Rafflesia, Bunga Misterius yang Butuh Sentuhan Peneliti

Rafflesia merupakan bunga terbesar di dunia yang menyimpan teka-teki ilmu pengetahuan. Ia tidak memiliki batang, daun dan akar. Digolongkan tumbuhan holoparasit karena hidupnya bergantung pada inang, tanpa bisa melakukan fotosintesa sendiri.

“Selain bunga, rafflesia hanya dilengkapi haustorium, yakni jaringan yang mempunyai fungsi mirip akar yang menghisap sari makanan hasil fotosintesa dari tumbuhan inang,” ujar Agus Susatya, peneliti rafflesia dari Universitas Bengkulu, baru-baru ini.

Keunikan rafflesia memunculkan istilah khas untuk bagian-bagiannya. Istilah yang berbeda dengan tumbuhan berbunga umumnya. Misal, perigon (perigon lobe) yang muncul dari tabung perigon (perigon tube). Perigon yang biasanya berjumlah lima helai ini diduga berfungsi untuk menarik penyerbuk (polinator).

Di bagian tengah atas bunga yang mekar terdapat gelang yang disebut diaphragma (diaphragm apperture). Di permukaan perigon dan diaphragma dijumpai bercak (wart) beragam ukuran dan warna yang umumnya putih, oranye atau merah muda. Sedangkan di bawah diaphragma biasanya ditemukan jendela (window) dan ramenta.

Jendela adalah kumpulan bercak putih yang biasanya bulat, berjajar, dan membentuk lingkaran putus-putus. Jendela berfungsi memberikan arah jalan bagi penyerbuk untuk masuk dan keluar dari tabung perigon. “Jumlah lingkaran yang menyusun jendela, dan pola bercak perigon dan diaphragma dapat digunakan untuk mengenali jenis rafflesia,” tutur Agus.

Rafflesia arnoldii yang mekar di Bengkulu. Foto: Facebook Sofian Rafflesia

Bagian lainnya adalah Rementa. Menyerupai bulu, rementa tersebar dari dasar tabung perigon bagian dalam sampai bawah permukaan dalam diaphragma. Mempunyai bentuk dan ukuran beragam, rementa diduga memancarkan panas dan bau busuk. Morfologi ramenta ditambah pola sebarannya juga digunakan untuk mengenali jenis rafflesia.

Rafflesia menyelesaikan siklus hidupnya lima tahun, terdiri tujuh fase. Yakni, proses penyerbukan, pembentukan buah dan biji, penyebaran biji, inokulasi biji ke inang, kemunculan kuncup bunga atau knop, kuncup yang matang, dan bunga mekar. Khusus perkembangan bunga, Agus menambahkan, terdiri dari fase kopula, kopula-brakta, brakta, brakta-perigon, perigon dan mekar.

Hingga saat ini, baru 25 jenis rafflesia di dunia yang dideskripsikan. Sebanyak 12 jenis ada di Indonesia yang 10 jenisnya tersebar di Sumatera. Meliputi R. arnoldii, R. atjehensis, R. rochussenii, R. micropylora, R. hasseltii, R. gadutensis, R. tuan-mudae, R. patma, R. Bengkuluensis, dan R. lawangensis. Kebanyakan jenis rafflesia dari Sumatera ini ada  di sisi barat Bukit Barisan.

Menurut Agus, masih banyak misteri rafflesia yang belum terpecahkan. Seperti mekanisme penyebaran, reproduksi, juga siklus hidupnya. “Keunikan rafflesia ini merupakan tantangan para botanis di seluruh dunia untuk memecahkannya.”

Rafflesia bengkuluensis yang mekar pada 21 Januari 2015 di Desa Manau Sembilan Kecamatan Padang Guci Hulu, Kabupaten Kaur, Bengkulu. Foto: Noprianto

Puspa langka nasional

Rafflesia arnoldii adalah jenis rafflesia yang pertama dideskripsikan di dunia. Bunga yang dilihat pertama kali oleh Dr. Joseph Arnold di Pulau Lebar, Bengkulu Selatan pada 1818 itu, dideskripsikan dan dipublikasikan oleh  Robert Brown pada 1820. Penemuan R. arnoldii ini telah memunculkan marga dan keluarga baru, yakni Rafflesia dan Rafflesiaceae.

Ditetapkan sebagai Puspa Langka Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 4 tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, R. arnoldii merupakan jenis rafflesia terbesar di dunia. Diameternya bisa mencapai 110 cm. Jenis ini juga mempunyai sebaran geografis yang paling luas. Yakni, di sepanjang barat sisi Pegunungan Bukit Barisan dari Aceh hingga Lampung.

R. arnoldii biasanya ditemukan di ketinggian 35 – 600 meter di atas permukaan laut. Habitatnya dari hutan sekunder muda, kebun penduduk, hutan hujan dataran rendah sampai hutan pegunungan bagian bawah. “Jenis ini lebih banyak dijumpai di Bengkulu dibandingkan daerah lain, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa pusat sebaran geografis jenis ini memang di Bengkulu,” kata Agus.

Istilah dan bagian bunga rafflesia. Sumber: Agus Susatya

Agus merinci siklus hidup R. arnoldii. Dari fase perkecambahan dan inokulasi terhadap inang hingga muncul kopula dengan diameter 0,6 – 3,3 cm butuh waktu 2 – 3 tahun. Setelah kuncup berukuran 3,3 – 4,14 cm atau setelah 33 – 144 hari, brakta mulai terlihat. Untuk mencapai brakta sempurna, yakni dengan ukuran kuncup 7,31 – 11,76 cm, dibutuhkan waktu 172 – 257 hari dari fase kopula.

Perigon mulai terlihat saat kuncup berukuran 12,02 – 13,96 cm, yang membutuhkan waktu 23 – 66 hari dari fase brakta. Perigon menjadi sempurna saat kuncup berukuran 21,3 – 22,4 cm, yang memerlukan waktu 100 – 143 hari dari fase brakta sempurna. Setelah 1 – 14 hari, kuncup berdiameter 22,18 – 26,28 cm, siap mekar. Bunga mekar selama 5 – 6 hari, di hari kedua dan ketiga saat mekar sempurna akan mengeluarkan bau busuk.

Setelah mekar, bunga membusuk. Untuk sampai busuk sekitar 5 – 8 hari. Selanjutnya, dibutuhkan waktu 6 – 8 bulan hingga buah masak, dan 1 – 2 hari untuk penyebaran biji. “Berapa waktu yang diperlukan untuk penyebaran biji ke perkecambahan dan inokulasi terhadap inang, belum diketahui. Termasuk, bagaimana proses inokulasi biji dan perkembangan biji dalam tubuh inang,” terang Agus.

Ketua Kelompok Peduli Rafflesia, Ibnu Hajar menunjukkan R. arnoldii yang mekar di Hutan Lindung Bukit Daun, Bengkulu Tengah, Bengkulu, Minggu (22 Jan 2017). Foto: Dedek Hendry

Minim perhatian

Sayang, upaya pelestarian rafflesia masih minim. Padahal, rafflesia sangat rentan punah. Tanpa dak ada gangguan manusia, populasi rafflesia cenderung turun akibat faktor biologi, sistem reproduksi, dan tingkat kematian yang tinggi. Di lain sisi, ancaman kepunahan juga datang akibat perambahan, pembalakan liar, dan pemotongan inang.

Upaya penelitian rafflesia juga mengalami hambatan. Beberapa aturan seperti Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Daftar Tumbuhan yang Dilindungi dan Kepmenhut No. 447/kpts/2013 tentang Peraturan Penangkaran Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi membuat penelitian harus mendapatkan izin dahulu.

“Dukungan dana penelitian juga minim. Bukan hanya dari pemerintah, lembaga lingkungan hidup juga sedikit. Saya khawatir, kondisi ini akan membuat Indonesia kalah dibandingkan Malaysia dan Filipina yang gencar riset perihal rafflesia,” tandas Agus.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,