Cerita Komunitas Napu Pertahankan Hutan Adat dari Perusahaan (Bagian 1)

Kegembiraan menyelimuti masyarakat adat di negeri ini pada penghujung tahun lalu. Kali pertama,  sejak Indonesia ada, sembilan komunitas adat mendapatkan pengakuan dan penetapan hutan mereka dan penyerahan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Ada harapan. Ada yang tersenyum bahagia.  Ada menangis haru.

Kebahagiaan itu baru awal. Masih banyak komunitas-komunitas adat di negeri ini masih berjuang mempertahankan hak mereka.

Di Jakarta, Presiden menguatkan pengakuan hutan adat, di Kalimantan Selatan, kekhawatiran lahan hilang malah sedang dialami Komunitas Napu (Kamboyan).  Lahan mereka terancam digusur.

Sejak beberapa tahun lalu,  Komunitas Napu di Desa Cantung Kiri Hulu, Kecamatan Hampang, Kotabaru ini, dalam keadaan was-was. Ada perusahaan mengklaim wilayah adat masuk kelola mereka.

Warga bingung soal perusahaan yang mengklaim lahan ini. Ada yang bilang, PT Kodeco Timber—perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Ada juga kabar sudah dibeli Jonhlin Group. Saya mencoba menghubungi bagian legal Kodeco Timber, tetapi tak bisa terhubung.

Miso, Ketua Dewan AMAN Kalsel mengatakan, masyarakat adat sudah minta dokumen legalitas perusahaan yang beroperasi tetapi tak pernah diberikan. “Izin Kodeco HPH tapi yang ditanam sawit. Sekarang muncul berbagai macam,” katanya, via telepon kepada Mongabay.

Menurut dia, dulu Kodeco Timber ada di Kabupaten Kota Baru sebelum pemekaran. Setelah pemekaran, konsesi terbagi dua, Kabupaten Tanah Bumbu dan Kota Baru.

Dia  merasa aneh dengan perizinan lahan Dinas Kehutanan ini. “Dibilang HPH tapi ada penanaman. Intinya gak jelas. Ada HGU, HPH, dan HTI,” katanya.

Kini, warga Komunitas Napu, makin cemas karena penggusuran warga keluar dari wilayah mereka terjadi. Kebun, ladang, dan kuburan milik masyarakat adat tergusur.

Awal 2017, kondisi makin memanas. Penggusuran berulang.

Trisno Susilo, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel menceritakan, warga adat Napu, datang ke Sekretariat AMAN Tanah Bumbu pertengahan Februari 2016. Warga Napu diantar Bohen, Mitran dan Hartianus dari masyarakat adat Batulasung. AMAN Tanah Bumbu bersama AMAN Kotabaru, mendampingi warga.

Pada 16 April 2016, ada rembuk adat, yang menghasilkan beberapa kesepakatan, yakni,  warga menolak kehadiran perusahaan di wilayah adat Napu (Kamboyan), mereka akan melengkapi perangkat adat, pemetaan hutan adat dan meminta bantuan pendampingan AMAN Tanah Bumbu dan Kotabaru.

Dalam rapat adat itu juga disepakati warga mengadukan kasus ini kepada Presiden Joko Widodo dengan mengirim surat.

Mereka melaporkan wilayah adat Napu (Kamboyan) telah terjadi tindakan semena-mena oleh perusahaan, PT Johnlin Agro Lestari.

Selama ini, batas-batas wilayah hanya menggunakan batas alam. Komunitas Napu pun mulai pemetaan wilayah adat pada 31 Agustus 2016.  Mereka memasang patok atau plang penanda adat.

Kejadian mengejutkan pada Kamis (6/10/16). Kapolsek Hampang, Hasanudin bersama lima orang anggota mencabut plang adat buatan warga.

Kala itu, Hasanudin meminta warga mencabut plang adat. Warga yang kebetulan ada disana tak mau. Kapolsek pun mencabut sendiri plang itu.

“Nanti kalau ada yang tanya siapa  yang mencabut plang, sampaikan kalau saya Kapolsek Hampang, yang mencabut.” Begitu ucapan Hasanudin, seperti tertuang dalam kronologis kejadian.

Warga mulai terintimidasi.

Pada 27 Oktober 2016, Kapolsek Hampang meminta perwakilan warga tiga orang hadir pada pertemuan di Dinas Kehutanan Kalsel.

“Khawatir datang sedikit orang, warga hadir 11 orang didampingi AMAN Tanah Bumbu dan Kotabaru, Walhi, YCHI dan SLPP Kalsel,” katanya.

Dalam pertemuan itu, masyarakat diminta mengusulkan perubahan fungsi hutan di wilayah adat. Masyarakat berembuk dan sepakat mengirim surat kepada Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Hanif Faisol menyatakan, persetujuan untuk alih fungsi dengan syarat , lahan benar-benar untuk masyarakat adat dan bukan buat perusahaan.

Namun, kata Trisno, Dinas Kehutanan malah membuat publikasi masyarakat mengusulkan alih fungsi hutan notabene wilayah adat mereka seluas 46.600 hektar. “Akhirnya masyarakat menolak dan tak mengizinkan alih fungsi karena dicurigai ditunggangi korporasi.” (Bersambung)

Warga Komunitas Napu, pasang pelang setelah putusan MK bahwa hutan adat buykan hutan negara. Foto: AMAN Tanah Bumbu
Warga Komunitas Napu, pasang plang setelah putusan MK bahwa hutan adat bukan hutan negara. Foto: AMAN Tanah Bumbu
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,