Biarkan Sungsang Sebagai Kampung Nelayan, Meski Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api Dikembangkan (Bagian 3)

Masyarakat Palembang biasa menyebut warga Sungsang sebagai “wong laut”. Sebab pemukiman Sungsang berada di muara Sungai Musi yang menghadap Selat Bangka atau Laut Cina Selatan. Sebagian besar warga Sungsang adalah nelayan.

Ikan laut, beragam jenis udang, kepiting rawa, yang diperdagangkan nelayan Sungsang. Sementara warga lainnya, bekerja sebagai pengepul daun nipah, pedagang atau buruh. Lalu, siapkah masyarakat Sungsang menghadapi perubahan wilayahnya menjadi pusat kawasan industri dan pelabuhan?

“Siap dan tidak siap. Dikatakan siap sebab itu merupakan peluang kami untuk meningkatkan pendapatan. Kami mungkin bisa menjadi pedagang, dan anak-anak kami bisa menjadi pegawai atau bekerja di pelabuhan atau pabriknya. Tapi kami juga sadar, hanya sebagian kecil masyarakat di sini yang berpendidikan. Kalaupun sudah sekolah tinggi (sarjana), umumnya tidak lagi menetap di sini,” kata Mahmud, warga Desa Marga Sungsang, awal Februari 2017.

“Perkiraan saya, sebagian besar kami tetap bertahan menjadi nelayan. Hanya, setelah maraknya kapal-kapal di muara ini atau di Selat Bangka, apakah ikan yang kami hasilkan masih seperti sekarang ini? Semoga di laut ikannya masih banyak,” ujarnya.

Baca: Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api Dijalankan, Bagaimana Respon Masyarakat Terhadap Lingkungan? (Bagian 1)

Desa Sungsang diperkirakan sudah ada sebelum adanya Kerajaan Sriwijaya. Wilayah ini kemungkinan dilewati pengembara China yakni I-Tsing di masa Kerajaan Sriwijaya, dan selanjutnya Sungsang tercatat di masa Kesultanan Palembang.

Indonesia yang lautnya kaya akan ikan. Foto: Junaidi Hanafiah

Menurut Mahmud, berdasarkan tuturan keluarga, Desa Sungsang terbentuk sejak abad ke-17. Di masa Kesultanan Palembang, Desa Sungsang dipimpin ngabehi atau kepala dusun bernama Ladjim. Kesultanan Palembang juga menunjuk Paluwo sebagai demang, yang tugasnya mengawasi lalu lintas pelayaran di muara Sungai Musi. Demang Paluwo dan Ngabehi Ladjim kemudian bebesan atau anak mereka dinikahkan. Sebagian besar masyarakat Sungsang keturunan mereka.

Meskipun sebagai dusun tertua di wilayah pesisir timur kabupaten Banyuasin, wilayah administratif tidak menggunakan nama “Sungsang” tapi disebut “Banyuasin II”. Sungsang sendiri sebagai Ibu Kota Kecamatan Banyuasin II, terdiri 17 desa yang luasnya mencapai 3.632 kilometer persegi atau lima kali luas Singapura.

Dapat dikatakan, 16 desa lainnya merupakan pengembangan yang dilakukan masyarakat Sungsang yang mengajak para pendatang dari Bugis, Jawa, Sunda, dan lainnya, untuk membuka daerah baru di wilayah pesisir timur yang umumnya hutan mangrove dan rawa gambut.

Baca juga: Harapan Warga Muara Sungsang: Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api Tidak Gusur Kebun Kelapa (Bagian 2)

Dengan posisinya yang strategis dan luas tersebut, membuat pemerintah Sumatera Selatan dan Indonesia berambisi menjadikan Sungsang sebagai kawasan ekonomi yang ditunjang sejumlah pelabuhan. Sekali lagi, nama Sungsang dihilangkan dan diganti Tanjung Api-Api. Pemerintah pun menamai proyek tersebut dengan nama KEK Tanjung Api-Api.

Berbeda dengan masyarakat pesisir timur di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), para nelayan Sungsang lebih banyak menjadi nelayan laut dibandingkan nelayan sungai atau tambak. Jika pun saat ini sudah mulai muncul pertambakan, ini dilakukan para pendatang dari Jawa dan Lampung.

Masterplan KEK Tanjung Api-Api. Sumber: SIPHIDA – KEK Sumatera Selatan

Tradisi daun nipah

Selain menjadi nelayan, sebagian masyarakat Sungsang juga menjual daun nipah. Umumnya, dijual ke Palembang dan Jambi. Secara turun-menurun masyarakat Sumatera Selatan banyak menggunakan daun nipah. Misalnya, daun nipah digunakan sebagai atap rumah, atau dibuat dinding yang disebut kajang untuk perahu. Perahu ini kemudian di Sumatera Selatan sebagai perahu kajang. Perahu tradisional yang diperkirakan sudah digunakan masyarakat Sumatera Selatan sebelum lahirnya Kerajaan Sriwijaya. Kini, keberadaan perahu kajang mulai hilang dari perairan di Sumatera Selatan.

Daun nipah juga dijadikan bahan pembuatan tikar, aneka keranjang, caping, sapu lidi, serta sebagian dijadikan pucuk atau pembungkus rokok tembakau.

“Kami tidak menyadap nira nipah untuk dijual. Paling juga untuk dikonsumsi sendiri sebagai gula, serta kalau mau makan umbut nipah,” kata Taufik, warga Desa Marga Sungsang.

Dijelaskan Taufik, mereka yang menjual daun nipah umumnya yang menetap di pedalaman atau jauh dari sungai dan laut. “Yang menetap di tepi sungai umumnya menjadi nelayan, pedagang. atau pekerjaan lainnya,” katanya.

Saat ini, harga daun nipah sekitar Rp5.000 per ikat. Di Palembang, dijual kepada para pengrajinnya di 3-4 Ulu dan Karyajaya.

Salah satu sudut Desa Sungsang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Sejak ratusan tahun mereka hidup di atas air. Baik di laut, sungai, maupun rawa. Foto: Taufik Wijaya

Cemas hutan nipah

Berbeda dengan para nelayan, pengembangan KEK Tanjung Api-Api membuat cemas sejumlah warga pengepul atau pencari daun nipah. Alasannya, sejumlah hutan nipah perlahan habis, yang kemudian lahannya digunakan perkebunan, perumahan, jalan, dan bangunan lainnya.

“Saat ini masih cukup, tapi dibandingkan beberapa tahun lalu sudah banyak berkurang. Semoga saja tidak semua hutan nipah di sini dihabisi, susah nanti kami mencari makan (pendapatan),” kata Saudi, seorang pencari dan pengepul daun nipah.

Kecemasan Saudi cukup beralasan, sebab sebagian besar hutan nipah itu berada di sekitar Tanjung Api-Api dan Tanjung Carat, yang masuk dalam kawasan hutan mangrove.

“Terus-terang kami masih bingung apa yang akan dikerjakan jika hutan nipah ini habis. Kami ini sebagian besar tidak sekolah,” ujarnya.

Daun nipah yang banyak dihasilkan dari Sungsang. Foto: Taufik Wijaya

Narkoba

Seperti umumnya wilayah di pantai timur Sumatera Selatan, narkoba merupakan ancaman bagi masyarakatnya. Peredaran narkoba menyebabkan para pecandunya bukan lagi orang dewasa dan remaja, juga anak-anak.

“Sungsang ini dapat dikatakan sudah jadi desa narkoba. Kami khawatir nian. Anak-anak berusia belasan sudah ada yang kecanduan sabu-sabu di sini. Orangtuanya stres dan bingung mengatasinya,” kata Ardiansyah, warga Desa Marga Sungsang.

Ardiansyah pun cemas, jika kawasan Sungsang berkembang karena adanya kawasan industri dan pelabuhan, apakah pemerintah mampu mengatasi persoalan narkoba ini. “Jangan sampai perkembangan ini menyebabkan meningkat pula pengguna narkoba, yang selanjutnya kehidupan di sini tidak lagi aman dan tenang,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,