Mongabay Travel: Datanglah ke Danau Gedang, Ada Tradisi Unik Menanti

Namanya Danau Gedang, dan memang seperti itu warga menyebutnya. Letaknya di Desa Padang Betuah, Bengkulu Tengah, Bengkulu. Dari Ibu Kota Provinsi Bengkulu, jaraknya hanya 25 kilometer. Bisa diakses dengan kendaraan roda dua maupun empat.

Danau seluas 10 hektare ini memiliki keunikan alam beserta tradisi nelayan yang terus dipertahankan. “Mungkin tidak banyak danau seperti ini,” kata Avrillia Utami, mahasiswi semeter 7 Institut Agama Islam Negeri Bengkulu, usai foto selfie bersama dua rekannya. Avrillia yang berdomisili di Kelurahan Lingkar Barat, Kota Bengkulu ini sengaja datang  untuk melepaskan diri dari jerat rutinistas.

Unik yang dimaksud di sini adalah letak Danau Gedang bersebelahan dengan pantai. Hanya dipisahkan pasir putih keabu-abuan yang jaraknya 20 – 25 meter. “Selain unik, juga indah. Menjelang matahari terbenam, panoramanya lebih cantik lagi.”

Namun, potensinya belum dikembangkan. Padahal, prospektif sekali sebagai daerah tujuan wisata alam. Hamparan tanah berbukit di sekililingnya bisa dijadikan lokasi perkemahan. “Akses juga lancar. Fasilitas air bersih dan tempat pembuangan sampah yang harus disediakan,” ujar Avrillia.

Udang galah. Sumber: Wikipedia
Udang galah. Sumber: Wikipedia

Mematah danau

Mantan Kepala Desa Padang Betuah, Sopian Efendi, menjelaskan Danau Gedang merupakan sumber penghidupan warga. Mayoritas, masyarakat mendapatkan ikan, kepiting, dan udang hasil tangkapan dari danau berair payau itu. “Baik laki-laki maupun perempuan,” kata Sopian yang menjabat kepala desa sejak 2000 – 2014.

Khusus perempuan, menangkap udang di Danau Gedang telah menjadi tradisi. Dilakukan malam hari, menggunakan alat tangkap tertentu dan penerangan lampu minyak atau senter. “Biasanya, Rabu malam karena Kamis hari pasar. Kami menyebut, aktivitas perempuan menangkap udang itu menyulu, dilakukan turun temurun.”

Sopian menuturkan, tradisi lain yang biasa dilakukan warga untuk menangkap ikan, udang, dan kepiting adalah mematah danau. Tradisi yang dilakukan bukan berdasarkan bulan  atau periodesasi tertentu, melainkan tergantung cuaca atau kondisi danau. Biasanya, tiga hingga enam bulan sekali.

Tradisi ini, diikuti ribuan orang: dewasa, remaja, dan anak-anak. Pesertanya bukan hanya masyarakat setempat, tetapi juga dari desa tetangga, bahkan warga dari kabupaten/kota tetangga. “Danau berubah menjadi tumpahan manusia.”

Mematah Danau dilakukan bila air danau dinilai melimpah. Bergotong royong, warga menggali pasir pemisah danau dan pantai untuk mengalikannya ke pantai. Setelah air danau kering, warga bergegas menangkap ikan, udang, dan kepiting.

“Kegiatan ini sudah dilakukan ratusan tahun. Namun ikan, kepiting, dan udang tidak pernah berkurang. Itu lah keunikan Danau Gedang,” terang Sopian.

Pengunjung yang berfoto selfie dengan latar Danau Gedang. Foto: Dedek Hendry
Pengunjung yang berfoto selfie dengan latar Danau Gedang, danau yang bersebe;ahan dengan pantai. Foto: Dedek Hendry

Dijaga

Inun Zikri, warga yang dianggap paling mengerti Danau Gedang, menuturkan keberlimpahan ikan, kepiting dan udang merupakan dampak dari perilaku warga yang tidak serakah atau eksploitatif. Inun yang setiap hari pergi ke danau untuk menangkap ikan, ikut menjaganya dengan melarang siapa saja yang ingin merusaknya. “Pernah ada yang menggunakan putas, saya tegur.”

Inun juga menjelaskan adanya “kekuatan leluhur” yang menjaga 13 lokasi di danau tersebut. Yakni, Suak Tauban, Semalin, Telau Gedang, Lubuk Sampan, Beringin Kuning, Kabut, Bungkuk, Nibung, Gajah Mati, Paku Piai, Balam, Alai, dan Suak Sorban Panjang. “Suak itu semacam aliran air kecil. Pastinya, kita semua yang harus menjaga.”

Inun berharap, keunikan dan keindahan Danau Gedang dan tradisi mematah danau dikembangkan. Pengembangan wisata alam dan budaya akan menjadi sumber pendapatan baru warga, dan banyak pihak yang ikut menjaga. “Kalau dirusak, berarti menghancurkan sumber rezeki,” terangnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,