Seperti Apa Keberpihakan Pemerintah pada Masyarakat Pesisir? Ini Salah Satunya..

Kebeperpihakan kepada masyarakat pesisir terus diupayakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini. Tujuannya, agar masyarakat pesisir bisa meningkatkan kesejahteraan hidupnya lebih bagus lagi. Salah satu upayanya, adalah dengan diberikan kebebasan dari kewajiban memiliki Surat Laik Operasi (SLO) bagi nelayan dan pembudidaya ikan skala kecil.

Kebebasan dari SLO tersebut, menurut Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Eko Djalmo Asmadi, pada Kamis (03/02/2017), tujuannya memang untuk menggenjot produktivitas pemilik usaha skala kecil di wilayah pesisir. Yang dimaksud, adalah nelayan dan pembudidaya ikan skala kecil.

Eko mengungkapkan, kebebasan dari SLO tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan  dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2017 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan dan sudah ditandatangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada 19 Januari 2017 dan Menteri Hukum dan HAM pada 23 Januari 2017.

Eko mengatakan SLO  adalah salah satu perangkat yang digunakan oleh Pengawas Perikanan untuk memeriksa kepatuhan kapal-kapal perikanan sebelum melakukan kegiatan. Melalui penerbitan SLO, kapal-kapal perikanan akan diketahui kepatuhan mengenai  persyaratan administrasi maupun kelayakan teknis untuk melakukan kegiatan perikanan.

Dengan diterbitkannya peraturan tersebut, Eko berharap, para nelayan dan pembudi daya ikan dengan skala kecil di seluruh Indonesia bisa meningkatkan kapasitas produksinya tanpa khawatir biaya produksinya akan membengkak. Dengan demikian, berikutnya, mereka bisa merasakan hasil positif dari peningkatan produksi tersebut.

“Kewajiban  memiliki SLO kapal perikanan dikecualikan untuk nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, namun nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil yang dibebaskan adalah mereka  yang  hanya  memiliki  satu  unit atau  lebih  kapal  perikanan  dengan  ukuran kumulatif paling besar sepuluh gros ton saja,” jelas dia.

Lebih rinci Eko memaparkan, dalam Permen tersebut juga dijelaskan tentang kategori nelayan kecil yang diartikan sebagai nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Yang masuk kategori nelayan kecil itu, sesuai Permen, bisa yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan dan juga menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 gros ton,” sebut dia.

Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dengan mancari ikan di lautan. Peralatan yang mereka gunakan juga sederhana, jaring dan kail. Foto: Junaidi Hanafiah

Sedangkan pembudidaya ikan sesuai dengan Permen tersebut, adalah yang melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari.

Penerbitan Izin Baru

Selain nelayan dan pembudidaya ikan berskala kecil, KKP memastikan, pemilik kapal di atas 10 GT wajib membuat SLO. Selain itu, ada juga kewajiban untuk membuat izin baru untuk operasional kapal-kapal yang akan melakukan penangkapan ikan.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar mengatakan, untuk satu izin baru, idealnya waktu yang dibutuhkan minimal 30 hari atau sebulan.Proses yang lebih lama tersebut, menjadi bagian dari proses due dilligence yang dilaksanakan KKP.

Proses tersebut, kata Zulficar, menjadi bagian dari implementasi Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Datar Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

“Dengan due dilligence, maka kita bisa memastikan (investor) asing tidak dapat masuk dalam perikanan tangkap Indonesia lagi,” ucap dia.

Adapun, kata Zulficar, penerbitan izin yang dilakukan melalui proses due dilligence itu mencakup izin untuk Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI).

“Karena proses yang komprehensif, tidak heran waktunya juga tidak sebentar. Ini harus dimaklumi oleh semua pemilik kapal. Kita inginnya cepat juga, tapi kan demi kebaikan bersama juga,” tutur dia.

Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan di laut. Foto: Junaidi Hanafiah

Karena due dilligence memerlukan waktu yang tidak sebentar, Zulficar mengatakan, seluruh proses penerbitan izin baru tidak bisa dilaksanakan secara sekaligus. Tapi, proses akan dilakukan untuk pemohon izin baru yang sudah melengkapi syarat administrasi yang ditetapkan.

“Sudah dua tahap kita lakukan. Dua tahap tersebut sudah kita berikan izinnya. Sekarang sedang masuk tahap ketiga,” jelas dia.

“Kita pastikan izin-izin ini kita akan selesaikan. Due dilligence memakan waktu karena adanya proses kelengkapan. Kita mempercepat, memastikan, agar kapal melaut sesuai dengan proses yang ada,” tambah dia.

Kewajiban Sertifakasi HAM

Selain izin operasional, Indonesia juga sudah resmi memberlakukan kewajiban bagi para pemilik usaha dan kapal untuk melakukan sertifikasi hak asasi manusia (HAM) pada usaha perikanan. Tujuannya, agar profesi pekerja industri perikanan diakui sebagai profesi legal dan dilindungi.

Untuk mendorong para pelaku industri melakuan sertifikasi, KKP menerbitkan Permen KP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan. Peraturan tersebut diterbitkan untuk melengkapi Permen No.42 Tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan.

(baca : Indonesia Wajibkan Pelaku Industri Perikanan dan Kelautan Miliki Sertifikat HAM)

Menteri Susi Pudjiastuti mengatakan, dua peraturan yang diterbitkan itu, melengkapi Permen No.35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Peraturan perintis itu, diterbitkan bertepatan dengan hari HAM se-dunia 2015 yang jatuh pada 10 Desember 2015.

“Dengan diterbitkannya Permen, kita ingin para pekerja perikanan diakui keberadaannya. Mereka tidak lagi dianggap sebelah mata. Mereka harus diberi perlindungan penuh seperti para pekerja di industri lain,” ungkap dia.

(baca : Mulai Hari Ini, Nelayan dan ABK Peroleh Perlindungan HAM)

Menurut Susi, para pekerja di industri perikanan sejauh ini masih belum mendapatkan hak yang layak. Bahkan, tidak sedikit di antaranya justru mendapatkan perlakuan tidak pantas dengan dibebani jam kerja yang sangat panjang.

“Ada banyak ribuan orang yang bekerja di industri ini, dari hari ke hari tanpa jaminan yang layak. Dan mereka tidak tahu harus bagaimana. Di laut, mereka juga harus menghadapi resiko kematian dan luka. Itu semua untuk mendapatkan tangkapan ikan,” tutur dia.

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

Salah satu fakta paling memilukan, kata Susi, adalah terungkapnya jaringan industri perikanan yang beroperasi di Indonesia Timur, khususnya di Benjina dan Ambon (Maluku). Di sana, para pekerja perikanan mendapatkan perlakuan yang sangat buruk dan sama sekali tidak mendapatkan perlindungan hukum maupun materi.

“Kita tidak mau apa yang terjadi di Benjina akan terulang lagi. Para pekerja perlu pengakuan secara hukum dan HAM. Mereka juga sama seperti pekerja di industri lain di dunia ini,” sebut dia.

(baca : Pemerintah Bentuk Tim Khusus Tangani Perbudakan di Benjina)

Dengan adanya peraturan sertifikasi, Susi mengharapkan semua pelaku industri perikanan bisa mulai menata dirinya secara perlahan. Dengan demikian, para pekerja akan mendapatkan perlindungan penuh secara hukum maupun HAM.

Adapun, menurut Susi, perlindungan yang mendesak untuk diberikan kepada para pekerja perikanan, adalah pemberian asuransi. Menurutnya, bekerja di tengah laut itu harus menanggung resiko sangat tinggi dan penghasilan yang tidak menentu.

(baca : Kenapa Masih Ada Nelayan yang Belum Tahu tentang Perlindungan Asuransi?)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,