Senter dan Cutter, Perkasa Selamatkan Sumber Daya Kelautan Indonesia. Kok Bisa?

Ancaman kehilangan nyawa disertai keterbatasan fasilitas, tak menghalangi tekad para petugas yang bekerja di wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk mengamankan sumber daya kelautan berpindah tangan ke negara lain secara ilegal. Berkat tekad kuat dan kerja ekstra keras dari mereka, Indonesia sukses mengamankan sangat banyak sumber daya kelautan.

Badan Karantina Ikan, Pengandalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan, sepanjang 2016, sumber daya kelautan yang berhasil diselamatkan di wilayah perbatasan dan pintu masuk atau keluar Indonesia, nilainya mencapai Rp306,8 miliar.

Nilai yang berhasil diselamatkan tersebut, menurut Kepala BKIPM Rina, meningkat sangat tajam dibandingkan 2015 yang hanya mencapai Rp37,2 miliar saja. Itu artinya, kata dia, ada peningkatan hingga 825 persen dibandingkan capaian serupa pada tahun lalu.

“Apresiasi harus diberikan kepada para petugas yang bekerja langsung di lapangan. Mereka rela bertaruh nyawa untuk menyelamatkan sumber daya kelautan dari Negara ini. Dari kegigihan mereka, Negara bisa menyelamatkan banyak sumber daya kelautan,” ungkap dia di Jakarta, Rabu (12/1/2017).

Rina mengungkapkan, selain keberanian dan kegigihan, senjata utama yang digunakan para petugas saat menghadang para penyelundup sumber daya kelautan, adalah cutter atau pisau lipat. Senjata tersebut, selalu dibawa, karena digunakan untuk membuka barang yang akan diselundupkan.

“Kemampuan BKIPM itu hanya bermodalkan cutter dan senter yang berfungsi untuk menerangi saat pemeriksaan,” tutur dia.

Selain cutter yang sudah jelas fungsinya, Rina menjelaskan, senter selalu masuk dalam daftar senjata yang harus dibawa petugas BKIPM di lapangan, karena barang tersebut bisa menjadi alat penerangan yang sangat bermanfaat.

“Kita tahu, kalau produk perikanan dan kelautan itu pasti dikirimnya pada malam hari. Itu dilakukan karena malam hari relatif sepi, jalan raya juga sepi dan suhu udara lebih rendah. Itu cocok untuk menjaga ikan tetap segar. Karenanya, senter sangat diperlukan,” sebut dia.

Karena tidak bisa menindak pelaku penyelundupan, Rina mengatakan, setiap operasi di lapangan, petugas BKIPM selalu menggandeng aparat setempat seperti Dinas Perhubungan, Polairud, dan juga TNI.

Sebanyak 1.171 ekor arwana berhasil digagalkan penyelundupannya ke Singapura oleh tim dari BKIPM KKP di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Foto : M Ambari
Sebanyak 1.171 ekor arwana berhasil digagalkan penyelundupannya ke Singapura oleh tim dari BKIPM KKP di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Foto : M Ambari

 

Tak Hanya Di Perbatasan

Akan tetapi, Rina menambahkan, meski nilainya mencapai Rp306,8 miliar, namun upaya penyelundupan sumber daya kelautan itu tidak seluruhnya terjadi di wilayah perbatasan. Dia memaparkan, dari 157 kasus yang terjadi pada 2016, 15 kasus terjadi di perbatasan.

Itu artinya, menurut Rina, sebagian besar kasus penyelundupan terjadi wilayah lain yang bukan perbatasan. Wilayah lain yang dimaksud, adalah pintu masuk dan keluar negara melalui pelabuhan laut dan bandar udara.

“Penyelamatan sumber daya kelautan dan perikanan tersebut, mencakup yang berasal dari jalur ekspor, impor, dan antar area. Dan semuanya dilakukan secara ilegal,” jelas dia.

Adapun, sumber daya ikan tersebut, dari data yang dirilis BKIPM, mencakup benih lobster, kepiting/lobster/rajungan bertelur, kepiting dan lobster yang berukuran kurang dari 200 gram, mutiara, dan koral.

Selain itu, ada juga produk hasil perikanan lain seperti kuda laut, penyu, kura-kura, sirip hiu, ketam tapak kuda, ikan hias, dan lain sebagainya.

Dari jumlah kasus yang berhasil digagalkan itu, Rina merinci, 17 kasus sudah mendapat putusan pengadilan, 1 kasus sudah masuk ke kejaksaan, 2 kasus sampai tahap P19 (pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi), 14 kasus dalam proses penyidikan, dan 119 kasus dalam proses pengumpulan bahan keterangan dan pelepasliaran ke alam.

“Tarakan di Kalimantan Utara menjadi lokasi yang paling banyak ditemukan kasus. Terutama, karena di sana banyak kepiting atau lobster bertelur. Jadi banyak yang diselundupkan,” ungkap dia.

Kepala Pusat Karantina dan Keamanan Hayati Ikan BKIPM Riza Priyatna menjelaskan, masuknya Tarakan sebagai daerah yang paling banyak digagalkan upaya penyelundupan, tidak lain karena di wilayah tersebut sudah diberlakukan Peraturan Menteri (Permen) KP Nomor 56 Tahun 2016 yang membolehkan ekspor kepiting bertelur.

“Tetapi, Permen tersebut mengatur kapan itu ekspor bisa dilakukan. Tidak boleh sembarangan di setiap waktu. Itu yang disalahkgunakan oleh oknum,” ucap dia.

Kepiting bakau adalah anggota suku portunidae yang hidup di ekosistem hutan bakau. Kepiting yang mempunyai nilai ekonomis menjadi salah satu unggulan dari Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. foto : Donny Iqbal
Kepiting bakau adalah anggota suku portunidae yang hidup di ekosistem hutan bakau. Kepiting yang mempunyai nilai ekonomis menjadi salah satu unggulan dari Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. foto : Donny Iqbal

Sesuai Permen baru tersebut, kata Riza, kepiting bertelur boleh dikirim ke luar negeri asalkan dilakukan melalui jalur udara dan rutenye ke Singapura dulu. Pengiriman tersebut, boleh dilakukan pada rentang waktu antara Desember hingga Februari atau sekitar tiga bulan saja.

“Di luar itu, tidak boleh ada pengiriman. Kami berikan kelonggaran, karena di rentang waktu tersebut, ada perayaan warga Tionghoa seperti imlek yang selalu menggunakan kepiting bertelur sebagai salah satu sajiannya,” jelas dia.

Logam Berat Jadi Halangan

Berkaitan dengan kinerja ekspor produk kelautan dan perikanan, Kepala Pusat Sertifikasi Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan BKIPM Widodo Sumiyanto menerangkan, sepanjang 2016, terjadi penolakan ekspor hingga 18 kasus oleh 38 negara mitra yang sudah terikat perjanjian mutual recognition agreement (MRA) dengan Indonesia.

“Penolakan terjadi karena berbagai hal, salah satunya karena oil fish (dari sejenis ikan makarel) yang mengandung merkuri,” ucap dia.

Penolakan karena kasus oil fish tersebut, kata Widodo, terjadi di Rusia dan mencapai empat kali atau terbanyak dibandingkan negara lain yang menjadi mitra. Sementara, negara seperti Belanda, Perancis, Tiongkok, dan Kanada tercatat melakukan penolakan maksimal hingga tiga kali.

Sementara, negara seperti Jerman, Spanyol, dan Italia melakukan penolakan maksimal hingga dua kasus. Dan untuk penolakan sebanyak satu kasus dilakukan oleh Norwegia dan Vietnam.

Ikan makarel yang digunakan untuk membuat oil fish. Foto : wisegeek.com
Ikan makarel yang digunakan untuk membuat oil fish. Foto : wisegeek.com

“Kita bersyukur, karena penolakan ini masih di bawah 10 kasus per negara. Ini menjadi kinerja terbaik buat BKIPM juga,” jelas dia.

Tentang merkuri yang ada dalam oil fish, Widodo menambahkan, itu tidak bisa dihindari penyebarannya, karena logam berat tersebut ada dalam siklus rantai makanan yang ada dalam ikan.

“Jadi, logam berat itu bisa ada karena ikan kecil memakan plankton, dan ikan kecil kemudian dimakan ikan besar, dan akhirnya itu ikan besar dimakan oilfish. Itu sudah menjadi rantai makanan,” tandas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,