Ketika Suku-Suku di Papua Berupaya Mempertahankan Tanah Adat Mereka

Bagi suku-suku di Papua, setiap jengkal tanah harus dijaga karena tanah ibarat “mama” yang memberikan kehidupan. Pun wilayah dan lahannya berstatus tanah ulayat, sebuah hak yang terikat oleh hukum adat yang terus dipegang teguh hingga saat ini.

Prinsip itu dipegang teguh, setidaknya oleh Pieter Yanuaring, Kepala Dewan Adat Suku (DAS) Demutru. Perawakannya tinggi dan besar. Usianya 74 tahun, karena usia dan pengetahuannya itu dia mendapat penghormatan dari orang sekampungnya.

“Saya dipercaya oleh masyarakat untuk memimpin dewan adat suku-suku asli yang berpaham Demutru,” kata Pieter kepada Mongabay Indonesia, saat dijumpai Desember lalu.

Demutru sendiri menurut Pieter berarti para-para adat atau tempat mereka duduk melakukan musyawarah mufakat. Adapun DAS Demutru yang dipimpinnya menaungi tiga masyarakat hukum adat, Klesi, Namblong, dan Kemtuk.

Menurutnya, untuk mengatur jalannya adat bagi suku-suku di satu wilayah, didalamnya telah mengandung trias politica seperti dalam teori pemerintahan modern.

“Yang kami lakukan saat ini adalah menata kembali kampung adat melalui pemetaan wilayah adat, serta menyusun kembali sejarah kampung adat. Karena kampung adat ini adalah identitas kami. Jika tidak dipertahankan maka budaya kami lambat laun akan hilang,” tegas Pieter.

Menurutnya, saat ini Pemerintah Kabupaten Jayapura pun cukup responsif dengan keberadaan masyarakat adat. Keberpihakan itu ditunjukan dengan adanya sejumlah regulasi yang dikhususkan untuk masyarakat adat, seperti SK Bupati Nomor 319/2014 tentang 9 wilayah adat di Kabupaten Jayapura, dan SK Nomor 320/2014 tentang penetapan 36 calon kampung kampung adat di Kabupaten Jayapura.  Juga telah ada Perda Kabupaten Jayapura Nomor 10/2016 tentang Kampung Adat.

Senada dengan Pieter, hal serupa dijelaskan oleh Elly Waicang, tokoh masyarakat adat Namblong yang kesehariannya menetap di kampung Kaitemung.

Menurutnya, kampung adat adalah jati diri. Meski demikian ada beberapa oknum orang asli tidak setuju dengan pendirian dan pengakuan kembali kampung adat. Orang-orang seperti itu kata Elly, adalah orang yang tidak paham dengan adat itu sendiri.

Di dalam penataan kampung adat keduanya sepakat membahas soal potensi alam yang dimiliki masyarakat adat untuk dikembangkan secara ekonomi oleh masyarakat sendiri.

Mulai dari potensi perkebunan dimana saat ini masyarakat mulai banyak menanam kakao karena pasarnya dianggap bagus, hingga wisata alam. Untuk wisata alam, di wilayah adat Namblong memiliki tempat yang sudah dikenal orang sekitar, yaitu kali biru. Di mana kalinya berwarna biru dan sering dikunjungi sebagai tempat pemandian.

“Sayangnya wisata alam kali biru ini belum dikelola dengan baik. Sementara untuk kakao, perlu ada peningkatan lagi.”

Kali biru di wilayah adat Namblong yang dianggap merupakan potensi untuk dikembangkan sebagai ekowisata. Foto: Christopel Paino
Kali biru di wilayah adat Namblong yang memiliki potensi ekowisata. Foto: Christopel Paino

Pentingnya Pemetaan Wilayah Adat

Wilayah adat Namblong yang berada di DAS Demutru menurut Elly, sedang diperhadapkan dengan ancaman-ancaman yang datang dari luar. Misalkan bujukan perusahaan perkebunan sawit, HPH, hingga rencana investor untuk pembangunan jalur kereta api yang dianggap merampas wilayah adat.

“Pentingnya pemetaan wilayah adat di sini. Posisi masyarakat adat akan kuat jika berhadapan dengan investasi atau proyek pembangunan yang dirasakan merugikan masyarakat,” ungkap Elly.

Menurutnya, di wilayah adat Namblong sering kali didatangi perusahaan yang  membujuk masyarakat untuk memberikan tanah mereka agar mau dijadikan perkebunan sawit.

Perusahaan tersebut membujuk dengan berbagai macam cara. Yang paling diingat Elly ketika perusahaan sawit membujuk masyarakat akan dibuat perumahan dan janji-janji kesejahteraan lainnya.

“Perusahaan sawit bahkan sudah melakukan survei sekitar tahun 2010 sampai 2011. Tapi masyarakat menolak kehadiran mereka. Bahkan penolakannya dengan membuat surat. Masyarakat sangat tidak setuju karena ingin mengelola sendiri hutan adat tanpa gangguan perusahaan,” ucap Elly.

Tentang penolakan warga itu diamini juga oleh Pieter. Pieter menyebut perusahaan terus membujuk namun masyarakat sudah sepakat tidak membutuhkan sawit.

“Kalau perusahaan sawit masuk, anak cucu kami lalu bercocok tanam di mana?” ungkap Pieter.

Jika memang sawit masuk, sebagian besar hutan adat yang dikelola oleh suku-suku asli dipastikan akan hilang. Begitu juga dengan sagu yang merupakan salah satu tanaman yang memiliki keterkaitan erat dengan adat orang Papua.

Elly melanjutkan bahwa dalam filosofi suku-suku di Papua, setiap orang harus punya tiga anak panah.  Ketiga anak panah itu berarti untuk melindungi tanah, perempuan, dan sagu. Jika tanah dirampas bisa perang, perempuan diganggu maka perang, begitu pun dengan sagu yang disingkirkan maka harus perang juga. Sehingganya sagu harus dilindungi.

Elly pun lalu menyoroti tanah adat yang “diambil pemerintah” untuk program transmigrasi di masa lalu.

“Kalau tentang transmigrasi mereka bahkan sudah lama datang ke sini yaitu sejak tahun 1974 dan wilayah adat diambil pemerintah untuk program transmigrasi. Sekarang sudah ada satu kampung khusus para transmigran,” jelasnya.

Elly yang kini berusia 75 tahun itu menyebut berdasarkan pemetaan wilayah, ada sekitar 200-an hektar luas wilayah adat Namblong yang berada dalam kawasan pemukiman transmigrasi.

“Silakan kamu boleh punya sertifikat tapi tanah kami punya.” Elly coba mengulangi jawaban masyarakat kampungnya jika ditanya perihal lahan yang digunakan untuk transmigrasi.

Namun dia pun mensyukuri hingga saat ini tidak ada konflik antara masyarakat asli dengan masyarakat transmigran. Meski diakui masih banyak hal yang belum selesai.

Untuk melindungi dari berbagai ancamanan yang bisa merusak eksistensi masyarakat adat, maka Elly menekankan perlunya tata kelola kampung yang harus lebih baik, salah satunya lewat pemetaan wilayah adat.

“Ketika masyarakat adat bicara, itu saya punya wilayah, lalu ketika pemerintah tanya mana buktinya, maka masyarakat bisa tunjukan hasil petanya,” ungkap Elly.

Meski Kaitemung dan Namblong sudah diakui sebagai wilayah adat, menurutnya pemetaan yang lebih detil untuk setiap kampung harus tetap dibuat, agar hak adat setiap kampung dapat diakui.

“Bahkan sesungguhnya istilah kampung itu baru. Kampung itu dalam bahasa asli kami disebut Yano. Kalau kepala pemerintahan adat di kampung lainnya disebut Ondoafi dan juga Ondofolo, maka di Yano disebut Iram,” jelas Elly.

Salah satu kebun sagu di wilayah adat Namblong. Sagu dan tanaman lain akan tergusur jika perkebunan sawit masuk di wilayah ini. Foto: Christopel Paino
Salah satu kebun sagu di wilayah adat Namblong. Sagu dan tanaman lain akan tergusur jika perkebunan sawit masuk di wilayah ini. Foto: Christopel Paino

Ancaman yang Selalu Datang

Koordinator Lapangan Pt PPMA (Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua), Daniel Baeram yang mendampingi masyarakat adat menyebut bahwa ancaman terhadap wilayah kelola terus terjadi.

Dia menyebut di beberapa tempat di Namblong masyarakatnya sedang berhadap-hadapan dengan proyek pembangunan jalur kereta api yang didorong oleh pemerintah.

Warga pun lalu melakukan pemblokiran sebagai bentuk protes mereka dengan cara membuat palang di tanah yang rencananya dilalui jalan kereta api tersebut.

“Saya kira masyarakat memalang bukan untuk menolak proyek kereta api, tapi karena belum jelas tata ruang pembangunan jalan tersebut. Masyarakat sendiri sudah punya peta dasar dan mereka tahu batas-batas wilayahnya,” jelas Daniel.

Elly Waicang menambahkan, pada bulan Juli 2015 survei mengenai jalan kereta api sudah dilakukan, dan menurutnya jalan kereta api sudah masuk dalam tanah adat. Ia berharap pemerintah tidak asal bangun tanpa tata ruang yang jelas. Sebab ada beberapa yang masuk di kebun sagu yang merupakan tempat suku asli mencari makan. Bahkan beberapa patok jalan kereta menunjukan akan menghantam salah satu sekolah SMA.

“Jika sudah ada peta wilayah adat, akan terlihat jelas mana peruntukan untuk pembangunan pemerintah seperti kereta tadi, mana hutan adat yang dikelola masyarakat, mana untuk perkebunan, dan lain-lain.”

Permasalahan ini pun diakui oleh Pemda Kabupaten Jayapura. Meski tidak langsung menjawab permasalahan tentang pembangunan jalan kereta api, Amos Soumilena, staf khusus Bupati Kabupaten Jayapura untuk kampung adat pun mengakui jika saat ini RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah ) belum berpihak sepenuhnya pada masyarakat adat.

Namun ia berharap proses pemetaan yang sedang dilakukan di kampung adat akan mampu memberikan posisi tawar yang kuat bagi masyarakat. Sehingga ketika pemerintah melakukan revisi RTRW, bisa menampung semua aspirasi masyarakat adat.

“Kami sadar masih banyak kekurangan dan banyak yang harus dibenahi. Tapi kami juga berharap masyarakat adat memiliki posisi yang kuat ketika berhadap-hadapan dengan persoalan hak kelola mereka. Harapan itu bisa dilakukan dengan pemetaan wilayah adat disetiap kampung-kampung,” tutup Amos.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,