Maulid dan Perayaan Kehidupan di Komunitas Adat Batu Bassi

Pagi itu, di pertengahan Desember 2016 lalu, sepanjang jalan Dusun Batu Bassi, Desa Jene Taesa, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, terlihat lengang. Tak banyak warga bersliweran di sepanjang jalan. Di kejauhan terdengar lantunan doa-doa, yang ternyata berasal dari Masjid Nurus Siddiq, di pertengahan kampung.

Sejak pagi hari warga memang sudah tumpah ruah di sekitaran masjid. Setelah Ketua Panitia Maulid menyampaikan sambutan, dilanjutkan dengan pembacaan doa dan barzanji sebagai rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Di dalam masjid, orang-orang duduk dengan hikmat. Imam masjid yang berada di barisan paling depan menyalakan dupa, mengharumkan seluruh ruangan. Ia terus menjaga agar dupa itu tak padam, sambil terus melantunkan zikir. Dupa ini sendiri berasal dari Mekah, yang sengaja disiapkan untuk pelaksanaan maulid tersebut.

Di sekeliling ruangan, tertata rapi seratusan ember yang didandani sedemikian rupa dengan hiasan dan telur beragam warna. Warga menyebutnya kaddo minyak. Bingkisan yang wajib tersedia di setiap pelaksanaan maulid.

Pelaksanaan maulid di komunitas adat Batubassi memang selalu ramai dan unik dibanding daerah-daerah sekitarnya. Komunitas ini masih sangat teguh dalam memegang tradisi yang kental dengan nilai-nilai Islam. Termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam, masyarakat masih tetap mempertahankan tradisi-tradisi dan pamali-pamali tertentu.

Menurut Hamma Daeng Bani, Ketua Adat Batu Bassi, pelaksanaan maulid ini menjadi ajang silaturahmi warga, baik yang masih ada di batu bassi ataupun yang tinggal di perantauan.

“Kalau maulid seperti ini, keluarga-keluarga dari jauh datang turut melaksanakan maulid. Bagi yang punya rezeki banyak akan menyumbang untuk pembangunan masjid,” katanya.

Perayaan maulid ini pun biasanya akan mengundang warga-warga lain dari desa dan kecamatan tetangga. Para tamu akan mendapat perlakuan khusus, termasuk mendapatkan bingkisan kaddo minyak setelah acara tuntas.

Dalam perayaan maulid ini warga saling bertukar bingkisan atau kaddo minyak secara acak dan tak boleh memilih pasangan. Warga Desa Jene Taesa, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan berlomba-lomba membuat kaddo minyak terbaik sebagai simbol status ekonomi yang semakin membaik. Foto: Wahyu Chandra
Dalam perayaan maulid ini warga saling bertukar bingkisan atau kaddo minyak secara acak dan tak boleh memilih pasangan. Warga Desa Jene Taesa, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan berlomba-lomba membuat kaddo minyak terbaik sebagai simbol status ekonomi yang semakin membaik. Foto: Wahyu Chandra

Menurut Daeng Bani, tradisi maulid adalah salah satu tradisi yang masih bertahan dari sejak ratusan tahun silam sejak masuknya Islam di abad 17. Konon, Batu Bassi ini dulunya merupakan pusat pendidikan spiritual di Sulsel. Tempat dididiknya anak-anak Raja.

Pelaksanaan maulid biasanya tepat pada 12 Rabiul Awal, namun terkadang diundur pada kondisi tertentu.

“Di sini kan mayoritas petani, sementara sibuk di sawah dan kebun. Baru ada waktu sekarang,” katanya.

Menurut Daeng Bani, pelaksanaan maulid ini bukan sekedar perayaan seremonial, namun juga sebagai perayaan kehidupan, ungkapan rasa syukur atas hidup dan limpahan hasil panen pertanian mereka. Warga juga meyakini pelaksanaan maulid akan membuat rezeki semakin lancar.

“Alhamdulillah, kehidupan ekonomi warga semakin meningkat. Kalau dulu misalnya kita hanya panen dua kali maka sekarang bisa hingga tiga kali. Sangat jarang gagal panen. Ini yang menjadi kesyukuran kita semua.”

Maulid juga dianggap ajang untuk bersedekah dan menyambungkan hubungan yang terputus. Dalam perayaan maulid ini mereka biasanya saling bertukar kaddo minyak. Uniknya karena pertukaran kaddo minyak ini dilakukan secara acak, sehingga mereka tidak bisa memilih dengan siapa mereka akan bertukaran.

Hal menarik lainnya dari perayaan maulid ini, adalah isi dari kaddo minyak tersebut. Kalau dulunya hanya berupa songkolo atau nasi ketan, ayam atau ikan dan telur, maka seiring perkembangan zaman, isinya mulai bercampur dengan makanan-makanan modern, seperti biskuit, permen, roti, fanta, coca-cola dan lainnya. Bahkan ada juga yang menambahi dengan sarung, piring, panci dan kipas angin.

Beragam bentuk dan isi kaddo minyak ini, menurut Daeng Bani, akan menunjukkan status sosial pemiliknya. Semakin membaik status ekonomi maka kaddo minyak nya pun semakin beragam dan mahal. Ada yang nilainya mencapai jutaan rupiah. Jenis barang yang dimasukkan dalam bungkusan adalah jenis makanan yang disenangi dan sering dikonsumsi.

“Warga berlomba-lomba membuat kaddo minyak terbaik. Semakin bagus ekonominya akan semakin banyak kaddo minyaknya dan semakin mahal. Kalau tahun ini dirasa kurang maka akan ditingkatkan di tahun selanjutnya.”

Pemberian berkah bagi anak yang lahir bersamaan dengan perayaan maulid di komunitas adat Batu Bassi, Desa Jene Taesa, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Ini dianggap sebagai keberkahan. Di sini mereka diberi nama yang baik agar kelak berbakti pada orang tua dan agama. Foto: Wahyu Chandra
Pemberian berkah bagi anak yang lahir bersamaan dengan perayaan maulid di komunitas adat Batu Bassi, Desa Jene Taesa, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Ini dianggap sebagai keberkahan. Di sini mereka diberi nama yang baik agar kelak berbakti pada orang tua dan agama. Foto: Wahyu Chandra

Di tengah-tengah perayaan maulid, tiba-tiba seorang ibu menggendong bayinya mendatangi orang-orang yang sedang berdiri membacakan doa. Seorang perempuan lain mengiringi membawa kelapa muda yang telah dilobangi di bagian atas. Silih berganti imam dan pemangku adat memotong rambut si bayi dan memasukkan ke dalam buah kelapa tersebut.

“Anak itu kebetulan lahir bersamaan dengan maulid. Jadi sekalian diberkahi dan diberi nama yang bagus agar kelak menjadi anak yang berakhlak baik dan berbakti pada orang tua dan agama,” jelas Abdul Salam Daeng Juma, Kepala Dusun Batu Bassi membisiki.

Setelah proses pembacaan doa dilakukan, seluruh kaddo minyak yang berada di bagian depan dibagi-bagikan kepada tamu yang hadir. Beberapa orang lanjut usia tampak didahulukan sebelum ke tamu-tamu yang lain.

Panitia pun mengambil alih acara, memanggil satu persatu warga untuk datang mengambil kaddo minyak miliknya yang lalu ditukarkan dengan warga lain. Luapan kegembiraan terlihat ketika mereka mendapat bingkisan yang besar. Semuanya berlangsung tertib dan tak ada saling rebut seperti pada perayaan maulid di tempat lain.

Menurut Daeng Juma, sejak ia menjadi Kepala Dusun belasan tahun silam, ia memang mengatur pembagian kaddo minyak itu agar tertib dan tidak saling rebut.

“Dulu kacau sekali, bahkan ada yang berkelahi hanya memperebutkan telur. Makanya kita atur agar semuanya bisa memperoleh bagian dan tenang. Kita bikin aturan pertukaran secara acak agar adil,” katanya.

Ritual Menanam dan Panen

Selain perayaan maulid, ritual lain yang sering dilakukan warga Batu Bassi adalah ritual turun ke sawah dan panen. Semua ritual ini dikoordinir oleh pemangku adat yang khusus untuk pertanian yang disebut pinati, yang juga dijabat oleh Hamma Daeng Bani.

Ritual menanam ini biasanya dimulai dengan acara tolak bala, di mana selama empat minggu setiap malam jumatnya dilakukan pembacaan zikir di dalam masjid. Puncaknya adalah pada minggu ke empat di hari Jumat.

“Kita berdoa untuk keselamatan dan kesuksesan hasil panen. Kita doakan sejumlah wali yang kami kenal,” jelas Daeng Bani.

Kampung Batu Bassi di Desa Jene Taesa, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, dengan hamparan sawah yang subur bisa panen hingga 3 kali setahun. Ini dianggap sebagai berkah dari perayaan maulid. Foto: Wahyu Chandra
Kampung Batu Bassi di Desa Jene Taesa, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, dengan hamparan sawah yang subur bisa panen hingga 3 kali setahun. Ini dianggap sebagai berkah dari perayaan maulid. Foto: Wahyu Chandra

Ritual menanam dan panen ini harus dimulai oleh pinati. Warga takut melanggar aturan ini karena mereka akan sakit, panen gagal dan bahkan ada yang meninggal jika dilanggar. Semua yang dikatakan oleh pinati akan ditaati oleh warga.

Ketaatan warga terhadap adat istiadat setempat juga bisa dilihat dari arah bangunan rumah yang semuanya menghadap ke utara, tak boleh membelakangi rumah adat setempat.

“Pernah ada yang membangun rumah menghadap ke selatan, namun kemudian penghuni rumah sering sakit-sakitan. Terpaksa ia harus membangun ulang rumahnya.”

Batu Bassi sendiri merujuk pada batu besi yang dianggap sebagai situs penting di komunitas itu, yang ditempatkan di sebuah rumah adat atau balla lompoa, yang pada waktu tertentu ramai dikunjungi warga.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,