Kejahatan Lingkungan di Aceh Sepanjang 2016 Menurun. Begini Penjelasannya

Kepolisian Daerah (Polda) Aceh menyatakan kejahatan lingkungan sektor kehutanan maupun perdagangan dan perburuan satwa liar pada 2016 menurun dibandingkan 2015. Untuk tindak pidana kehutanan ada 36 kasus sedangkan kejahatan satwa liar ada 3 kasus sepanjang 2016.

“Ada penurunan hingga 20 persen dibandingkan 2015. Sementara kasus satwa liar dilindungi berkurang sekitar 40 persen,” jelas AKBP. Erwan, Kasubdit IV/Tipidter Direktorat Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Aceh, Rabu (11/01/17).

Pada 2016, Polda Aceh telah menangani tiga kasus tindak pidanan hutan di wilayah Kabupaten Aceh Besar yang sudah P 21. Serta satu kasus yang sudah putusan vonis di Pengadilan Negeri Bireun, terkait perdagangan harimau sumatera.

“Hal ini menjadi langkah maju dalam hal penegakan hukum sumber daya alam dan konservasi di Aceh. Pencapaian ini berkat kerja sama semua pihak, BKSDA Aceh, Dinas Kehutanan Aceh dan lembaga swadaya masyarakat.”

Polda Aceh juga telah menyediakan nomor khusus 08116771010 untuk masyarakat yang ingin melaporkan dugaan kejahatan lingkungan. “Kita berharap, kelestarian dan keanekaragaman hayati di Aceh dan secara luas terjaga,” papar Erwan.

Perburuan harimau sumatera tetap terjadi dikarenakan permintaan yang tinggi dari pasar gelap baik dalam bentuk awetan maupun organ tubuh. Foto: Junaidi Hanafiah
Perburuan harimau sumatera tetap terjadi dikarenakan permintaan yang tinggi dari pasar gelap baik dalam bentuk awetan maupun organ tubuh. Foto: Junaidi Hanafiah

Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crime Unit (WCU) mengakui, kasus perdagangan satwa liar dan perburuan mulai menurun di Aceh. Namun belum bisa diyakini, apakah ini strategi baru yang digunakan para penjahat lingkungan tersebut. “Bisa jadi, modusnya berubah karena cara kerja mereka rapi.”

Irma menambahkan, WCU sangat mengapresiasi penegak hukum di Aceh yang ikut memusnahkan barang bukti kerangka dan kulit harimau sumatera setelah vonis dibacakan. “Ini jarang terjadi, biasanya setelah vonis, barang bukti tidak diketahui keberadaannya.”

Selama ini, Polda maupun Polres Aceh, cepat merespon jika ada informasi kejahatan, terkait pemburuan maupun perdagangan satwa liar. “Polda dan Polres sangat cepat merespon setiap laporan yang kami sampaikan.”

Barang bukti kulit harimau sumatera dan belulangnya yang disita Polda Aceh dari pelaku di Cot Gapu, Kabupaten Bireuen, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Barang bukti kulit harimau sumatera dan belulangnya yang disita Polda Aceh dari pelaku di Cot Gapu, Kabupaten Bireuen, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Kasus

Hal berbeda disampaikan Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Muhammad Nur, yang menyatakan  kejahatan kehutanan bukan menurun, tapi sedikitnya kasus yang ditangani. Padahal pada 2016, banyak kejahatan kehutanan yang terjadi. “Bukan hanya pada 2016, di 2015 juga terjadi hal serupa.”

Muhammad Nur mengatakan, pada 2016, kepolisian bersama polisi kehutan, menangkap sejumlah pelaku illegal logging, baik tangkap tangan, maupun saat dibawa dengan becak atau truk.

“Ada kejadian di Bener Meriah, Aceh Selatan, Aceh Tamiang, Aceh Timur dan beberapa daerah lainnya. Bahkan, di Aceh Timur ada pekerja koperasi tertangkap tangan menebang kayu. Tapi, kita tidak tahu bagaimana perkembangan kasus tersebut, apakah sudah ada keputusan pengadilan atau pemeriksaan dihentikan.”

Menurut Muhammad Nur, yang menyedihkan adalah kasus perambahan hutan gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, bersama kepolisian telah menangkap pelaku, termasuk menemukan satu alat berat di lokasi. “Tapi, yang membingungkan, alat belat tersebut hilang entah kemana. Pelaku yang membayar perambahan juga tidak ditangkap hingga sekarang.”

Suaka Marga Satwa Rawa Singkil terus dirambah. Penegakan hukum harus dilakukan. Foto: Junaidi Hanafiah
Suaka Marga Satwa Rawa Singkil terus dirambah. Penegakan hukum harus dilakukan. Foto: Junaidi Hanafiah

Hasil monitoring yang dilakukan Forum Konservasi Leuser (FKL) pada Januari – Juni 2016, menemukan data yang mengejutkan. Ada 2.398 aktivitas ilegal di hutan yang masuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di 12 Kabupaten/Kota di Aceh.

“Selama enam bulan, ada 984 kasus pembalakan di KEL dengan volume kayu 3.641,21 meter kubik,” jelas Manager Konservasi FKL, Rudi Putra.

Rudi menjelaskan, di KEL juga terjadi pembukaan jalan ilegal yang mencapai 53 ruas. Ini terjadi di Aceh Tenggara, Nagan Raya dan Aceh Timur. “Kami juga menemukan 279 perburuan liar dengan 250 perangkap serta 46 pelaku,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,