Hidup Mati Agus Susatya untuk Rafflesia

Namanya tidak asing di kalangan peneliti, jurnalis, aktivis, dan masyarakat yang peduli pada pelestarian rafflesia. Agus, biasa lelaki ini dipanggil. Lengkapnya Agus Susatya, pakar rafflesia yang akan selalu menjawab pertanyaan kita.

Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Provinsi Bengkulu, ini telah berkontribusi memperpanjang daftar jenis rafflesia di dunia. Bersama koleganya, Agus mendeskripsikan Rafflesia bengkuluensis pada 2005 dan Rafflesia lawangensis di 2010.

Pendeskripsian dua jenis rafflesia baru itu telah diakui internasional. Namanya dicatat dalam International Plant Nomenclatur Index. Tidak cuma itu, pria kelahiran 16 Agustus 1961, di Purworejo ini juga menerbitkan buku “Rafflesia: Pesona Bunga Terbesar di Dunia” pada 2011, guna membagikan pengetahuan yang dimilikinya.

“Semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, khususnya pelestarian rafflesia,” kata Wakil Ketua Forum Komunikasi Riset dan Pengembangan Rafflesia dan Amorphophallus ini di ruang kerjanya, Rabu (25/01/17).

Rafflesia bengkuluensis yang mekar pada 21 Januari 2015 di Desa Manau Sembilan Kecamatan Padang Guci Hulu, Kabupaten Kaur, Bengkulu. Foto: Noprianto
Rafflesia bengkuluensis yang mekar pada 21 Januari 2015 di Desa Manau Sembilan Kecamatan Padang Guci Hulu, Kabupaten Kaur, Bengkulu. Foto: Noprianto

Lulusan S1 Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, dan S2 Departement of Botany and Plant Pathology, Michigan State University, East Lansing, Amerika Serikat ini mulai meneliti rafflesia akhir 1990-an. Untuk memenuhi minatnya itu, Agus bersama temannya mengajukan usulan penelitan hibah ke Yayasan Kehati pada 2001.

Penelitian distribusi dan ekologi jenis-jenis rafflesia di Taman Nasional Kerinci Seblat, Bengkulu itu disetujui. “Keterbatasan literatur tentang rafflesia yang menjadi pendorong. Padahal, Bengkulu dikenal sebagai Bumi Rafflesia,” kata Agus.

Rafflesia lawangensis. Sumber: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Rafflesia lawangensis. Sumber: Jurnal REINWARDTIA, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Minatnya mempelajari rafflesia kian meningkat saat studi S3 di Center of Enviromental dan Natural Resources Studies, Faculty of Science and Techology, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), pada 2001. Menjadi anggota senior Rapid Monitoring Team of Rafflesia, Agus makin tak kuasa untuk tidak menyebut rafflesia di kehidupannya.

Agus bersama Arianto Wahyudi dan K. Mat Salleh, pada 2005, mendeskripsikan rafflesia yang ditemukan di Talang Tais, Kabupaten Kaur, Bengkulu sebagai jenis baru. Mereka menamakannya Rafflesia bengkuluensis. “Diberi nama bengkuluensis untuk menghormati Bengkulu sebagai lokasi pertama kali dideskripsikan.”

Agus Sustya yang cinta luar dalam rafflesia. Foto: Facebook Agus Sustya
Agus Susatya yang cinta luar dalam rafflesia. Foto: Facebook Agus Sustya

Karya

Minat Agus terhadap rafflesia ia wujudkan dalam disertasi “Taxonomi dan Ekologi Rafflesia di Bengkulu”. Lalu, bersama K. Mat Salleh, R. Wahyuni dan Veldkamp, Ketua Pusat Kajian Keragaman dan Konservasi Hayati Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu ini, kembali mendeskripsikan jenis baru rafflesia pada 2010.

Mereka mendeskripsikan rafflesia yang ditemukan di Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dengan nama Rafflesia lawangensis. “Jenis ini tercatat sebagai jenis ke-25. Sampai saat ini, belum ada lagi jenis baru.”

Pencapaian demi pencapaian yang diraih tersebut tidak membuat Agus berpuas diri. Sebaliknya, kian bersemangat. Meski, kendala pendanaan membuatnya tidak bisa leluasa. Ini dikarenakan tidak banyak lembaga pemerintahan atau non-pemerintahan yang mendukung penelitian dan pelestarian rafflesia.

“Saya menyakini, banyak jenis rafflesia yang belum dideskripsikan. Termasuk, teka-teki atau misteri rafflesia yang belum terpecahkan. Semoga akan banyak peneliti Indonesia yang tertarik di masa mendatang.”

Agus berharap, hambatan yang ada sekarang dapat segera teratasi, tidak terakumulasi di kemudian hari. Kecintaan akan rafflesia harus ditumbuhkan di masyarakat Indonesia. Bukan sekadar tahu. Rafflesia juga memiliki potensi luar biasa bagi perekonomian negara/daerah yang dapat dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Indonesia, bisa dikatakan kalah dari Malaysia dan Filipina untuk urusan penelitian pengetahuan dan konservasi. Bukan tidak mungkin, suatu saat nanti, kita pun bakal tertinggal jauh dalam hal pengembangan ekowisata rafflesia,” tandas Agus.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,