Pelepasan Kawasan Hutan Biang Kerok Kebakaran, Mengapa?

Bambang Hero Saharjo, Guru Besar IPB bidang perlindungan hutan ini baru merilis buku berjudul Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia. Kata ‘pengendalian’ untuk menekankan bahwa penyebab terbesar karhutla itu manusia. Analisis mengenai karhutla dan pengendalian dibahas cukup komprehensif dalam buku ini.

Pelepasan kawasan hutan berkaitan erat dengan kebakaran hutan dan lahan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memperlihatkan, pelepasan kawasan tertinggi memuncak pada akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam data KLHK yang dilansir Imam Prasodjo, Penasihat Senior KLHK menyebutkan, total luas pelepasan periode 2004-2016 seluas 2.364.539 hektar, paling banyak pada 2010-2014 seluas 1.637.940 hektar.

Pelepasan paling banyak pada periode 2010-2014 sebanyak 145 unit. Pada 2005-2009,  rata-rata luas per unit 11.785 hektar. Pada 2015-2016, pelepasan terkecil dengan luas 5.188 hektar per unit, atau seluas 119.326 hektar.

“Perizinan ini jadi biang keladi kebakaran hutan. Masa SBY peizinan luar biasa seperti ada kejar tayang,” katanya dalam diskusi peluncuran buku “Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan Indonesia” yang ditulis guru besar Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, Jumat pekan lalu di Jakarta.

‘Kejar tayang’ yang dimaksud Imam, terkait izin pelepasan terbanyak pada September 2014, bertepatan dengan masa pemerintahan kepemimpinan SBY periode kedua habis.

Lantas bagaimana hubungan pemberian izin dan pelepasan kawasan hutan dengan karhutla? Imam menjelaskan,  pemberian izin tanpa kendali untuk konsesi pengusahaan hutan pada perusahaan pemerintah, swasta, nasional dan asing diikuti kelemahan dalam regulasi, pengawasan, koordinasi pusat dan daerah, penegakan hukum dan sumber daya manusia.

Kondisi ini, katanya, memicu banyak pelanggaran oleh korporasi, salah satu membakar untuk membuka lahan.

“Faktor cuaca, EL-Nino, kesadaran masyarakat lemah dan budaya membakar dalam bertani atau berkebun seringkali jadi kambing hitam setiap terjadi kebakaran hutan,” kata  sosiolog dan akademisi Universitas Indonesia ini.

Mengutip data buku Bambang Hero, yang diterbitkan IPB Press ini, BNPB mencatat pada 2015 estimasi luas karhutla periode 1 Juli-20 Oktober 2015 tertinggi di Sumatera Selatan 359,100 hektar diikuti Riau 169,119 hektar dan Jambi 137,853 hektar. Di Kalimantan terluas di Kalimantan Tengah 330,863 hektar dan di Papua 344,980 hektar.

Model ini bukan pertama kali terjadi. Menurut data KLHK periode 1997-2015 area terbakar tertinggi 1997-1998. Data resmi mencatat 515,03 ribu hektar hutan terbakar pada 1998 dan 263,99 ribu hektar pada 1997.

Kebakaran menjelang era reformasi dan Presiden Soeharto tumbang, kata Imam,  tak bisa dilihat hanya dari kacamata dalam negeri.

Dia mengaitkan,  analisa ini dengan harga minyak jatuh pada 1982, berdampak pada utang luar negeri Indonesia melonjak hingga 2000an. Ditambah, UU No 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan memberikan wewenang pada pemerintah untuk memberikan hak pada perusahaan negara, perusahaan daerah, dan perusahaan swasta dalam pengusahaan hutan.

“Karena inilah terjadi  tsunami perizinan. Harga minyak turun, untuk mengatasi utang negara, hutan kita diperkosa.”

 

Sumber: KLHK

 

Perusahaan masuk, rakyat malah miskin

Masuknya perusahaan dalam pengusahaan hutan praktis menimbulkan konflik tanah, juga menguat pada 1998-1999. Ia ditengarai dari karena banyaknya hutan adat dirambah dan dibakar.

Hal lain yang disorot Imam terkait kemakmuran masyarakat dengan masuknya perusahaan dalam pengusahaan hutan.

Dia merujuk buku Indonesia Betrayed: How Developments Fail, karya Elizabeth Fuller Collins, 2009, yang melansir data konflik tanah meningkat di Sumatera Selatan yakni 85-130 kasus 1998-1999.

Ia berbanding terbalik dengan pendapatan per kapita Sumsel, terkecil di Sumatera 3,72 (tertinggi Sumatera Barat, 42,78).

“Aneh banget. Ada investasi, modal besar-besaran, tapi income terendah, terjadi pemiskinan luar biasa di mana perusahaan banyak masuk. Persis terjadi di Jambi saat ini,” ucap Imam.

 

Bedah buku: Karhutla penyebab manusia

Analisa lebih lengkap mengenai karhutla dan pengendalian dibahas cukup komprehensif oleh Bambang Hero dalam buku yang diselesaikan akhir 2016 ini.

Kata ‘pengendalian’ sengaja digunakan sebagai penegasan bahwa karhutla terjadi akibat perbuatan manusia. “Bukan bencana, jadi bisa dikendalikan,” kata Bambang.

Dia berargumen,  karhutla dapat dikendalikan dengan tiga hal utama yakni pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran.

Asap karhutla, katanya, seakan menunjukkan para pembakar tetap setia menjalankan aksi. “Apakah di lahan masyarakat maupun korporasi baik sengaja maupun meminjam tangan orang lain. Lagi-lagi kegiatan ini tetap ‘lestari’ hingga kini,” katanya.

“Terbukti baru rakyat kecil yang menanggung akibat dari kebakaran, karena korporasi yang jelas-jelas melakukan perbuatan justru bangga terlepas dari hukuman bahkan tak sedikit lepas dari tanggungjawab.”

 

 

Dalam pencegahan, Bambang menulis dua strategi pencegahan karhutla yakni pengurangan bahan bakar (mengurangi bahan bakar untuk menyala) dan pengurangan sumber risiko timbul api. Yakni,  mengurangi sumber api yang dapat menimbulkan peluang kebakaran.

Untuk setiap daerah minimal harus punya dasar rencana pencegahan terdiri dari peta kejadian kebakaran, statistik kebakaran, peta sumber api, peta operasi kehutanan, peta bahan bakar mudah terbakar, peta tanda dan peringatan bahaya kebakaran serta pera rawan kebakaran.

Selain itu, juga perlu peringatan dini, deteksi dini, analisis dan verifikasi data hotspot, observasi lapangan lewat patroli darat dan udara.

Mengenai sarana dan prasarana untuk pengendalian kebakaran, Bambang menyoroti hasil audit kepatuhan UKP4 bekerjasama dengan BP REDD+ pada 15 korporasi yang bergerak di bidang kehutanan pada 2014.

Bagi Bambang, tak mengagetkan, justru menegaskan fakta bahwa karhutla cenderung dibiarkan. Dengan kata lain, ada unsur kesengajaan dan ambil keuntungan. Selain lebih hemat dalam membuka lahan, juga ada modus asuransi. “Memang ada indikasi asuransi.”

Untuk kerugian akibat kebakaran dikutip Bambang dari data Bank Dunia periode Juli-Oktober 2015 sekitar US$16,124 juta.

Terkait penanganan pasca kebakaran, dia menyoroti penegakan hukum dan pemulihan lingkungan pasca terbakar.

Penegakan hukum tindak pidana pembakaran hutan sangat bergantung pada saksi ahli dalam membuktikan proses perusakan lingkungan dan pencemaran akibat karhutla.

Berbagai modus operandi, katanya,  bisa jadi pijakan pembuktian hukum pidana karhutla, mulai hanya ingin mendapatkan abu hasil pembakaran– yang kaya mineral–, hingga keuntungan berkali lipat dengan memanipulasi pinjaman sindikasi bank.

“Penyiapan lahan tanpa pembakaran memerlukan biaya cukup besar Rp40-50 juta per hektar. Dengan api hanya beberapa juta.”

Banyak masalah lain sering terjadi berkaitan karhutla seperti menggunakan kawasan hutan untuk pembangunan kebun sawit, menanam tanpa izin yang sah (IUP) atau tanpa alas hak yang sah (HGU). Juga, tanpa Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), pada daerah dilindungi atau konservasi bahkan penimbunan sungai untuk pelebaran lahan.

“Ini bisa jadi aplikasi multidoor dalam menjerat korporasi pembakar hutan.”

Direktur World Resources Institue, Tjokorda Nirarta Samadhi menilai buku ini satu-satunya buku komprehensif tentang kebakaran hutan yang ada saat ini.

Dari segi pencegahan, Koni, sapaan akrabnya, menyoroti belum ada data kontekstual bisa diakses hingga dapat membantu pencegahan karhutla lebih efisien.

Data konteksual, terutama data konsesi dan batas kawasan hutan, mestinya jadi informasi kunci untuk mengembangkan kebijakan terkait pencegahan.

“Data ini banyak sebenarnya, di organisasi masyarakat sipil, pemda dan perusahaan sendiri. Sebagai tanggungjawab dalam membangun kerangka kebijakan pencegahan,” ucap Koni.

Selain itu, penting menjadikan laporan masyarakat sebagai bagian beleid hukum yang bisa jadi bukti dalam persidangan kasus karhutla. “Laporan masyarakat bukan cuma peringatan, tapi sebagai data akurat diverifikasi. Bisa dijadikan evidence untuk jalur hukum. Seringkali kita belum siap. Seringkali laporan masyarakat di-dismiss karena dianggap bukan bukti.”

Dari sisi penegakan hukum, Wakil Ketua KPK La Ode M Syarif mengatakan,  tata kelola kehutanan seringkali dihadapkan dengan masih banyak personal interest dan lemahnya integritas pejabat pemerintah. KPK, kata La Ode seringkali kesulitan mencari saksi ahli yang berintegritas dan militan.

Selain itu, membuktikan unsur korupsi dalam karhutla, lebih sulit dari pada membuktikan tindak pidana korporasi. “Jaksa KPK kadang tidak PD (perdaya diri-red).”

Namun, angin segar muncul dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) no 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penangana Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi yang keluar akhir tahun lalu.

Perma ini, katanya mengatur lebih detil tanggungjawab korporasi dalam tindak pidana dan criminal liability.

“Kita tak kekurangan orang pintar. Tapi mendapatkan yang berintegritas dan militan itu susah,” katanya.

Dia mengapresiasi Bambang Hero, yang sering menjadi saksi ahli dalam kasus-kasus karhutla maupun korupsi kehutanan yang ditangani KPK.

 

Data Pelepasan Kawasan Hutan

 

Sumber: KHLK

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,