Kalimantan Barat yang Tidak Ingin Wilayahnya Terbakar Lagi

Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, tidak ingin wilayahnya menjadi penyumbang asap  kebakaran lahan di 2017 ini. Tindakan pencegahan dan pembinaan bagi perusahaan sawit adalah hal mutlak yang dilakukan. Cornelis mengatakan, tidak main-main memberikan sanksi terhadap perusahaan yang lalai menjalankan kewajiban. Jika diperlukan, pencabutan izin perusahaan dilakukan.

“Hanya dua perusahaan yang ada Program Desa Siaga Api. Saya harap, perusahaan lain segera mengikuti,” ujarnya, saat pencanaan Desa Makmur Peduli Api di Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, 18 Januari 2017.

Pemberian hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan perkebunan, tidak lain untuk membuka akses dan menyejahterakan masyarakat sekitar konsesi, termasuk menjaga ketahanan pangan. Bukan menambah kantong kemiskinan. Keberadaan perusahaan perkebunan skala besar sudah pasti memberikan dampak berkurangnya lahan garapan masyarakat. “Jangan digusur. Kalau perlu jadi percontohan. Disarankan pula agar menanam komoditi lain seperti sagu, atau sayuran,” katanya.

Ekosistem alam yang sudah tertata rapi harus dijaga, jangan dirusak akibat keserakahan manusia. Foto: Rhett Butler
Ekosistem alam yang sudah tertata rapi harus dijaga, jangan dirusak demi memuaskan nafsu manusia. Foto: Rhett Butler

Sebagai daerah yang mengunggulkan kelapa sawit, Cornelis menyatakan, sudah memerangi kampanye hitam dampak tersebut sejak 2010 di berbagai acara internasional. “Justru yang merusak itu negara-negara maju. Daya rusak sawit, lebih kecil ketimbang eksploitasi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.”

Mengenai beberapa perusahaan yang terindikasi tidak melakukan pengelolaan secara berkelanjutan, Cornelis telah menekankan hal tersebut. “Para pengusaha sawit, telah saya tekankan berkali untuk penuhi semua aspek lingkungan. Jangan mau enaknya saja,” ujarnya.

Pemerintah Kalimantan Barat akan melakukan evaluasi seluruh HGU. Jika ada yang belum melaksanakan penanaman, padahal izin sudah diberikan, bukan mustahil izinnya dicabut. Kampanye hitam ini, kata Cornelis, merupakan skenario negara pesaing. “Saya pernah disodorkan uang 3 juta Dollar dari Norwegia, tapi saya tolak. Biar miskin, kita harus sombong. Yang merusak negara maju kok,” ujarnya.

Bunglon yang merupakan bagian dari ekosistem alam. Foto: Rhett Butler
Bunglon yang merupakan bagian dari ekosistem alam. Foto: Rhett Butler

Terpisah, Arif Munandar dari Swandiri Institute, mengharapkan pemerintah mencermati program-program yang ditawarkan perusahaan perkebunan. Jangan sampai program greenwashing, kampanye hijau dari korporasi yang memberi kesan peduli lingkungan. Metode yang dikenal sejak tahun 1960-an ini, kerap diikuti tindakan whitewashing. “Suatu tindakan menyembunyikan fakta-fakta sebenarnya.”

Khusus Program Desa Siaga Api, pemerintah terkesan menjadikan masyarakat peladang sebagai pelaku pembakaran lahan, melalui teknik ladang berpindah. Faktanya, dari kejadian dua tahun belakangan, hanya beberapa perusahaan yang diproses karena di konsesinya terbakar. Contoh, konsesi PT. SMART yang menyatakan berhasil menangani kebakaran lahan di 2015. Pada 2016, areal tersebut, dari analisis satelit tampak telah ditanami. “Harus ada penjelasan, bagaimana konsesi tersebut terbakar, apa tanaman penutup lahan sebelum terbakar. Soalnya, tahun berikutnya sudah ditanam sawit,” ujar Arif.

Pemerintah daerah juga harus memberikan pemahaman yang benar mengenal fakta areal lahan yang ditutupi hamparan sawit merupakan penghasil oksigen. Oksigen yang dihasilkan tanaman homogen beda dengan oksigen yang dihasilkan hutan heterogen. Perkebunan sawit, justru menyumbang CO2 yang dilepaskan saat pembersihan kawasan gambut.

Sifat kelapa sawit yang rakus air tanah, menyebabkan kekeringan dan peningkatan suhu sekitar. Mengubah hutan dengan tanaman sejenis atau monokultur menyebabkan ekosistem di kawasan tersebut hilang. “Kekeringan yang disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit, menjadi penyebab kebakaran lahan. Terlepas dari berapa banyak embung dan kanal bersekat yang dibangun perusahaan.”

Kantong semar. Foto: Rhett Butler
Kantong semar. Foto: Rhett Butler

Desa Siaga Api

PT. SMART Tbk, anak perusahaan Golden Agri Resources, telah merespon Program Desa Siaga Api sejak tahun lalu. Delapan desa binaannya dinyatakan berhasil dalam program tersebut dan perusahaan memberikan insentif Rp100 juta, berbentuk bantuan infrastruktur sosial.

Delapan desa tersebut Lembah Hijau 1 dan 2, Sei Kelik, Nanga Tayap, Siantau Raya, Tanjung Medan, Simpang Tiga Sembelangaan, dan Tajok Kayong. “Desa-desa ini dibekali pelatihan pencegahan kebakaran, infrastruktur dasar penanggulangan kebakaran, dan mekanisme deteksi dini,” ungkap Susanto Yang, CEO Perkebunan Sinar Mas Wilayah Kalimantan Barat.

Program ini merupakan gabungan tiga elemen penting, yakni pencegahan kebakaran, konservasi, dan ketahanan pangan. Tahun ini, perhatian lebih besar diberikan pada pelaksanaan konservasi bersama masyarakat untuk melindungi hutan dengan nilai konservasi tinggi dan kawasan stok karbon tinggi.

“Di Indonesia, PT. SMART telah mengindentifikasi kawasan seluas 75 ribu hektare di wilayah operasional, untuk dikonservasi. Khusus Kalimantan Barat, proses rehabilitasi lahan gambut seluas 2.600 hektare dan konversi 17 ribu hektare kawasan hutan berkonsentrasi tinggi bersama masyarakat tengah dilakukan,” ujar Susanto.

Kebun belajar pertanian ekologis terpadu. Foto: Putri Hadrian
Kebun belajar pertanian ekologis terpadu. Foto: Putri Hadrian

Managing Director Suistainability Golden Agri Resources (GAR), Agus Purnomo, menambahkan, dari capaian selama ini, perusahaan berencana mengembangkan Program Desa Makmur Peduli Api. Konsep ini menambahkan kegiatan pelestarian fungsi ekosistem lokal, meningkatkan produktivitas lahan pertanian tanpa membakar, serta melatih lebih banyak warga untuk memahami manfaat pencegahan kebakaran. “Dukungan pemerintah dan instansi terkait, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa-desa percontohan,” ujarnya.

Fire Prevention and Management PT SMART, Achmad Supriyanto, menyatakan upaya pembentukan Desa Makmur Peduli Api, tidak serta merta zero burning. Titik panas tidak berarti titik api. Terdapat kriteria tertentu dari areal yang terbakar sehingga dinyatakan sebagai titik api atau titik panas. Sejauh ini, adanya areal yang terbakar masih dapat dikendalikan oleh Masyarakat Siaga Api dan Tim Kesiapsiagaan Tanggap Darurat. “Peralatan selalu diperhatikan kelengkapannya.”

Kebakaran di wilayah PT.ALM, 6 September 2015. Peta: Swandiri Institute
Kebakaran di wilayah PT.ALM, 6 September 2015. Peta: Swandiri Institute

Saat ini, perusahaan terus melengkapi sarana dan prasarana pencegahan kebakaran, ada 16 menara berbagai tipe, 10 unit gardu siaga api, dan 66 unit stop block. “Perusahaan merekrut 15 orang setiap desa yang tersebar di delapan desa sekitar kebun,” papar Achmad.

Terkait kebakaran di konsesi perusahaan, Wakil Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, Irjen Pol Joko Iriyanto, mengatakan tiga kasus kebakaran lahan yang melibatkan korporasi, hingga saat ini masih ditangani Polda Kalbar. Koordinasi dengan Kejaksaan Tinggi untuk melengkapi perkara terus dilakukan. Terutama saksi-saksi yang memperkuat terjadinya kebakaran lahan tersebut. “Tiga perusahaan itu, PT. SKM dengan lahan yang terbakar 100 hektare, PT. KAL (30 hektare), dan PT RJKA (60 hektare).”

Pasca-kebakaran di wilayah PT.ALM, 10 Desember 2016. Peta: Swandiri Institute
Pasca-kebakaran di wilayah PT.ALM, 10 Desember 2016. Peta: Swandiri Institute

Selama 2015, Polda Kalbar dan jajaran telah melakukan proses penyidikan kebakaran hutan dan lahan sebanyak 35 kasus. Terdiri, 31 kasus dengan tersangka perorangan dan 4 kasus dilakukan korporasi. Satu kasus yang melibatkan korporasi, dihentikan penyidikannya. “Alasannya, lahan yang terbakar sudah ditanami sawit produktif, sehingga tidak mungkin dilakukan pembakaran dengan sengaja,” tegas Iriyanto.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,