Mengapa Sulit Menertibkan Penambangan Pasir di Sungai Serayu?

Dua lelaki itu terlihat sekuat tenaga menarik bambu panjang dari perahu. Bambu itu merupakan alat untuk mengangkut pasir dari dasar Sungai Serayu. Pasir kemudian ditumpuk di dalam perahu. Setelah cukup banyak, mereka kemudian ke pinggir sungai atau depo pasir. Di situlah kemudian dilakukan transaksi jual beli pasir. Truk-truk sudah siap untuk membawa pasir tersebut ke para pelanggan baik toko material atau langsung ke pelanggan. Begitulah sekilas aktivitas penambangan pasir di Sungai Serayu yang berada di kawasan Patikraja, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng).

Salah seorang yang mengaku bernama Sarwin, mengatakan kalau setiap harinya dia mendapatkan uang sekitar Rp50 ribu hingga Rp75 ribu dalam sehari. Namun, ia enggan merinci berapa banyak volume pasir yang diperolehnya. “Ya, kadang Rp50 ribu hingga Rp75 ribu. Kalau air sungai penuh, maka saya kesulitan menambang pasir. Soalnya berbahaya dan terlalu dalam pasirnya,”ungkapnya pekan lalu.

Ia juga mengaku tidak tahu menahu mengenai aktivitas penambangan yang dilakukan memiliki izin atau tidak. “Kalau soal itu, saya tidak terlalu tahu. Yang saya tahu, saya mencari pasir untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” katanya.

Meski tidak mau merinci, tetapi berdasarkan hitung-hitungan Dewan Sumberdaya Air (SDA) Jateng Eddy Wahono mengungkapkan kalau penambang yang menggunakan perahu itu sesungguhnya adalah pekerja. Pendapatan mereka sekitar Rp50 ribu hingga Rp75 ribu per hari.

“Setiap harinya, mereka bisa menyetor pasir sekitar 3-4 perahu. Satu rit pasir perahu harganya sekitar Rp350 ribu. Sehingga totalnya sehari mendapatkan sekitar Rp1,3 juta lebih. Lantas, nanti dikurangi biaya BBM dan setoran juragan. Sehingga mereka mengantongi bersih sekitar Rp50 ribu hingga Rp75 ribu. Itu hitung-hitungan kasar saya,” jelasnya.

Setiap harinya, lanjut Eddy, pasir dari Sungai Serayu yang disedot oleh para penambang cukup besar, dengan nilai ekonomi juga tinggi. Di sekitar Bendung Gerak Serayu (BGS) di daerah Rawalo, Banyumas, saja ada 13 titik depo pasir. Masing-masing depo pasir memiliki sekitar 5 perahu tambang. “Kalau di Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu mencapai ratusan. Nah, yang menjadi masalah adalah, tidak seluruh penambang memiliki izin. Barangkali antara yang berizin dan tidak, lebih banyak yang tidak memiliki izin,”ungkapnya.

Puluhan perahu berisi penambang pasir yang tidak jauh dari Jembatan Soeharto, Rawalo, Banyumas, Jawa Tengah. Aktivitas penambangan pasir ini merugikan lingkungan karena meningkatkan abrasi di sepanjang DAS Serayu. Foto : L Darmawan
Puluhan perahu berisi penambang pasir yang tidak jauh dari Jembatan Soeharto, Rawalo, Banyumas, Jawa Tengah. Aktivitas penambangan pasir ini merugikan lingkungan karena meningkatkan abrasi di sepanjang DAS Serayu. Foto : L Darmawan

Menurut Eddy, penambangan di Sungai Serayu sudah sangat mengkhawatirkan. Apalagi, ada sejumlah penambang yang berlokasi tidak jauh dari jembatan. “Memang, banyak orang yang bergantung dari penambangan pasir. Tetapi sesungguhnya, hasil penambangan pasir di Sungai Serayu tidak sebanding dengan dampak yang terjadi di DAS Serayu. Akibat penambangan pasir, maka sungai kian dalam, akibatnya arus air juga semakin deras dan menggerus pinggiran sungai. Tidak sedikit warga yang terkena dampaknya, karena areal pertanian tergerus arus Sungai Serayu,” tambahnya.

Laporan dari warga di Desa Srowot, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, menyebutkan kalau areal sawah milik warga setempat setidaknya telah hilang tak kurang dari 50 hektare (ha). Hal itu tidak lain karena semakin derasnya air sungai akibat pasir terus diambil. Data tersebut baru dari Srowot saja, padahal Sungai Serayu mengalir melewati desa-desa mulai dari Wonosobo hingga ke Cilacap.

Berdasarkan pemantauan Mongabay, aktivitas penambangan pasir di DAS Serayu masih marak. Bahkan, ada yang cukup dekat dengan Jembatan Soeharto yang berada di Rawalo. Puluhan perahu terlihat masih beraktivitas di sekitar jembatan. Padahal, penambangan dilarang di sekitar jembatan karena bakal mengancam keberadaan jembatan. Apalagi Jembatan Soeharto merupakan jembatan yang vital di jalan nasional penghubung antara Bandung menuju Yogyakarta.

Sulit Ditertibkan

Eddy Wahono mengakui kalau penambangan pasir agak sulit ditertibkan. Sudah berulang kali dinas dan instansi terkait melakukan penertiban, namun demikian, aktivitas penambangan masih berlangsung sampai sekarang. “Apalagi diduga masih sangat banyak penambangan liar tanpa izin yang nekad melakukan operasi. Bahkan, beberapa waktu lalu sempat ada penambangan menggunakan peralatan sedot,”katanya.

Eddy mengungkapkan sulitnya penertiban terhadap penambangan liar pasir Sungai Serayu karena masih minimnya koordinasi antardinas terkait. Oleh karena itu, ia mengusulkan untuk menertibkan, maka perlu dibentuk Tim Pengawasan Sungai Terpadu (TPST). “Tim ini terdiri dari berbagai instansi teknis bidang sumberdaya air, sumberdaya mineral, penataan ruang, pertanahan, kesejahteraan sosial, Badan Penanggulangan Bencana Daerah serta unsur masyarakat dan komunitas peduli sungai,” katanya.

Truk-truk yang mengangkut pasir hasil penambangan di Sungai Serayu, Banyumas, Jawa Tengah. Aktivitas penambangan pasir ini merugikan lingkungan karena meningkatkan abrasi di sepanjang DAS Serayu. Foto : L Darmawan
Truk-truk yang mengangkut pasir hasil penambangan di Sungai Serayu, Banyumas, Jawa Tengah. Aktivitas penambangan pasir ini merugikan lingkungan karena meningkatkan abrasi di sepanjang DAS Serayu. Foto : L Darmawan

Sungai-sungai di wilayah Jateng bagian selatan, salah satunya adalah Sungai Serayu merupakan kewenangan dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak. “Dengan demikian, BBWS Serayu Opak akan menjadi koordinator TPST. Instansi yang termasuk dalam koordinasi dapat melakukan tugasnya dan kewenangannya masing-masing yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya air,”katanya.

Tugas tim, lanjut Eddy, adalah melakukan pengawasan pemanfaatan sempadan sungai, membina masyarakat, mencegah kerusakan sungai, pengawasan kualitas air dan penanganan konservasi. “Selain itu, tim juga bertugas melakukan pencegahan pelanggaran penambangan di sungai serta pencarian solusi masalah sungai. Sehingga akan dicapai pemahaman bersama bahwa sungai merupakan satu kesatuan ekosistem yang harus dikelola secara terpadu lintas sektoral. Yang tidak kalah penting adalah mengedepankan koordinasi dan melepaskan ego sektoral,”ujarnya.

Terpisah, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BBWS Serayu Opak Bambang Sumadyo mengungkapkan bahwa pihaknya terus melakukan penertiban penambangan pasir yang melanggar. “Misalnya, pada akhir tahun lalu, kami melakukan penertiban bagi para penambang di sekitar Jembatan Soeharto di Rawalo. Beberapa waktu lalu, kami juga menertibkan penambangan di Kecamatan Madukara, Banjarnegara karena menggunakan alat berat ketika menambang. Pokoknya kami akan terus melakukan penertiban, meski kami akui tidak mudah,” katanya.

Di sisi lain, masih membutuhkan koordinasi dengan dinas terkait dalam menangani penambangan pasir yang melanggar aturan. Karena keterpaduan koordinasi sejauh ini belum optimal.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,