Mimpi Organik Petani Kaluppini. Seperti Apa?

Ahmad (50) berjalan tergopoh-gopoh sambil menenteng kantung plastik di tangannya. Wajahnya berseri-seri menghampiri sambil menyodorkan kantong plastic yang ternyata berisi kacang tanah.

“Ini kacang tanah hasil panen kemarin. Bisa langsung dimakan karena sudah disangrai istri saya di rumah tadi,” katanya dengan bangga sambil tertawa kecil.

Pagi itu, Minggu (08/01/2017), di Desa Kaluppini, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Mongabay bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat dan adat Kaluppini. Kami berbincang panjang lebar tentang inisiatif organik di komunitas adat tersebut.

Kacang yang dibawa Ahmad adalah hasil panen organik kali kedua sejak mereka memproklamirkan diri bertani secara organik dan perlahan mulai meninggalkan pertanian kimiawi. Kacang tanah hasil pertanian organik dinilai lebih berisi dan banyak. Rasanya pun konon jauh lebih gurih dibanding kacang tanah non organik.

“Kalau dulu hasil panen lahan sehektar hanya sekitar 12 karung, sekarang bisa sampai 16 karung. Kacangnya hampir semua terisi. Coba lihat sendiri kacang-kacang ini,” jelas Ahmad sambil menunjukkan bentuk fisik kacang yang dia maksud.

Tidak hanya hasil yang lebih banyak, biaya pun bisa dipangkas karena pupuk dan pestisida yang digunakan bersifat alami dan mudah di sekeliling. Hampir tidak ada biaya dikeluarkan untuk pembuatan bahan dan pestisida ini.

Perlakuan organik ini, tambah Ahmad, tidak hanya pada tanaman kacang saja, tetapi juga pada tanaman jenis lain seperti padi, jagung dan belakangan pada cabai.

“Semua sudah organik sekarang. Tahun ini kita coba juga pada cabai. Belum kelihatan hasilnya tetapi semoga bisa panen dalam waktu dekat ini,” ungkap Abdul Halim (38) atau Papa Devi, petani organik dari Kaluppini lainnya.

Hasil panen padi dengan pertanian organik di Desa Kaluppini, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Meski belum sesuai harapan dari segi jumlah, namun secara kualitas jauh lebih baik dan lebih berat dengan gabah yang teisi penuh. Foto: Wahyu Chandra

Menurut Halim, hingga saat ini di komunitas adatnya baru sekitar 20 orang yang benar-benar serius bertani secara organik. Di awal inisiatif organik ini, setahun lalu, jumlahnya mencapai 40 orang. Namun kemudian berkurang dan hilang satu persatu karena takut mengambil resiko.

“Memang besar tantangan dan godaan di awal-awal. Sebagian anggota bisa melewati fase ini dan sebagian tidak. Apalagi kalau sudah dikaitkan dengan masa depan ekonomi keluarga,” jelas Halim.

Ini juga diakui Ahmad bahwa di awal-awal memang godaannya sangat besar. Apalagi ketika serangan hama dan penyakit yang cukup mengkhawatirkan.

“Kalau melihat tampilan fisik tanaman terlihat sudah sangat rusak. Di panen awal, hasil panen turun hingga setengah dari panen sebelumnya tanpa organik,” jelasnya.

Tantangan dari keluarga juga sangat besar, apalagi untuk petani dengan luas lahan yang terbatas.

“Bayangkan saja bagaimana reaksi istri di rumah melihat hasil panen yang setengahnya gagal. Meyakinkan istri memang tantangan terberat dari usaha yang kami lakukan ini,” ungkap Ahmad.

Tantangan lain adalah cemohan dan ungkapan rasa tak percaya dari petani lain. Apalagi ketika panen pertama yang sebagian besar padinya termakan ulat. Kedudukan mereka sebagai pemangku adat di komunitas adat Kaluppini tidak serta merta membuat mereka mudah meyakinkan warga lain.

Kondisi alam Kaluppini, Enrekang, Sulawesi Selatan yang terdiri dari gunung dan lembah membuat pertanian agak lebih susah dilakukan. Di masa lalu, petani kemudian banyak beralih ke pertanian dengan input kimiawi yang banyak sehingga menimbulkan ketergangungan. Foto: Wahyu Chandra

Untunglah hasil panen kedua jauh lebih banyak, peningkatannya hampir setengah dari panen sebelumnya. Kepercayaan diri Ahmad pun meningkat. Begitupun dengan istrinyayang mulai mendukung. Apalagi cita rasa beras organik jauh lebih enak dibanding beras non organik.

“Biji-biji gabah hampir seluruhnya terisi dan padat. Rasanya jauh lebih enak. Malah sekarang istri saya yang paling mendukung dan membantu menyiapkan pupuk cair yang bahan-bahannya berasal dari tanaman dan buah-buahan yang ada di sekitar. Biaya pembuatannya jauh lebih murah dibanding pembelian pupuk dan pestisida di toko-toko yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah.”

 

Transformasi Organik

Transformasi Ahmad dan sebagian warga Kaluppini lainnya ke pertanian organik diawali sekitar tahun lalu, setelah mereka mendapat kunjungan pembelajaran dari petani Salassae di Bulukumba yang lebih dulu melakukannya. Adalah Halim yang pertama kali mengajak warga lain untuk terlibat.

Di awal pembelajaran, sebanyak 40 warga ikut bergabung dalam inisiatif ini. Secara intensif mereka mengikuti pelatihan yang dilakukan oleh petani Salassae. Mereka belajar membuat pupuk dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar. Termasuk pembuatan pupuk kompos dari kotoran ternak.

“Cukup banyak yang berminat di awal-awal, termasuk dari dusun lain. Namun belakangan yang banyak mundur perlahan-lahan karena tanaman yang terkena serangan hama. Ini menimbulkan rasa frustasi juga. Pak Ahmad juga sempat menyatakan ingin mundur namun kita paksa untuk terus bertahan,” kenang Halim.

Keinginan Ahmad untuk keluar dari kelompok ini memang sempat menimbulkan kegalauan tersendiri. Itu bisa melemahkan semangat mereka. Apalagi Ahmad adalah ketua kelompok yang mereka bentuk kemudian yaitu Komunitas Petani Alami (Kompak).

“Ketika saya menyampaikan keinginan untuk mundur, saya ingat betul wajah dan mata Papa Devi memerah menahan emosi. Saya akhirnya memutuskan bertahan dan banyak berdoa semoga hasilnya nanti bisa lebih bagus.”

Wilayah adat Kaluppini, Enrekang, Sulawesi Selatan berada di ketinggian 1.070 mdpl dengan akses jalan yang sulit diakses. Kondisi hutan masih terjaga dan menjadi bagian dari ritual adat. Foto: Wahyu Chandra

Keinginan Ahmad untuk bertani secara organik sendiri didasari pada keprihatinan melihat tingkat ketergantungan petani pada pupuk dan pesitisida kimiawi yang semakin besar. Ia mulai merasa ketergantungan ini akan berdampak buruk pada kesehatan. Apalagi kemudian sering terjadi kondisi kelangkaan pupuk. Selain itu, ia juga punya alasan lain yang terkait masa lalu.

“Dulu di sekitar tahun 1970-an saya lah yang pertama kali memasukkan pupuk dan pestisida ke Kaluppini ini. Makanya saya mau menebus dosa itu dengan membawa pertanian organik ke kampung halaman saya ini kembali,” ujar Ahmad.

Halim juga punya alasan tersendiri. Menurutnya, pertanian di Kaluppini dulunya memang seluruhnya organik hingga kemudian pupuk dan pestisida kimiawi datang karena kebijakan pemerintah. Ia juga menilai secara ekonomi pertanian organik sebenarnya jauh lebih menguntungkan.

Sayangnya, upaya ini belum sepenuhnya diikuti oleh warga lain. Sebagian besar masyarakat masih ragu meninggalkan model pertanian lama karena tak berani mengambil resiko kegagalan, meski Ahmad dan petani organik lainnya sudah menunjukkan hasil panen yang lebih baik.

Tantangan lain karena sebagian besar petani terbiasa melakukan semua hal secara instan. Untuk mendapatkan pupuk dan pestisida misalnya masih sangat tergantung dengan cara membeli. Padahal konsep yang dibangun Ahmad dan Halim adalah kemandirian petani menyiapkan sendiri kebutuhan-kebutuhan pertaniannya.

“Apalagi lahan yang akan dikelola itu harus dinetralkan dulu yang butuh proses panjang dan rumit. Harus ada penyemprotan menggunakan air laut, sementara Kaluppini adalah daerah pegunungan. Untuk mendapatlan air laut itu harus mengambil di Parepare. Ini mungkin yang dirasa berat”

Meski demikian, Ahmad dan Halim optimis dengan pertanian organik ini akan bisa segera diikuti oleh petani lain,meski memang butuh waktu.

Mereka bahkan berencana melebarkan sayap dengan membantu pembentukan kelompok lain di dusun-dusun sekitar.

“Kita sudah ada rencana ke dusun sebelah membantu petani lain yang berminat organik. Sudah ada beberapa orang yang datang meminta untuk difasilitasi,” ungkap Halim.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,