Akhirnya Masyarakat Pandumaan-Sipituhuta Dapatkan Hutan Adat Mereka

Rusmedia Lumban Gaol,  bolak balik menerima panggilan telepon. Hari itu, Kamis (29/12/16), sehari menjelang pengakuan hutan adat Pandumaan dan Sipituhuta  lewat surat keputusan pelepasan wilayah mereka seluas 5.172 hektar dari konsesi perkebunan kayu, PT Toba Pulp Lestari. Ibu 12 anak ini sedang di Jakarta, salah satu perwakilan perempuan adat desa yang akan bertemu Presiden.

“Anak saya yang perempuan, kaki dia sakit katanya. Dia tanya kapan saya pulang, minta diobati,” katanya menjelaskan penelepon di ujung telepon.

Sekitar tujuh tahun warga adat Pandumaan-Sipituhuta, di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara,  berjuang mempertahankan hutan adat. Mereka didampingi antara lain oleh Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM).

Baca juga: Kado Manis Akhir Tahun, Kali Pertama Pemerintah Tetapkan Hutan Adat

Tombak Haminjon, atau hutan kemenyan adalah sumber penghidupan warga Pandumaan dan Sipituhuta. Konsesi TPL, perkebunan kayu yang mendapatkan izin pemerintah pada 1986, mulai produksi 1993, ternyata dalam tombak haminjon.

Hutan kemenyanpun terbabat, berganti eukaliptus. Warga adat protes. Mereka melawan dengan berbagai cara, menjaga lahan dari perusahaan, demontrasi dan mendesak pemerintah mengeluarkan wilayah mereka dari konsesi perusahaan.

“Kami tak bisa kehilangan hutan kemenyan,” kata Rusmedia.

Tak mudah bagi perempuan adat ikut andil dalam perjuangan. Beruntung, Rusmedia didukung suami dan anak-anaknya. Opung Putra Borru, sang suami, selalu menyiapkan keperluan sang istri setiap kali akan berangkat. Anak-anak, meski sebagian khawatir terhadap ibu mereka, tetap memberi dukungan.

“Besok ini Jumat, hari ke pasar, anak laki-lakiku yang gantikan ke pasar. Tak apa kata dia, Aku liat mamak orang di rumah kerjanya berantam, mamakku pergi berjuang demi warga desa,’” kata nenek 31 cucu ini menirukan anaknya.

Baca juga: Kemelut Hutan Kemenyan, Menguak Luka Warga di Tepian Danau Toba

Konflik hutan kemenyan ini berdampak pada banyak hal. Produksi hutan kemenyan berkurang membuat kehidupan rumah tangga masyarakat terganggu. Jika para suami ke hutan cari getah kemenyan sebagai penopang hidup keluarga, kini pendapatan istri istri yang bekerja di sawah dan ladang jadi andalan.

Sebelumnya mudah menemukan pengumpul (toke) kemenyan di desa-desa, berjumlah ratusan, kini tinggal 10 toke. “Bapak-bapak jadi suka duduk di warung, dan keluarga jadi sering bertengkar,” kata Delima Silalahi dari KSPPM.

James Sinambela, Ketua Petani Kemenyan Perjuangan Pandumaan bilang, biasa pane getah seminggu 40 kilogram, kini sudah dua bulan tak panen.  “Kami sudah 17 generasi di sini,” katanya.

Setelah hutan adat masuk konsesi perusahaan, setidaknya sudah 37 warga jadi tersangka. “Delapan orang DPO (daftar pencarian orang-red) termasuk saya,” katanya.

Tuduhan pada mereka, tak jauh dari perusakan hutan atau masuk hutan tanpa izin.

“Kalau ini berhasil, yang lain akan maju lagi,” kata Suryati Simanjuntak, Sekretaris Pelaksana KSPPM.

 

Rujukan

Jika merujuk perundang-undangan, ada empat model aturan memungkinkan masyarakat mendapatkan pengakuan hutan adat oleh pemerintah. Pertama, lewat UU Kehutanan Pasal 67,  yang menjadi payung hukum Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 32 tahun 2015.

Permen ini mensyaratkan tiga dokumen penunjang yakni surat permohonan dari masyarakat hukum adat, peta wilayah, dan perda yang mengukuhkan masyarakat adat bersangkutan.

Kedua, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52 tahun 2014 dengan syarat, cukup SK Bupati tentang masyarakat hukum adat.

Ketiga, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN No 10 tahun 2016 tentang Hak Komunal.  Keempat, melalui Undang-Undang Desa.

Sayangnya, KLHK merujuk pada Permen LHK No 32. “Mau tak mau harus ada Perda,” kata Suryati.

Perda inilah yang jadi salah batu sandungan bagi masyarakat adat dalam mengajukan permohonan. Sudah tiga tahun, rancangan perda diajukan—sampai ada penetapan— masih draf.

“Mereka bilang butuh studi banding. Sampai sekarang belum dibahas,”katanya. Padahal, KLHK sudah verifikasi dan validasi dokumen dua desa ini.

Hal serupa terjadi pada permohonan masyarakat adat Muluy, di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Menurut Ahmad SJA, dari Padi Indonesia, lembaga yang mendampingi masyarakat Muluy, permohonan sudah tiga tahun.

Meski wilayah sudah punya payung hukum Perda Kaltim tentang pedoman penetapan hutan adat, pemerintah kabupaten belum menunjukkan niat akan mengeluarkan Perda Penetapan Masyarakat Adat Paser.

“Bikin perda ini kan mahal, perlu Rp200-Rp500 juta. Masalahnya apa ada niat dari pemda?” tanya Ahmad.

Ada juga pemerintah daerah sudah paham dan mendukung penuh penetapan hutan adat seperti Pemkab Bulukumba, Sulawesi Selatan.

“Kami tak menemui hambatan berarti dari pemda. Mereka mendukung dan mempercepat proses. Yang lama,  kami menunggu penetapan dari pusat,” kata Andi Buyung Saputra, pemangku adat Ammatoa Kajang.

Direktur Eksekutif Epistema Institut, Luluk Uliyah mengatakan, pemahaman pemda soal masyarakat hukum adat dan hutan adat memang masih beragam. Pemda yang paham, perda relatif mulus. “Misal di Kesepuhan Karang, Lebak, Banten, itu ketua DPRD, wakil bupati dan lima anggota DPRD dari masyarakat adat. Jadi mereka sudah paham,” katanya.

Mengingat ongkos besar dalam membuat perda, katanya, akan lebih efektif menempuh jalur kedua, dengan Permendagri yang mensyaratkan SK Bupati sebagai dokumen pendukung seperti dilakukan beberapa masyarakat adat di Jambi.

***

Rusmedia dan James, mewakili Desa Pandumaan dan Sipituhuta, sedikit bernapas lega. Sehari menjelang tutup tahun 2016, secara simbolis Presiden Joko Widodo menyerahkan SK adendum dengan mengeluarkan 5.172 hektar wilayah Pandumaan dan Sipituhuta dari konsesi TPL. Mereka hadir di Istana Negara bersama perwakilan delapan komunitas yang mendapatkan penetapan hutan adat.

Sejalan dengan itu, Bupati Humbang Hasundutan, Dosmar Banjarnahor optimis pembahasan perda dilakukan awal 2017.

“Target Januari sudah keluar perda,” katanya. Usulan kabupaten, 10.200 hektar, dengan mengeluarkan semua desa yang masuk konsesi TPL.

“Masyarakat butuh kepastian. Saya yakin tak akan ada kendala pembahasan di DPRD,” katanya.

Direktur Ekesekutif HuMA, Dahniar Andriani mengatakan,  perlu tata ruang dalam menata kawasan adat ini.

“Negara punya konsep sendiri, masyarakat adat punya konsep sendiri yang seringkali dihadap-hadapkan. Misal, ada hutan adat tak boleh diambil sebenarnya mereka ambil untuk keperluan sehari-hari bukan komersil,” katanya.

Hal lain perlu jadi perhatian, katanya, guna memastikan pengalihan status baik hutan negara, maupun pihak ketiga jangan sampai membuat kualitas dan kuantitas hutan menurun. Juga mengantisipasi klaim yang bisa terjadi dari luar maupun dalam masyarakat adat sendiri. Dengan penetapan ini, katanya, pemerintah mendapat teman dalam mengelola hutan.

Penetapan hutan adat ini, katanya, baru awal perjuangan karena masih banyak masyarakat adat perlu pengakuan dan perlindungan. Di HuMa sendiri, masih ada sembilan wilayah adat dampingan bersama sejumlah lembaga belum penetapan.

“Kita akui ini sebuah langkah berani. Sebuah lompatan. Konsepnya harus jelas.”

Dengan penetapan ini, katanya, bukan membagi tanah atau hutan kepada pemilik tetapi mengembalikan ruang-ruang yang telah diambil negara. “Tak ada kata terlambat untuk perbaikan. Prosesnya jangan dibebankan satu kementerian. Perlu sinergi antarkementerian.”

Untuk percepatan pengakuan hutan adat, tambah Luluk, pemerintah perlu memangkas prosedur panjang dan rumit serta penetapan secara aktif, tak hanya menunggu permohonan masyarakat adat.

“Bisa diintegrasikan dalam rencana kerja pemerintah pusat dan daerah untuk pendataan, pengakuan dan penetapan.”

Selain itu, dengan mengembangkan kebijakan pengakuan dan pemberdayaan komprehensif. Saat ini, katanya,  baru pengakuan belum pemberdayaan.

“Ini perlu dikembangkan dengan melibatkan kementerian dan lembaga lain misal, Kementerian Desa, Kementerian Pertanian dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.”

Rusmedia Lumban Gaol (nomor tiga dari kiri), bersama sebagian warga Pandumaan Sipituhuta yang ikut pertemuan di Kemenhut, Senin (2/9/13). Foto: Sapariah Saturi
Rusmedia Lumban Gaol (nomor tiga dari kiri), bersama sebagian warga Pandumaan Sipituhuta yang ikut pertemuan di Kemenhut, Senin (2/9/13). Foto: Sapariah Saturi
Peta Desa Pandumaan-Sipituhuta dan Hutan Kemenyan. Sumber: AMAN
Peta Desa Pandumaan-Sipituhuta dan Hutan Kemenyan. Sumber: AMAN
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,