Kala Bendesa Adat Bali Ngadu ke DPR Soal Reklamasi Teluk Benoa

Penolakan masyarakat terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa, Bali, terus berlanjut. Pekan lalu, 39 desa adat yang tergabung dalam Pasubayan Desa Adat Tolak Reklamasi di Bali berbondong-bondong mendatangi DPR RI ke Jakarta untuk mencari keadilan. Sayangnya, keluhan mereka ke Jakarta, belum mendapatkan gambaran solusi soal nasib mereka termasuk soal wilayah suci.

”Seharusnya masalah ini sudah selesai periode lalu, empat tahun terlalu lama,” kata Edhy Prabowo, Ketua Komisi IV DPR usai rapat dengar pendapat (RDP) Kamis pekan lalu. Namun, dia belum bisa memastikan tenggat waktu penyelesaian masalah ini.

Dia berjanji menelusuri dan mendalami kasus ini. ”Menurut saya,  ada sesuatu yang belum nyambung. Kita akan cari jalan terbaik bagi semua pihak, jangan berpihak salah satu.”

Menurut dia, penyelesaian masalah ini perlu lintas sektoral tak bisa di Komisi IV saja. Edhy akan mengajak semua pihak duduk bersama.

”Kita menerima segala aspirasi, harapan dan keingginan yang menolak (reklamasi Telok Benoa),” katanya.

Sebelumnya, RDP mendapat tanggapan Bagus Adhi Mahendra Putra, politisi Golkar Dapil Bali. ”Kita perlu menindaklanjuti aspirasi ini dengan mengundang Bupati Badung dan Gurbernur Bali,” katanya.

Pada 28 November 2016, Komisi IV telah menggelar RDPU dengan PT Tirta Wahana Bali Internasional perihal permohonan kepastian investasi dan hukum di Indonesia khusus Bali. Keputusan RDPU menyatakan, reklamasi Teluk Benooa harus mendengarkan pendapat masyarakat.

“Bagaimana juga mereka (masyarakat) yang memiliki wilayah dan menguasai wilayah. Kalau tidak bisa reklamasi, ya secara prinsip itulah jalan terbaik buat semua pihak,” ucap Edhy.

Saat RDP, masyarakat Bali menjelaskan sejarah Teluk Benoa yang jadi salah satu tempat suci mereka. Mereka juga khawatir dampak kerusakan lingkungan terlebih belajar dari kegagalan reklamasi Pulau Serangan.

”Dalam sana (Teluk Benoa) sebuah keyakinan spiritual yang menciptakan hubungan manusia dengan sang Pencipta,” kata I Wayan Suwarse, Bendesa Adat Kuta yang memimpin semua ketua adat yang hadir.

Penolakan atas rencana reklamasi sudah empat tahun tetapi, dia menilai pemerintah, terutama Presiden tak tegas menghadirkan negara di tengah masyarakat.

”Ini tak ada kepentingan pemerintah, hanya investor. Apakah bisnis harus mengalahkan kepercayaan adat seperti kami yang menjadi tempat kami upacara keagamaan?”

Koordinator ForBali, I Wayan Gendo mengatakan, masyarakat Bali tak membutuhkan reklamasi, tetapi infrastruktur untuk mengurai kemacetan dan menghubungkan antarkabupaten.

”Bukan urugan yang kemi butuhkan. Jangan sampai terjadi puputan, kalau dipaksakan, salah satu Bandara Ngurah Rai akan lumpuh,” katanya.

Pada Oktober 2016, warga Bali sudah bertemu wakil rakyat level daerah (DPRD) Bali. Namun, dewan menolak sejumlah tuntutan Pasubayan agar mekanisme birokrasi dijalankan sebagai jalan mengembalikan status Teluk Benoa menjadi area konservasi.

Dalam berita Mongabay, sebelum ini menyebutkan, lebih dari tiga tahun mekanisme perubahan status Teluk Benoa, izin lokasi, sampai pembahasan Analis mengenai dampak lingkungan (Amdal) berlangsung.

Ada tiga putusan DPRD Bali. Pertama, menerima aspirasi Pasubayan. Kedua, karena kewenangan menghentikan rencana reklamasi Teluk Benoa ada di tangan Presiden, dewan siap menampung. Mereka akan menyampaikan, dan mengawal aspirasi warga adat ini sampai ke tangan Presiden.

Pernyataan ini ditandatangani 15 pimpinan dan kelengkapan DPRD Bali. Pertemuan ini dihadiri sekitar 37 anggota DPRD Bali dari 55 total anggota.

Bendesa adat kala menyerahkan laporan soal penolakan reklamasi Teluk Benoa, Bali, kepada DRP RI. Foto: Lusia Arumingtyas
Bendesa adat kala menyerahkan laporan soal penolakan reklamasi Teluk Benoa, Bali, kepada DRP RI. Foto: Lusia Arumingtyas
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,