Kala Pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Depapre Dimulai (Bagian 1)

 

 

Pembangunan Pelabuhan Depapre sudah mulai berjalan. Ada perjanjian dibuat antara warga dan Pemerintah Kabupaten Jayapura saat ganti rugi tanah pada 2008. Apa kata mereka?

 

Waktu saya ke Pelabuhan Jayapura, ada orang tanya. Bapak dari mana? Saya jawab, dari Depapre. Wah, di sana nanti pelabuhan besar. Nanti,  kita pindah kerja di sana. Pasti gaji lebih besar.”  Begitu cerita Manase Soumilena, Kepala Kampung Entiyebo (Tablanusu).

“Orang di tempat lain sudah punya bayangan akan kerja apa setelah pelabuhan jadi. Kami di sini masih belum pikir apa-apa” katanya.

Soumilena, salah satu marga dengan tanah jadi lokasi pembangunan pelabuhan peti kemas dengan investasi sekiytar Rp1,2 triliun yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 2015. Dua marga lain yang lahan terkena pembangunan adalah Tonggoroitouw dan Yarisetouw.

Ia akan jadi pelabuhan ekspor impor dan dibangun di Desa Waiya, Distrik Depapre, Jayapura, Papua. Sebelumnya, ekspor impor dari Papua melalui Makassar dan Surabaya.

Proses pelepasan tanah masyarakat adat sudah mulai sejak 2008. Berdasarkan data Dinas Perhubungan Jayapura, luas lahan untuk pembangunan pelabuhan 74,3 hektar. Sampai 2013, lahan sudah dilepas masyarakat adat 24,8 hektar.

Pembangunan pelabuhan ini melibatkan Pemerintah Jayapura, Papua dan Pusat serta jadi bagian proyek tol laut Jokowi.

Saat pencanangan, Jokowi menyebutkan perlu tanah 200 hektar untuk pengembangan kawasan industri di wilayah ini.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jayapura, Hana Hikoyabi di Jayapura, Senin (23/1/17) menjelaskan soal desain besar pembangunan pelabuhan ini.

Menurut dia, pembangunan Pelabuhan Depapre,  sudah lama masuk rencana pembangunan jangka panjang (RPJPD) Jayapura dan jadi program prioritas jangka menengah 2017-2022.

Kawasan industri akan dibuka di Bonggrang, beberapa kilometer dari pelabuhan. Pembangunan Pelabuhan Depapre, pegembangan kawasan industri Bonggrang, dan Bandar Udara Sentani, kini sudah ada di Kabupaten Jayapura. Ia disebut sebagai trigger mendukung pembangunan daerah itu.

Jalan-jalan penghubung wilayah ini mulai dikerjakan, baik peningkatan jalan lama maupun pembukaan jalur baru.

 

 

 

Proyek jalan menuju Disktrik Depapre. Foto: Asrida Elisabeth

 

 

 

Pemerintah, katanya, membutuhkan biaya sangat besar untuk pembangunan ini. Melalui website resmi Pemerintah Kabupaten Jayapura, Bupati Matius Awaitouw menyampaikan, pemerintah berencana melibatkan 10 perusahaan kakao, perusahaan sawit dan 70 perusahaan kayu. Hana membenarkan ini.

“Pembangunan pelabuhan akan disertai pengembangan potensi wilayah di Kabupaten Jayapura,” katanya.

Dia bilang, akan ada pabrik semen dan batubara. Rencananya, ada pembangunan pabrik semen dan batubara (cair dan padat). “Semua ini akan menjadi kekuatan penyedia barang ke pelabuhan.”

Pabrik semen dan batubara, katanya, sedang menunggu kesepakatan dengan pemerintah berlokasi di Depapre.

 

 

 

Kawasan reklamasi buat pelabuhan. Foto: Asrida Elisabeth

 

 

 

 

 

 

Kesiapan masyarakat

Rencana besar pemerintah ini menuntut kesiapan masyarakat adat pemilik wilayah. Wilayah itu tempat hidup dan mencari makan akan ada investasi masuk. Bagiamana mereka bisa terlibat dalam proses pembangunan dan investasi itu. Kemudian, kehadiran pembangunan dan investasi disusul perubahan-perubahan akan sangat berpengaruh pada kehidupan mereka.

“Memang dari sisi kesiapan, masyarakat kita belum terlalu disiapkan baik oleh pemerintah” ucap Hana.

Dia berharap,  semua inisiatif pemerintah bisa memacu masyarakat melihat beragam peluang.

Begitu juga tenaga kerja. Hana berharap, hanya tenaga ahli yang didatangkan dari luar untuk pembangunan ini.

“Kabupaten Jayapura mengirim beberapa anak ke Surabaya untuk pengembangan sumber daya manusia dan penyediaan tenaga operasional  pelabuhan. Begitu juga untuk pengelolaan batubara dan semen.”

 

 

 

Libatkan masyarakat

Naomi Marasian, Direktur Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PPTMA) Papua berpendapat lain.

Dalam membangun daerah, katanya, pemerintah harus mempertimbangkan kemampuan maksimal masyarakat. Hingga, masyarakat benar-benar bisa terlibat. Dia meyakini, banyak rencana pembangunan dan investasi di Papua, tak datang dari masyarakat.

“Apakah masyarakat minta pelabuhan ekspor impor, minta pabrik semen dan batubara, dan perkebunan sawit? Siapa yang akan mendapat keuntungan dari semua rencana ini?”

Dia bilang, lokasi pembangunan dan investasi ini merupakan ruang hidup masyarakat adat. Jadi, pertama-tama yang harus dipikirkan, dampak pembangunan itu bagi kehidupan mereka.

Masyarakat adat, katanya,  tentu ingin perbaikan kualitas hidup lewat pembangunan tetapi arah perubahan harus jelas.

Rencana pembangunan maupun investasi tanpa mempertimbangkan kemampuan masyarakat, katanya, hanya akan menghancurkan kehidupan mereka.

Untuk itu, pada tahap perencanaan, persiapan hingga pelaksaan harus cermat dan melibatkan masyarakat pemilik wilayah.

 

 

 

Disktrik Depapre berhadapan langsung dengan Samudra Pasific. Foto: Asrida Elisabeth

 

 

 

 

 

Keterbukaan informasi oleh pemerintah

Hal penting lain, katanya, soal keterbukaan informasi kepada publik terutama masyarakat adat. Keterbukaan informasi, katanya, jadi kunci masyarakat adat bisa menentukan pilihan-pilihan menerima atau tidak rencana pembangunan dan investasi di wilayah mereka.

Masyarakat,  juga harus tahu perubahan-perubahan yang akan terjadi dan dampak jika mereka menerima pembangunan itu.

“Dampak harus sudah dianalisis positif dan negatif. Yang negatif,  harus bisa diantisipasi dari sekarang. Antisipasinya bagaimana? Itu yang harus dilakukan pemerintah bersama masyaraka.t”

Setiap rencana pembangunan skala besar, sebelum terlaksana, pemrakarsa proyek wajib bikin kajian Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Ia sudah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan hidup No 17 Tahun 2001.

Dalam kajian Amdal ini tercantum peta lokasi proyek, besaran dampak, serta upaya pengelolaan dan pemantauan. Dokumen ini jadi bisa diakses publik.

Menurut Markus Budi, Badan lingkungan hidup Kabupaten Jayapura, Dinas Perhubungan Jayapura selaku pemrakarsa proyek Pelabuhan Depapre sudah melengkapi Amdal. Yang belum ada soal kajian kawasan industri, jalan, pabrik batubara dan semen.

Meski menyatakan kajian Amdal proyek pelabuhan sudah memenuhi syarat dan ditetapkan melalui Peraturan Bupati Jayapura Nomor 13 Tahun 2006, namun,  Pemerintah Kabupaten Jayapura enggan memperlihatkan aturan itu. Mereka ini dari Badan Lingkungan Hidup, Dinas Perhubungan hingga Sekretariat Daerah Kabupaten Jayapura enggan memberikan copian dokumen.

Masyarakat, katanya, tak banyak tahu tentang rencana keterlibatan perusahaan-perusahaan dalam proyek pembangunan pelabuhan ini. Namun mereka berharap, pemerintah memenuhi kesepakatan awal mengenai 10% penghasilan pelabuhan bagi masyarakat adat.

Kesepakatan itu,  tercantum dalam berita acara pelepasan tanah antara masyarakat adat dan Pemerintah Kabupaten Jayapura pada 2008.

Selain menerima kompensasi dalam bentuk uang, masyarakat juga akan mendapat 10% dari penghasilan pelabuhan. Hingga kini, belum ada peraturan daerah yang mengikat perjanjian itu.

Masyarakat di Distrik Depapre hidup bertani, melaut dan mengelola wisata pantai. Berada di antara Cagar Alam Cyclop dan Samudra Pasifik, wilayah ini memiliki keindahan alam sebagai lokasi wisata alam terkenal di Kabupaten Jayapura.

Dengan pembangunan  pelabuhan, katanya, rencana pengembangan kawasan industri dan investasi pabrik semen dan batubara, kondisi alam di wilayah ini diperkirakan akan berubah dengan cepat. (Bersambung)

 

 

 

Ini akan menjadi lokasi pelabuhan peti kemas Depapre. Gunung yang tampak di belakang itu adalah Cagar Alam Cyclop. Foto: Asrida Elisabeth

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,