125 Hasil Penelitian Burung di Presentasikan Dalam Konferensi Burung Indonesia Ketiga

Tak kurang dari 125 hasil penelitian tentang konservasi burung di Indonesa dipresentasikan dalam Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia (KPPBI) ketiga yang diselenggarakan di Denpasar Bali, 2 – 4 Februari ini. Hasil penelitian yang terbagi dalam kategori ekologi, perilaku, konservasi, ekoturisme dan perdagangan avifauna, metodologi serta morfologi dan fisiologi tersebut dipresentasikan baik secara oral maupun poster.

Konferensi ini sendiri bertujuan sebagai ajang tukar menukar informasi terkini tentang avifauna Indonesia, meningkatkan jejaring para peneliti dan pemerhati burung di Indonesia serta meningkatkan peran penelitian dalam mendukung konservasi burung di Indonesia serta pengembangan ilmu pengetahuan tentang burung di Indonesia.

Eswaryanti, Ketua Panitia KPPBI 3 menyatakan bahwa animo para peneliti dan pemerhati avifauna Indonesia ini sangat tinggi. Sekitar 250 peserta dari Indonesia, Australia, Belanda dan Amerika Serikat menghadiri acara yang diselenggarakan setiap tahun ini.

“Peserta terdiri dari kalangan akademisi baik dosen maupun mahasiswa, pemerintah, LSM, kelompok masyarakat, perusahaan maupun perorangan yang memiliki ketertarikan terhadap avifauna,” jelasnya.

Lebih lanjut, Eswaryanti menyampaikan bahwa konferensi ini dibagi menjadi dua kegiatan utama, yaitu simposium dan workshop. Semua hasil penelitian yang telah terseleksi akan dipresentasikan di dalam acara simposium. Dalam acara workshop sendiri akan menyajikan empat materi yaitu fotografi untuk membantu studi avifauna, pencincinan burung untuk studi migrasi, konservasi burung pemangsa dan peran medik konservasi dalam pelestarian avifauna.

 

Minimnya Publikasi Ilmiah

Salah satu penyaji utama, Rudiyanto dari Burung Nusantara,  menyoroti tentang citizen science yang sedang tumbuh pesat di Indonesia akhir-akhir ini. Menurutnya, puluhan ribu masyarakat Indonesia aktif melakukan pencatatan temuan jenis burung di habitat alamnya. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, baik akademisi, mahasiswa, fotografer satwaliar maupun masyarakat umum.

Sayangnya, semangat masyarakat ini belum terakomodir dalam dunia ilmiah. Rata-rata mereka malas atau kurang memiliki kemampuan untuk menulis publikasi ilmiah. Pada akhirnya, meskipun masyarakat Indonesia sangat aktif dalam pelestarian burung di alam liar, tetap dianggap tidak ada oleh dunia ilmiah.

“Banyak sekali temuan-temuan baru yang didapatkan oleh para pengamat burung di Indonesia, namun sebatas diunggah ke facebook tanpa dipublikasikan dalam bentuk jurnal ilmiah. Semua harus menulis, kalau tidak akan dilupakan,” tegas Rudiyanto

Menurutnya, solusi permasalahan ini adalah kegiatan proxy. Masyarakat hanya disediakan media untuk melaporkan hasil pengamatannya. Agar temuan-temuan tersebut diakui oleh dunia ilmiah, Rudiyanto menegaskan bahwa di situlah peran ilmuwan untuk melakukan verifikasi dan memfasilitasi temuan-temuan masyarakat menjadi informasi yang diakui oleh dunia ilmiah.

Para Ahli Ornithologi dari beberapa negara memaparkan presentasi tentang avifauna di Indonesia pada acara Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia (KPPBI) di Denpasar Bali pada awal Februari 2017. Foto : Hariyawan A Wahyudi

Sedikitnya publikasi yang ditulis oleh para pengamat burung dari Indonesia ini mendapat perhatian juga oleh Sebastian van Balen, ornithologist senior yang sudah sangat berpengalaman dalam melakukan penelitian tentang burung di Indonesia. Menurutnya permasalahan utama yang menyebabkan minimnya publikasi ilmiah dari orang Indonesia adalah masalah bahasa. Banyak orang merasa tidak percaya diri menulis dalam bahasa inggris.

Namun dia menyoroti publikasi dalam bahasa Indonesia yang sudah banyak ditulis oleh pengamat burung dari Indonesia. Sayangnya, jurnal yang ditulis dalam bahasa Indonesia ini juga menjadi kesulitan tersendiri untuk diakses oleh peneliti internasional. Dia menyampaikan bahwa saat ini sedang ada usulan untuk menterjemahkan jurnal-jurnal tersebut ke dalam Bahasa Inggris.

“Bahasa masih menjadi masalah utama sehingga sedikit tulisan yang dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional. Namun akhir-akhir ini kondisi itu membaik,” ungkapnya di sela-sela konferensi.

Namun dia sangat optimis dengan perkembangan konservasi burung di Indonesia. Jumlah pengamat burung dari orang Indonesia meningkat sangat pesat dibandingkan saat pertama kali dia datang di tahun 1979 yang lalu. Terdapat peningkatan dari sekitar puluhan orang menjadi puluhan ribu di tahun-tahun ini. Tantangannya tinggal bagaimana informasi dari para pengamat burung ini bisa berguna untuk dunia ilmiah.

 

Tujuan Besar

Sebastian van Balen melihat ada hal yang semestinya ditingkatkan di dalam kegiatan birdwatching di Indonesia. Menurutnya, tujuan dari pengamatan burung itu sendiri harus selalu dijelaskan kepada para penghobi birdwatching. Jika kegiatan birdwatching ini disadari memiliki tujuan yang jauh lebih besar, maka mereka akan tergerak untuk mencatat setiap temuan dan mempublikasikannya dalam jurnal ilmiah.

Pengamatan burung migran di Pantai Trisik, Yogyakarta. Foto: Aji Wihardandi

Dia mencontohkan kegiatan yang sudah berjalan di negara Belanda. Setiap tahunnya di waktu tertentu, masyarakat di sana mencatat jenis-jenis yang ada di sekitar tempat tinggal ataupun di kawasan-kawasan hutan. Data yang terkumpul dikirimkan ke sebuah lembaga untuk dianalisis, sehingga data dari masyarakat dapat menjadi informasi yang berguna bagi pemerintah maupun pihak lainnya untuk mengkaji tentang lingkungan hidup.

“Intinya para pengamat burung harus memiliki tujuan yang lebih jauh lagi daripada sekedar hobi atau berpetualang. Sudah banyak jenis burung yang hilang padahal belum banyak informasi yang kita ketahui,” pungkas ahli burung yang dikenal cukup dekat dengan banyak pengamat burung dari Indonesia ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,