakukan segera. Oleh hal itu, karena jika sampai 2017 masih juga belum selesai, dikhawatirkan akan terjadi aksi kriminal kepada nelayan yang sedang melaut.

“Sekarang saja sudah banyak nelayan yang ditangkap karena menggunakan alat tangkap yang dilarang, bagaimana nanti ketika Permen resmi berlaku. Pasti nanti kriminalisasi akan sangat tinggi,” sebut dia.

Agar proses penggantian bisa berjalan lancar, Halim meminta agar Pemerintah, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), membuat mekanisme yang jelas bersama perbankan. Karena, jika tetap berfokus pada penggantian alat tangkap nelayan tradisional, akan terjadi gejolak sosial nantinya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,