Cerita Para Penjaga Lahan Gambut dari Jambi

Desa Arang-arang, Jambi,  pada Oktober 2015, luluh lantak oleh kebakaran.  Hampir seluruh ladang dan kebun di desa ini habis terbakar. Sekitar 50an kilometer dari Kota Jambi, saya bertemu  Selaiman di pinggir padang rumput teriti–mirip batang tebu seukuran jari orang dewasa–menjulang hampir tiga  meter.

“Ini dulu habis (terbakar) semua,” katanya.

Wak Den, sapaan akrab Selaiman, menunjuk di tengah padang teriti ada lubuk selalu tergenang air meski kemarau. Di dalamnya ada ratusan kilogram ikan gabus hidup liar, sekali tangkap dengan strum, bisa dapat satu pikul (100kg).

Dia menduga ada pemancing ikan dari desa tetangga yang sengaja membakar padang teriti untuk buat jalan  menangkap ikan, kadang membuat api untuk membakar ikan tangkapan. Tak pelak bara api itu ditinggal  begitu saja.  Celakanya, padang teriti di lahan gambut.

“Lho kok ada api,” kata Bahari, Kades Arang Arang, menceritakan kebakaran. Malam itu, sekitar pukul 22.00 dia mau pergi ke kebun pisang di kampung sebelah.

Warga bergotong-royong memadamkan api. Mereka pakai gedebok pisang seukuran betis. BNPB juga ikut turun tangan. Semua sibuk memadamkan api hingga pagi.

“Tapi tak bisa dipadam. Ini habis galo sampai sano,” kata Bahari menunjuk ujung padang teriti. “Air kering susah nak madaminnyo.”

Selang hitungan hari, di  perkebunan sawit perusahaan PT Sumber Tama Nusa Pertiwi, milik Makin Grup juga terbakar. Lokasi ada di RT10, RT11, RT12, RT13, dan RT14 di Kampung Trans Arang-arang,  hanya terpisah sungai dengan Desa Arang-arang.

Anggota BNPB, TNI, Manggala Agni dan  warga kampung  pontang-panting padamkan api yang mendekat di perkebunan warga. “Jadi kita selametin kebun masyarakat dulu. Tingggi api itu setinggi daun itu, lima meter,” katanya.

Kebakaran menggila. Meluas ratusan hektar hingga perkebunan sawit warga di RT6, RT7, RT8, dan RT9. Padang teriti, kebun sawit, sampai kandang kambing dan kandang sapi habis terbakar.  “Baru kali inilah api sadis nian di Arang-arang.”

Kades bilang, setiap tahun sejak 2011-2015, saat kemarau selalu kebakaran. Selama itu pula dia selalu mengirim surat pada perusahaan untuk antisapasi api.

Makin Grup punya izin 8.000 hektar kebun sawit . Warga kampung punya lahan sekitar 4.000 hektar—ladang, kebun sawit hingga kebun duku. Bahari bilang, perusahaan harus punya penjaga kebakaran yang terus memantau api 24 jam.

Sekitar 12.000-an hektar dari luas Desa Arang-arang adalah lahan gambut dalam,  diperkirakan sekitar lima meter. Saat kebakaran besar tahun lalu, lebih  300 hektar kebun sawit dan padang rumput di Arang-arang habis terbakar. “Paling banyak di lahan gambut.”

Awal Januari 2016, Selaiman dan puluhan warga Desa Arang-arang, Puding, Pulau Mentaro, Pematang Raman ikut pelatihan dari Pusat Diklat Kehutanan untuk masyarakat peduli api. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dibantu lembaga swadaya masyarakat buat pelatihan masyarakat peduli api (MPA) untuk menghalau kebakaran lahan. Beberapa desa, diberi bantuan sumur bor untuk pemadaman api.

Agustus 2016, pukul 23.00 , padang teriti di Arang-arang kembali terbakar. “Sayo balik dari Jambi, apo merah-merah tu. Telponlah budak MPA. Api tu,” kata Bahari .

Dia menelepon Salihin, Ketua MPA Arang-arang. Selaiman  dapat kabar langsung menggedor tujuh rumah anggota MPA. “Ada musibah, saya bilang gitu.” 

Malam buta, Selaiman dibantu delapan warga  MPA dan seorang anggota Babinsa sigap padamkan api degan gedebok pisang. “Pontang panting, kejar sana, kejar sini,” ucap Selaiman.

Di perbatasan kebun duku, batang teriti dibabat meski sudah ada tanaman nanas yang sebelumnya ditanam untuk sekat bakar. Mereka  takut api merembet ke kebun duku. Hitungan jam, api takluk.

Wak Den tetap aktif jadi penghalau api meski usia tak lagi muda. Bersama belasan anggota MPA lain, dia berusaha menjaga desa dari kebakaran, meski hanya dibayar dari hasil kebun yang dikelola bersama.

“Kami kerja lillahita’ala.”

Padang teriti dan perkebunan sawit warga yang terbakar di Desa Arang-arang. Foto: Yitno Suprapto
Padang teriti dan perkebunan sawit warga yang terbakar di Desa Arang-arang. Foto: Yitno Suprapto

***

Abdul Hamid, tak pernah menyesal tinggal di Desa Sungi Beras, Tanjung Jabung Timur. Meski hampir seluruh wilayah hutan dan  pertanian desa ini, rawa gambut. Masyarakat di sana mayoritas menanam pinang dan kelapa dalam.

Pada 1970-1980, hutan Desa Sungai Beras, banyak pembalakan liar. Kanal selebar lima meter dan panjang berkilo-kilometer menjadi bukti penjarahan kayu.

Sekitar tahun 1994, status hutan rawa gambut  berubah menjadi hutan lindung gambut. Praktis Hamid dan banyak masyarakat lain tak lagi boleh membuka hutan rawa gambut. Perekenomian mereka terganggu. “Setelah jadi hutan lindung kami tidak bisa ngapa-ngapain lagi, kan dilarang,” kata Hamid.

Pada 2013, masyarakat Desa Sungai Beras mengajukan skema Hutan Desa. Tujuannya, mereka bisa memanfaatkan hutan gambut. Pengajuan disetujui setelah selang setahun, tepatnya 21 Agustus 2014, sesuai SK Menteri Kehutanan No.707/Menhut-II/2014, hutan gambut 2.200 hektar di Desa Sungai Beras  menjadi Hutan Desa.

Masyarakat bertanggungjawab penuh untuk pengelolaan, menjaga dari penjarahan kayu, dan  kebakaran lahan.

Pada 2015, gambut di Tanjung Jabung Timur, membara. BPBD Jambi mencatat ada 1.654 titik api didominasi  gambut di Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi.

“Pada 2015, daerah kami tak terbakar,” kata Kamsan, Ketua Kelompok Pengelola Hutan Desa (KPHD) Sungai Beras.

“Yang terbakar di desa sebelah—Sinar Wajo—di sini sama sekali tidak ada api, kecuali merun.”

Abdul Hamid  kini  Ketua Kelompok Tani Senang Jaya—satu dari enam kelompok tani pengelola Hutan Desa Sungai Beras—mengatakan, warga Beras selalu menjaga debit air agar lahan gambut tetap basah dan bisa  untuk pertanian.

“Kami buat parit-parit kecil agar gambut tidak kering.  Ketinggian air selalu dijaga 60 sentimeter dari permukaan,” katanya.

Untuk menjaga gambut tetap basah, warga desa swadaya membuat sekat kanal. Aliran air kanal untuk mengeluarkan kayu log dibendung dengan terpal dan batang kayu sebesar betis ditancapkan sebagai penahan. Beberapa kanal perkebunan sawit milik PT.Haji Kadas, PT.Maji, PT.SMP juga disekat. 

Setiap pembuatan satu sekat kanal, perlu modal Rp100.000. “Ya untuk beli terpal, sama jaminan (makanan kecil) buat yang gotong-royong,” katanya.

Jarak 60 sentimeter air dengan permukaan gambut, katanya, cukup ideal sebagai lahan pertanian. Di hutan desa, ada 370 hektar ditanami jelutung. “Insya Allah 2018 mulai panen.”

Tutupan hutan alam di Sungai Beras, masih terjaga. Banyak meranti, kempas, jelutung tumbuh liar dan besar. Kata Kamsan, setidaknya ada 60 jenis kayu besar masih  ditemukan di  hutan Sungai Beras. Kayu-kayu ini banyak diburu pengusaha kayu log. Warga selalu menjaga dengan emmbuat patroli rutin, agar hutan mereka aman.

Belakangan KPHD Sungai Beras mulai mengembangkan bibit kopi liberika tungkal komposit yang tumbuh subur di  gambut  Betara, Tanjung Jabung Barat. Kata Kamsan, mereka berniat membangun hutan.

“Kalau dirusak, anak cucu kita bisa kelabakan, terjadi pencemaran, kekurangan oksigen,” katanya.

Keberhasilan menjaga dan mengelola lahan gambut membuat nama KPHD Sungai Beras kian terkenal. Mereka sering diundang di berbagai daerah untuk jadi pembicara diskusi pengelolaan lahan gambut.

Jelutung yang ditanam di hutan desa Sungai Beras. Foto: Yitno Suprapto
Jelutung yang ditanam di hutan desa Sungai Beras. Foto: Yitno Suprapto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,