Industri Sawit Mesti Benahi Tata Kelola

Industri sawit menjadi penyokong pemasukan dalam negeri tetapi tak bisa melepaskan berbagai permasalahan yang mengikuti bisnis ini dari kerusakan lingkungan, kebakaran hutan dan lahan sampai beragam konflik sosial. Pembenahan tata kelola industri sawit dari hulu ke hilir jadi keharusan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, masalah lingkungan dan sosial industri sawit selalu muncul hingga menjadi isu dunia.

Hasil survei Bank Dunia juga dipaparkan mantan Direktur Bank Dunia ini soal sisi negatif sawit dalam kaitan fenomena kebakaran besar. Di mana, konversi lahan ke perkebunan sawit, 10% jadi pemicu kebakaran hutan.

Adapun kerugian kabut asap mencapai 1,9% gross domestic product (GDP) 2015. Tak hanya itu, kebakaran hutan juga meyebabkan kematian, kerusakan lingkungan dan ekspor produk sawit terhenti dan mendulang kerugian hingga Rp54 triliun.

”Dari sisi benefit, sawit menguntungkan, tapi fenomena kebakaran hutan patut dipertanyakan apakah imbang dengan sisi ekonomi yang dihasilkan. Jadi bukan hanya kalkulasi ekonomi saja. Sawit sudah menjadi headline di seluruh dunia,” katanya dalam Pertemuan Nasional Sawit Indonesia (PNSI) 2017 di Jakarta, Kamis (2/2/17).

Sri Mulyani bilang, perbaikan tata kelola perkebunan sawit dalam negeri secara konsisten sekaligus bisa memperbaiki citra produk ini di pasaran.  Salah satu, katanya, dengan standardisasi perkebunan sawit berkelanjutan melalui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

”Yang harus diperbaiki tata kelola baik dari hulu sampai hilir. Tujuannya,  supaya seluruh dimensi apakah manusia, petani, pekerja, dimensi ekonomi dan sosial bisa terus berjalan,” katanya.

Melalui kebijakan standardisasi ini, dia berharap, tak hanya meyakinkan dunia luar, tetapi masyarakat dalam negeri.  Bahwa, industri sawit tak hanya memberikan keuntungan dari sisi ekonomi juga lingkungan.

Menkeu meminta, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) dapat besinergi, tak hanya memungut dana, juga turut mengelola industri dan kegiatan sawit berkelanjutan.

Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution juga menekankan hal sama. Indonesia, katanya,  perlu membenahi tata kelola perkebunan dan industri kelapa sawit untuk memenuhi standar global. “Dengan demikian, tak akan ada lagi alasan dari kalangan global menyudutkan kita,” katanya.

 

ISPO dan moratorium sawit

Sementara itu, sejak tahun lalu pembahasan dua aturan tata kelola sawit berkelanjutan, yakni moratorium sawit dan penguatan ISPO,  masih juga belum selesai.

Bahasan dua aturan ini terbilang alot, beberapa kali target waktu penyelesaian disebut-sebut pemerintah, terakhir Januari 2017, ternyata molor. Tarik menarik berbagai kepentingan membumbui proses pembuatan aturan ini.

”Sudah tahap finalisasi, kalau dari kami (tim sekretariat ISPO) sudah sejak awal Desember memberikan kepada Tim Dewan Pengarah di Menko (Kementerian Perekonomin-red). Hasilnya masih menunggu,” kata Aziz Hidayat, Ketua Sekretariat ISPO melalui telepon kepada Mongabay.

Soal moratorium sawit, San Afri Awang, Direktur Jenderal Planologi dan Tata Ruang Kementerian Lingkungan Hidup dan bilang, sudah tahap finalisasi.

”Kita punya tiga perpres yang mau sekaligus diterbitkan karena masih saling terkait, salah satunya moratorium sawit,” katanya , di Jakarta, baru-baru ini.

Satu lagi perpres terkait reforma agraria dan perpres penyelesaian penguasaan tanah oleh masyarakat di kawasan hutan.

Herry Purnomo, peneliti CIFOR mengatakan, ISPO masih tarik-menarik kepentingan satu sama lain, antara kementerian, lembaga dan pelaku industri. ”Masih masalah terkait isu keberlanjutan,” katanya.

Aziz mengelak dibilang ada tarik menarik kepentingan. Menurut dia, sosialisasi ISPO cukup baik antar kementerian dan pelaku industri. “Semua pemangku kepentingan sudah diajak duduk bareng tim pengarah dan sosialisasi.”

ISPO penguatan yang sedang disusun ini, katanya,  memiliki kekuatan pada keberterimaan pasar internasional. ”Lebih rigid dan kriteria sudah ditelaah ulang, kita lihat keinginan pasar dari masukan GAPKI (Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia-red),” katanya.

Segi promosi pun jadi bagian pembahasan. Soalnya, bicara pasar tak bisa dilihat dari dalam negeri saja tetapi tujuan ekspor.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang MM mengatakan, ada tujuh prinsip dan kriteria ISPO yang mengatur detil tata kelola perusahaan perkebunan sawit yang baik dan berkelanjutan.

Ketujuh prinsip dan kriteria ISPO adalah sistem perizinan dan manajemen perkebunan,  penerapan pedoman teknis budidaya dan pengolahan sawit. Lalu, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, tanggung jawab terhadap pekerja, tanggung jawab sosial dan komunitas, pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat dan peningkatan usaha berkelanjutan.

Ketujuh prinsip dan kriteria ini, katanya akan dijabarkan dalam 98 indikator penilaian.

Saat ini, luasan perkebunan sawit di Indonesia mencapai 11,4 juta hektar, 4,4 juta hektar atau 44% perkebunan petani.

Dari jumlah itu, luasan petani swadaya 3,5 juta hektar, sisanya plasma. Meskipun jumlah besar, katanya, namun produktivitas petani sawit masih rendah.

“Ini yang menjadi tanggungjawab pemerintah untuk membantu mereka bisa disertifikasi. Bisa bekerjasama dengan perusahan-perusahaan setempat,” katanya.

Jika produk petani sawit bersertifikat, akan mudah diterima perusahaan-perusahaan dengan harga lebih tinggi.

Untuk membantu mempercepat proses sertifikasi, perusahaan diminta menyiapkan sejumlah tenaga auditor internal perusahaan untuk membantu proses sertifikasi ISPO. Tenaga auditor internal perusahaan sawit itu, didaftarkan ke Sekretariat Komisi ISPO untuk dilatih menjalankan tatakelola perkebunan sawit berkelanjutan sebagai bagian meraih sertifikasi ISPO.

Edi Suhardi, dari Indonesia Growers Caucus pesimistis, ISPO mampu laku di pasar internasional. ”ISPO penguatan lebih cenderung upaya menunjukkan terhadap tuntutan global. Nothing to do to market access, buat premium kalau mau tercapai,” katanya.

 

 

 

Bukan jalan keluar

Achmad Surambo, Peneliti Sawit Watch mengatakan, ISPO sejauh ini hanya berbicara terkait kampanye. Pokok permasalahan dari tata kelola bukan pada sertifikasi, namun pada proses penegakan hukum dan pengawasan.

”ISPO kan selama ini soal patuh dan tak patuh. Ketika tak patuh, harusnya ada penegakan hukum, tapi tak jalan.”

Penegakan hukum ini, katanya,  harus memiliki sifat langsung seperti sanksi administrasi hingga ada efek jera.

Kalau hanya untuk menembus pasar internasional, katanya, sebenarnya mudah jika tata kelola sawit dalam negeri sudah baik, dari kebijakan dan implementasi. Pasalnya, banyak kebijakan seringkali bertolak belakang dengan perbaikan tata kelola sawit.

”Masalah sertifikasi, sebenarnya sudah cukup dengan pendekatan  sukarela, seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil-red).”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,