Begini Mereka Kelola Sampah, Lingkungan Bersih, Dompet Bisa Berisi

Sore itu, Kota Bekasi, baru diguyur hujan. Bau tengik sampah menyergap. Pagi maupun sore sehabis hujan, bau tak sedap sampah biasa dirasa sebagian warga Bekasi. Padahal, rumah saya 10 km dari tempat pembuangan sampah Bantar Gerbang.

Polusi udara tak terhindarkan. Terlebih saat truk-truk berjejer keluar Tol Bekasi Barat membawa 6.270 ton sampah per hari oleh Jakarta. Angka ini sama dengan berat 25 paus biru dan menutupi empat kali lapangan sepak bola.

Berdasarkan data Dinas Kebersihan Jakarta,  79% sampah Jakarta dikirim dan diolah di TPST Bantargerbang, sisanya didaur ulang ataupun tak terangkut, 54% sampah organik, yang lain kertas, plastik, kaca, logam dan lain-lain.

Kebiasaan warga memilah sampah dan mendaur ulang masih sangat minim. Hampir tiga perempat warga membuang sampah langsung di dalam bak sampah.

Data Waste4Change pun menyebutkan skala rata-rata keinginan masyarakat Jakarta bertanggung jawab atas sampah minim, 7,6 dari skala 10. Angka ini sebenarnya memberikan harapan bagi kondisi lingkungan sekitar.

Kini, ada 420 bank sampah di Indonesia. Pemerintah sedang menggalakkan pengelolaan bank sampah berbadan hukum, diusung Kementerian Koperasi dan UKM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Produk daur ulang dari Bank Sampah My Darling. Foto: Lusia Arumingtyas
Produk daur ulang dari Bank Sampah My Darling. Foto: Lusia Arumingtyas

 

Bank sampah

Namanya Bank Sampah My Darling di Jakarta Selatan,  dengan penggagas, Yenni Mulyani Hidayat. Yenni gemas dengan banyak sampah berceceran di jalan, sampai akhirnya terbersit ide bikin daur ulang sampah di rumah. Awalnya, ide ini muncul 2010, saat perempuan asli Cianjur, Jawa Barat ini aktif dalam kegiatan PKK.

Ihh orang gila dia, mungutin sampah kaya pemulung. Ga punya duit, gembel,” katanya mengenang cemooan orang kala melihat dia memungut botol bekas di Pasar Rumput, Jakarta Selatan.

Cemooh kerab datang  tetapi dia tak peduli. Di terus mengumpulkan sampah untuk daur ulang.

Terinspirasi dari program televisi dia mengajak tiga teman mencari wadah ngerumpi dan menghasilkan sesuatu. Ketiga temannya adalah Sisi, Kendah dan Faridah.

Sebuah garasi tak terpakai miliknya disulap menjadi basecamp mereka. Mulai botol plastik, bungkus kopi, botol minuman ringan, koran bekas hingga kaleng bekas . Mereka mendaur ulang menjadi barang bernilai jual tinggi.

”Hai My Darling kemana aja lo, udah lama ga keliatan,” sapaan itulah yang seringkali keluar saat bertemu. Hingga muncullah penamaan bank sampah ini jadi My Darling, yakni Masyarakat Sadar Lingkungan. Itu semua bermula dari keseharian para penggagas.

Setengah perjalanan, pada tiga bulan pertama, dia berjuang sendirian. ”Ada yang buat bank sampah sendiri, ada yang bilang ngapain mengurusi sampah yang tidak ada duitnya.”

Dalam menjalankan bank sampah ini sedikit tertatih dan harus penuh kesabaran. Kini,  penghasilan per bulan bisa puluhan juta, sekitar Rp5-20 juta.”Duit dari sampah itu enak, tak mengeluarkan modal banyak.”

Menurut dia, pada prinsipnya kerja keras dan membuka jaringan. Yenni sering melanglang buana dari satu pameran ke pameran lain, bukan berharap barang laku tetapi membuka jaringan. Tak jarang, berkat produk maupun keterampilannya, dia sering keliling Indonesia bahkan hingga Singapura menyebarkan virus positif ini. Pameran juga sebagai sarana mengedukasi masyarakat dengan cara interaktif.

Yenni tak hanya memungut sampah di jalan, juga sering mendapatkan dari warung-warung kopi, rumah anggota DPR, perusahaan maupun warga asing yang tinggal di Indonesia.

”Kami tak bayar, biasa kami tanya mereka butuh apa, kemudian saya buatkan entah tas, tudung saji atau pernak-pernik daur ulang lain,” katanya.

Dia menyebutkan beberapa penyumbang sampah seperti orang-orang KBRI, Raam Punjabi, Anis Matta, Kantor Manulife dan lain-lain.

Tiap hari dia terus memperkaya ilmu, mulai belajar dari youtube, kenalan sana sini maupun melatih keuletan tangan, mulai bikin toples permen, souvenir, kotak tisu, tudung saji, karpet, jam dinding, lampion dan hiasan bunga. Harga bervariasi mulai Rp500 hingga Rp500.000.

Dia sering promosi dengan menggunakan barang-barang daur ulang. ”Mereka suka, mereka tanya dan beli, saya buka jaringan lagi.”

Sampai kini, katanya, bank sampah masih minim meski sudah ada aturan. Bank sampah bagaikan siuman, dicari ketika ada even tertentu seperti adipura. Awalnya, dia sempat didukung pemerintah, namun akhirnya memilih independen.

Jika pemerintah ingin berbicara tentang zero waste, katanya, hanya omong kosong. Baginya, pemerintah perlu serius dan konsisten dalam menjalankan amanah perundang-undangan, salah satu UU Pengelolaan Sampah.

Bagi Yenni, beraksi nyata harus segera. Setidaknya, itulah yang kini dia lakukan. ”Jadikan memanfaatkan sampah sebagai gaya hidup, hingga kita tak sadar sekaligus peduli lingkungan,” katanya.

Para relawan di bank sampah Xie Li. Foto: Lusia Arumingtyas
Para relawan di bank sampah Xie Li. Foto: Lusia Arumingtyas

Masih di Jakarta Selatan, setiap minggu keempat dalam setiap bulan, halaman depan SMP Surya Dharma,  ramai. Ada sekitar lima orang, beberapa menggunakan masker dan sarung tangan. Mereka memilah sampah berdasarkan jenis, kardus terkumpul menjadi satu, botol-botol juga menjadi satu. Sampah-sampah ini masuk ke Bank Sampah Xie Li, kelolaan Yayasan Tzu Chi. Xie Li, berarti gotong royong.

Nasandi, relawan Yayasan Tzu Chi ini seorang apoteker. Awalnya dia hanya mengisi waktu luang membantu pengobatan sesama. Ada bank sampah, tak jarang relawan menjadikan rumah sebagai depo pelestarian lingkungan. Saat itu, Selatan belum ada relawan, Nasandi menawarkan diri dan memilih SMP Surya Dharma sebagai tempat pengepul sementara.

”Biasa 30-50 orang, tergantung, biasa relawan dari Depok dan Jakarta Selatan,” katanya.

Sampah-sampah biasa ada yang mengantar, ada juga yang menjemput. Beberapa hari sebelumnya, biasa dia membagikan pamflet di sekitar wilayah dengan menginformasikan waktu dan tempat pengumpulan.

”Kita ingin masyarakat berpikir ulang terkait sampah, hingga berkurang dan jadi lifestyle mereka.”

Penolakan sering terjadi. Para relawan harus siap mental. Nasandi bilang, mencari relawan gampang-gampang susah.

”Kita bekerja dengan hati dan pendekatan cinta kasih kepada sesama dan lingkungan,” katanya. Keberagaman identitas, kepercayaan maupun suku melebur menjadi satu, terbuka untuk umum.

Dengan ada bank sampah,  setidaknya sampah berkurang. Sampah rumah tangga terpilah. Setelah terkumpul, sampah-sampah dibawa ke gudang khusus di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat.

Sampah-sampah yang dikumpulkan ke Bank Sampah Xie Li. Foto: Lusia Arumingtyas
Sampah-sampah yang dikumpulkan ke Bank Sampah Xie Li. Foto: Lusia Arumingtyas
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,