Kemenangan Awal Warga Bukit Duri yang Tergusur Atas Nama Normalisasi Ciliwung

Warga Bukit Duri menang gugatan di PTUN Jakarta atas penggusuran wilayah hidup mereka. Meskipun begitu, perjuangan belum berakhir, karena Pemerintah Jakarta, mengajukan banding.

Kabar gembira bagi warga Bukit Duri, Jakarta. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis, (5/1/17) memenangkan gugatan warga Bukit Duri terhadap SK Satpol PP Nomor 1779/-1.758.2 tertanggal 30 Agustus 2016, yang dinilai cacat hukum.

“SP (surat peringatan-red) yang dikeluarkan Pemkot Jaksel dan Pemprov DKI melanggar asas hukum pemerintahan yang baik. Pemkot Jaksel dan Pemprov DKI harus memberikan ganti rugi kepada warga yang rumahnya sudah rata menjadi tanah,” kata Ketua Majelis hakim Baiq Yuliani, kala membacakan putusan.

Pada 29-30 September dan 1-3 Oktober 2016, rumah-rumah warga Bukit Duri dihancurkan paksa. Sebelum itu, teror, intimidasi, stigmatisasi bahwa warga Bukit Duri warga liar, menduduki tanah negara, penyebab banjir, dan masih banyak lagi cap-cap negatif diberikan kepada mereka.

Teror datang dari Pemerintah Kota Jakarta Selatan (Pemkot) dan Pemerintah Jakarta. Kala itu, Gubernur Basuki Tjahja Purnama akrab disapa Ahok menerbitkan surat peringatan (SP) 1, 2 dan SP3 untuk menggusur paksa mereka.

Vera Soemarwi, kuasa hukum warga Bukit Duri mengatakan, ketiga SP terbit dengan alasan warga Bukit Duri melanggar Peraturan Daerah Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Alasan Pemerintah Jakarta, warga membangun di pinggir, hingga menyebabkan Kali Ciliwung tak normal dan dianggap layak gusur. Pemda menilai, normalisasi tak cukup dengan mengeruk kali agar lebih dalam, dan menggali lebih lebar.

Dasar normalisasi yaitu Keputusan Gubernur Nomor 2181 tahun 2014 tentang perpanjangan penetapan lokasi untuk pelaksanaan pembangunan trace Kali Ciliwung dari pintu air Manggarai sampai Kampung Melayu—karena sudah kadaluarsa sejak 5 Oktober 2015.

“Peraturan Gubernur Jakarta No. 163/2012 jo Keputusan Gubernur 2181sebagai dasar hukum normalisasi Kali Ciliwung,” ucap Vera.

Warga Bukit Duri keberatan. Warga menggugat pemerintah daerah karena menerbitkan SP 1, 2, dan 3.  Warga beralasan, surat peringatan telah melanggar asas non-retroaktif.

Kebanyakan warga tinggal di Bukit Duri,  sejak Indonesia belum merdeka. Warga sudah membangun rumah di pinggir kali sejak 1920-an.  Alasan lain, penerbitan surat peringatan bertentangan dengan izin lingkungan, izin kelayakan lingkungan,  Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Perpres No. 71/2012, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-undang HAM.

Rahma Mary, juga kuasa hukum warga kepada Mongabay mengatakan, implikasi pembatalan SP, berarti pemerintah tak sah menggusur.

Warga, katanya,  harus dikembalikan seperti kondisi semula, entah dengan mengembalikan tanah atau ganti rugi uang. Putusan PTUN ini, katanya, akan dibawa sebagai bukti ke sidang class action Bukit Duri yang sedang berlangsung di PN Jakarta Pusat.

Dalam pertimbangan putusan, majelis hakim juga berpendapat perampasan tanah-tanah warga tanpa kompensasi layak. Pembebasan tanah-tanah warga Bukit Duri tak berdasarkan tahap-tahap dalam UU Pengadaan Tanah. Yakni, inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, penilaian ganti kerugian, musyawarah penetapan ganti kerugian, pemberian ganti kerugian, sampai pelepasan tanah instansi.

“Hakim juga berpendapat terjadi pelanggaran asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan keselarasan,” ucap Rahma.

LBH Jakarta, dalam penelitian menemukan 113 kasus penggusuran paksa terjadi di Jakarta dengan 8.145 keluarga dan 6.283 usaha terdampak  pada 2015.

Dari 113 kasus penggusuran 84% tanpa prosedur musyawarah, dengan kekerasan berlebihan melibatkan polisi (67 kasus), TNI (65). Bahkan 64% (72 kasus) penggusuran paksa di Jakarta dibiarkan tanda solusi, 28% (32) relokasi, 8% (9) ganti rugi.

Dari 32 kasus diberikan solusi relokasi, hanya 18 memenuhi kriteria layak, lima tak layak, dan sembilan kasus hanya merelokasi sebagian warga korban penggusuran. Dari sembilan kasus yang mendapatkan ganti rugi, hanya lima memenuhi hak warga untuk mendapatkan ganti rugi layak.

Pada 2016,  berdasarkan penelitian LBH Jakarta pada analisa APBD dan rencana detail tata ruang Jakarta 2016 menemukan 325 lokasi penggusuran PKL, rumah, normalisasi dan ruang terbuka hijau (RTH) terletak di Jakarta pusat (57 lokasi), Jakarta Timur (82), Jakarta Selatan (77), Jakarta Utara (54), Jakarta barat (55).  Rencana penggusuran 2016 naik tiga kali lipat dari 2015.

“Tindakan pelanggaran berat lain adalah sikap Pemerintah Jakarta tak menghormati proses hukum di pengadilan seperti di Bukit Duri,” kata Tigor Hutapea, dari LBH Jakarta.

Meskipun sudah ada perintah pengadilan menyatakan Pemprov Jakarta tak boleh menggusur di Bukit Duri hingga ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, Pemprov arogan menggusur.

Menurut Resolusi Komisi HAM PBB No. 2004/28, penggusuran itu bentuk pelanggaran HAM husus hak atas perumahan dan tempat tinggal.

Menurut Komentar Umum PBB No. 7/1997, katanya,  penggusuran merupakan cara terakhir bila tak ada alternatif lain dalam suatu musyawarah tulus. Apabila penggusuran tetap jalan tanpa suatu musyawarah tulus, jelas pelanggaran HAM.

“Pemerintah harus menghentikan segala bentuk penggusuran atas rumah warga dan membuat regulasi anti penggusuran paksa,” katanya.

Indonesia, katanya, sama sekali belum mengadopsi standar penggusuran dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Apabila situasi ini dibiarkan, akan lebih banyak warga terdampak penggusuran menjadi korban kekerasan dan pelanggaran hak.

Warga Bukit Duri, usai sidang di PTUN Jakarta. Foto: Ciliwung Merdeka
Warga Bukit Duri, usai sidang di PTUN Jakarta. Foto: Ciliwung Merdeka

Sandyawan Sumardi, selaku pengugat menyambut gembira putusan PTUN Jakarta. Penggusuran Bukit Duri, katanya, hanya contoh kecil, dari berbagai penggusuran di negeri ini. Ada proyek bandara, pabrik semen, jalan tol dengan pola sama. Reklamasi juga hampir terjadi berbagai daerah, atas nama kepentingan umum dan pembangunan.

“Keberatan Ahok memenuhi hak warga, karena akan merusak konsep pembangunan kapitalisme yang sudah direncanakan,” katanya kepada Mongabay.

Dia bilang, warga menunutut pemulihan hak setelah pembatalan SP dan secara konkrit harus segera pemenuhan hak kompensasi. “Penggusuran ini berkaitan kebutuhan dasar masyarakat, tempat tinggal, dekat pekerjaan, hak atas ruang hidup dan hak atas tanah yang dibutuhkan masyarakat.”

Penggusuran dengan alasan kepentingan umum, proyek normalisasi, jalan tol, RTH, reklamasi, katanya, dengan mengorbankan rakyat kecil, akan merusak tatanan bangsa.

“Ketidakadilan dan diskriminasi bukan hanya pada keagamaan, ras, dan suku. Diskriminasi terhadap warga miskin itu juga pelanggaran HAM,” kata Sandyawan.

Kampung susun

Dia bersama Komunitas Bukit Duri dan dibantu pertimbangan akademik dari Forum Akademisi dan Praktisi Pecinta Kampung Kota sudah pernah mengusulkan konsep Kampung Susun Manusiawi Bukit Diri 16 Oktober 2012. Usulan ini disetujui Joko Widodo ketika baru menjadi Gubernur Jakarta.

Konsep desain kampung susun, pada dasarnya bangunan pemukiman inkramental, bahkan kampung tumbuh mengadopsi pola kehidupan kampung tradisional. Dibangun partisipatif, sarat ikhtiar pelestarian alam, lingkungan hidup sehat, wirausaha sosial-ekonomi, ruang-ruang sosial, sistem komunikasi terbuka, tersedia ruang-ruang seni-budaya dan religiositas warga.

“Usulan kami menyertakan pakar hidrologi, ahli tata air, arsitek, praktisi, akademisi, urban planner  hebat, ekonom hebat, dan sejarawanagar tidak kehilangan akar kehidupan,” ucap Sandyawan.

Walaupun sudah tergusur,  namun perjuangan mereka masih akan terus berlanjut. Apalagi,  Pemda akan banding atas putusan PTUN Jakarta ini.

 

 

 

Normalisasi  Ciliwung lanjut?

Apa kata Ahok sial kemenangan warga Bukit Duri ini? “Kita tunggu aja nanti,  proses hukumnya ada. Pasti lanjut (normalisasi-red). Kita akan pelajari salahnya kenapa, kan memang kadang-kadang ada surat (tanah) yang salah,” katanya kepada wartawan, Jumat, (6/1/17).

Ahok enggan berkomentar banyak lantaran dia bukan tak gubernur aktif.  Namun, katanya, ganti rugi selama ada barang tak masalah. “Saya enggak bisa komentar, saya enggak bisa masuk. Nanti kalau udah masuk saya bisa lihat.”

Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi mengatakan, akan banding atas putusan PTUN ini. “Kita mau banding, kita lagi siapin,” katanya.

Warga Bukit Duri, katanya, tak memiliki lahan itu hingga Pemprov Jakarta tak perlu memberikan ganti rugi. Kasus, katanya,  belum berkekuatan hukum tetap.

“Jika sudah inkrach baru bisa dilakukan. Terlebih tak gampang melakukan, karena harus diajukan terlebih dahulu anggaran ke DPRD. Jika ganti rugi, apa yang dimiliki mereka? Tanah juga tanah kita, mana suratnya? Kita disuruh bayar enggak ada suratnya?” ucap Tri.

Haris Azhar Koordinator KontraS mengatakan, senang mendengar kemenangan gugatan hukum warga di PTUN Jakarta. Dia bilang, wajar karena banyak warga secara historis dan legal punya hak tinggal di sana. Penggusuran adalah kejahatan atas nama kewenangan jabatan publik.

“Masyarakat masih ada tugas menggugat lebih lanjut akibat praktik pelanggaran HAM ini. Ada banyak kerugian, materil dan immaterial,” katanya.

Ke depan,  masih mungkin penggusuran karena ada kecenderungan pejabat-pejabat menghiraukan putusan pengadilan. Haris mencontohkan, reklamasi Pantai Utara Jakarta, putusan Mahkamah Agung untuk Kendeng di Rembang. Belum lagi, karena ada banyak kontrak-kontrak sepihak pemerintah daerah dengan pengusaha tanpa menghiraukan hak masyarakat.

“Saya pesimis dengan rejim pemerintah ini, tidak punya perspektif membangun nilai kemanusiaan dan lingkungan,  yang ada cuma bangun infrastruktur.”

Seharusnya, kata Haris,  Pemda Jakarta, koordinasi dengan Komnas HAM dan Ombudsman untuk menghitung kerugian warga. “Bukan malah banding.”

Konsep dan denah Kampung Susun Bukit Duri. Foto: Ciliwung Merdeka
Konsep dan denah Kampung Susun Bukit Duri. Foto: Ciliwung Merdeka
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,