Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api Dijalankan, Bagaimana Respon Masyarakat Terhadap Lingkungan? (Bagian 1)

Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-Api di Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan fasilitas tertentu yang luasnya sekitar 2.030 hektare.

Pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api dan pusat perekonomiannya sudah diperjuangkan empat Gubernur Sumatera Selatan. Dimulai dari era Ramli Hasan Basri (1988-1998), Rosihan Arsyad (1998-2003), Syahrial Oesman (2003-2008), serta Alex Noerdin (2008-sekarang). Upaya pembangunan pelabuhan ini tidak berjalan mulus, berbagai kendala dihadapi. Termasuk pula mantan Gubernur Sumsel Syahrial Oesman dan sejumlah anggota DPR RI pernah dipenjara karena KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menduga adanya tindak korupsi terkait alih fungsi hutan lindung pantai untuk pelabuhan tersebut.

Namun, sejak terbitnya Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2014 tentang KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Tanjung Api-Api, keinginan pemerintah Sumatera Selatan kembali bergairah. Alex Noerdin pun optimistis jika KEK Tanjung Api Api akan berjalan mulus.

Masterplan KEK Tanjung Api-Api. Sumber: SIPHIDA – KEK Sumatera Selatan

Secara umum, masyarakat lokal mendukung rencana pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-Api di Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Namun, dukungan tersebut justru menjadi ancaman bagi kelestarian kawasan mangrove dan rawa gambut di wilayah seluas 3.632 kilometer persegi tersebut. Mengapa?

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia awal Februari 2017 ini, masyarakat di Kecamatan Banyuasin II atau biasa disebut “wong Sungsang” terasa cepat merespon rencana pembangunan KEK Tanjung Api-Api dan Pelabuhan Tanjung Api-Api.

Respon tersebut seperti membangun rumah, pertokoan, hotel, dan fasilitas hiburan di sepanjang Jalan Palembang-Pelabuhan Tanjung Api-Api maupun Palembang-Sungsang. Lebih jauh lagi, dengan terbukanya akses jalan darat, sejumlah pengusaha bersama masyarakat membuka perkebunan sawit.

Yang menjadi persoalan, lahan yang digunakan untuk membangun tersebut berada di rawa gambut, kawasan pasang surut atau lingkungan hutan bakau.

“Tidak ada persoalan bagi kami daerah ini diubah menjadi lokasi apa pun, selama hidup kami tambah makmur. Apalagi kalau jalan darat menuju dusun kami terus diperbaiki,” kata Ardiansyah, warga Desa Marga Sungsang, ketika bersama warga lainnya tengah memperbaiki jalan darat menuju desanya yang mengalami kerusakan selama musim penghujan ini.

Selama ini, katanya, kawasan pasang surut yang berada di belakang permukiman desanya yang berada di tepi Sungai Musi, tidak pernah termanfaatkan. Kecuali, untuk mencari kayu dan daun nipah. “Tapi sejak 2000-an awal, sudah tidak ada lagi pohon besar kecuali hutan nipah ini,” lanjutnya.

Masterplan KEK Tanjung Api-Api. Sumber: SIPHIDA – KEK TAA Sumatera Selatan

Dirinya maupun warga lain tidak pernah memprotes kehadiran perkebunan sawit. “Saya dan beberapa warga lainnya pernah bekerja membantu seorang pengusaha membuka lahan untuk perkebunan sawit di sini,” katanya.

Ketika dijelaskan jika rawa gambut dan kawasan hutan bakau rusak dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat, seperti kebakaran dan banjir, Ardiansyah hanya terdiam. “Wah kami tidak tahu soal itu, sebab selama ini daerah kami tidak pernah kebakaran dan kalau air pasang ya memang sudah biasa,” ujarnya.

Abbas, warga Desa Marga Sungsang lainnya juga menyambut baik kehadiran KEK Tanjung Api-Api dan Pelabuhan Api-Api. “Kami senang daerah kami tambah maju dan ramai. Yang penting jangan bae rumah kami digusur, kami tidak punya pekerjaan,” katanya.

Abbas dan Ardiansyah membenarkan jika kawasan rawa gambut dan hutan bakau yang dekat Hutan Lindung Pantai Air Telang yang luasnya mencapai 12.360 hektare sebagian sudah dibuka masyarakat untuk pertambakan dan perkebunan sawit. “Jika punya modal, saya juga mau membuka tambak atau kebun,” kata Ardiansyah yang pernah menjadi nelayan dan kini narik becak.

Penerimaan kehadiran KEK Tanjung Api-Api dan Pelabuhan Tanjung Api-Api juga disampaikan warga Desa Rimau Sungsang. “Jelas senang, daerah ini sekarang menjadi ramai. Kami justru bingung kenapa pembangunannya berjalan lamban. Yang penting, pembangunan ini tidak menggusur rumah dan kebun kami,” katanya.

Pembangunan pelabuhan dan Kawasan Khusus Ekonomi (KEK) Tanjung Api-Api dan Pelabuhan Tanjung Api-Api bukan hanya terdampak pada wilayah dan masyarakat Desa Rimau Sungsang sebagai lokasi pelabuhan. Ada Desa Muara Sungsang dan Teluk Payo sesuai peta Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2014 sebagai lokasi KEK Tanjung Api-Api, juga Desa Marga Sungsang, Sungsang III, Sungsang IV dan Perajen Jaya. Ketujuh desa tersebut masuk dalam lansekap pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api dan KEK Tanjung Api-Api.

Hutan mangrove yang terletak di antara Pelabuhan TAA dan Pelabuhan Laut TAA. Hutan mangrove ini dulunya bagian dari Hutan Lindung Pantai Air Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumsel. Foto: Taufik Wijaya

Saat ini, ada dua pelabuhan di Tanjung Api-Api, yakni Pelabuhan Tanjung Api-Api dan Pelabuhan Laut Tanjung Api-Api. Sejak 2013, Pelabuhan Tanjung Api-Api sudah beroperasi sebagai pelabuhan penyeberangan Sumatera Selatan-Bangka, sementara Pelabuhan Laut Tanjung Api-Api dalam tahap pembangunan.

Sepanjang Jalan Tanjung Api-Api, dari Palembang menuju Pelabuhan Tanjung Api-Api, tepatnya di wilayah Gasing, Teluk Payo, dan Muara Sungsang, juga terlihat berbagai pembangunan infrastruktur seperti pertokoan, pergudangan, dan pemukiman. Sebagian besar pembangunan ini berada di atas lahan rawa gambut yang sebelumnya dijadikan masyarakat perkebunan dan persawahan sejak 1970-an.

Kesadaran lingkungan

Adios Syafri dari Hutan Kita Institute (HaKI) menjelaskan, ancaman terhadap pengrusakan lingkungan di lansekap Tanjung Api-Api atau Banyuasin II, bukan hanya dari pembangunan infrastruktur jika dijalankan tidak lestari, juga dari perilaku masyarakatnya.

“Dulunya, masyarakat di wilayah itu menetap di tepi sungai. Mereka umumnya berprofesi sebagai nelayan sungai dan laut. Namun, sejak 1970-an wilayah hutan gambutnya mulai dibuka menjadi perkebunan, selain sebagai sumber kayu. Jadi kesadaran masyarakat umumnya untuk mengeksploitasi bukan melindungi,” katanya.

Jika di bawah 1970, masyarakat hanya menetap di Sungsang, tapi sejak awal 1970-an, daerah itu berkembang menjadi beberapa desa, yang sebagian besar warganya adalah pendatang. Desa ini terbentuk karena pembukaan lahan, misalnya Desa Rimau Sungsang, Desa Muara Sungsang, Teluk Payo, Perajen Jaya, hingga Marga Sungsang, Sungsang III, dan Sungsang IV.

Bahkan, sebagian wilayah mangrove dibuka masyarakat untuk pertambakan udang dan ikan. Misalnya, di Desa Muara Sungsang seluas 490 hektare mangrove dijadikan pertambakan oleh masyarakat.

Sepanjang Jalan Tanjung Api-Api kita akan menemukan sejumlah lahan gambut yang dibuka yang diperkirakan untuk perkebunan. Foto: Taufik Wijaya

Oleh karena itu, selain ada skema pembangunan infrastruktur yang lestari, harus adanya skema yang tepat bagi masyarakat untuk menjaga hutan mangrove atau kawasan bakau. “Saya percaya, sebagian besar masyarakat tidak paham soal ancaman ke depan jika lingkungan mereka rusak. Semua pihak harus membangun kesadaran ini.”

Namun, masyarakat yang sudah terlanjur mengelola hutan lindung hendaknya diberikan kewenangan untuk melakukan perhutanan sosial. Ini penting agar mereka tetap hidup, tapi terjaga pengelolaannya termasuk sebagai upaya membatasi perluasan pengelolaan di hutan lindung.”

“Kita semua menginginkan pembangunan KEK Tanjung Api-Api dan Pelabuhan Tanjung Api-Api berjalan mulus dan dapat memberikan dampak positif bagi Sumatera Selatan maupun Indonesia. Tapi kita juga berharap lingkungan yang ada di sana tetap terjaga, jika tidak, akan terjadi bencana yang tentunya merugikan kita semua nantinya,” jelas Adios.

Masterplan KEK Tanjung Api-Api. Sumber: SIPHIDA – KEK TAA Sumatera Selatan
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,