Ketika Konflik Lahan Warga Kutai Kartanegara dengan Perusahaan Sawit Milik Luhut Berlarut-larut

 

 

 

”Sedang apa disini mengukur lahan tani kami,” tanya  Akmal Rabbany, perwakilan Kelompok Tani Kutai Kartanegara kepada orang tak dikenal pada 2004.

Kala itu, ada kegiatan orang tak dikenal di lahan masyarakat. Mereka itu suruhan perusahaan, dengan identitas saat itu tak mau disebutkan.

Tahun itu pula, perampasan lahan masyarakat oleh PT Perkebunan Kalimantan Utama (PKU) I, anak usaha Ganda Group ini terjadi.

”Sekitar 2005, perusahaan itu menggusur lahan pertanian dan mengkapling lahan di tiga kecamatan di Kabupaten Kukar,” katanya di Kantor Walhi Nasional, akhir Januari di Jakarta.

Perusahaan menggusur enam kelompok tani di tiga kecamatan; Kecamatan Muara Jawa, Loa Janan dan Sanga-Sanga. Luas lahan sekitar 1.300,59 hektar.

Dengan pakai alat-alat berat, perusahaan menggusur tanaman produktif seperti, durian, sengon, dan kolam ikan. Semua jadi sawit. Pada 2009, masyarakat dilarang berkegiatan di lahan hak guna usaha (HGU) perusahaan.

Pada 2013, PKU berpindah kepemilikan,  jadi anak usaha PT Toba Bara Sejahtera Tbk (Toba), milik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman,  Luhut Binsar Pandjaitan.

Konflik terus berlanjut. Akmal bercerita, banyak warga diintimidasi dan kriminalisasi. Mereka tak boleh pakai pertanian — kini jadi HGU perusahaan.

Anggota kelompok Tani Mandiri H. Nurdin ditangkap karena dituduh mencuri buah sawit perusahaan dan dipenjara selama 37 hari. ”Mereka bertiga, terjadi sekitar akhir 2016,” katanya.

Sekitar HGU pun dijaga aparat keamanan. Padahal, warga telah memiliki SPPT (surat penguasan pemilikan tanah) atas lahan kelolaan. Sejak 1987 punya sertipikat hak milik.

Fathur Raziqin, Direktur Walhi Kalimantan Timur mengatakan, penyerobotan lahan milik petani di Kaltim itu tak hanya oleh PKU, juga PT Kutai Energi (KE), juga grup PT Toba.

”Penggusuran sudah dilakukan kedua perusahaan sejak 2005,” katanya.

Fatlida Hasibuan, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Dewan Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, pola pembukaan perkebunan di Indonesia memiliki empat macam.

Pertama, memecah belah masyarakat, dimana perusahaan mendekati orang-orang yang memiliki kekuasaan. Kedua, model kerjasama baik plasma atau budidaya. Kerjasama ini, katanya, alat mengambil lahan masyarakat.

Ketiga, menyemarakkan judi dan pertentangan dalam masyarakat. Keempat, menggunakan klaim kata izin untuk pembersihan lahan.

”Lahan masyarakat Kukar ditanami sawit tanpa persetujuan dan pembebasan tanah milik warga,” katanya.

Setelah itu, perusahaan sosialisasi dan skema bagi hasil kepada masyarakat saat sawit berbuah.

”Kami menolak semua. Terjadi tindakan sepihak, yang dulu 70:30 jadi 80:20,” ucap Jumiati, perwakilan petani.

Dia salah satu dari puluhan petani yang lahannya hilang. Jarak dari rumah ke kebun mencapai 2,5 jam. Dia menggantungkan hidup buat pendidikan anak dan sehari.hari dari kebun. Ada durian, sengon, dan padi tergusur jadi sawit. ”Tanah saya hilang, nagis, bingung mengadu sama siapa.”

 

Poster protes petani Kukar, kala datang ke Jakarta. Foto: Lusia Arumingtyas

 

 

HGU palsu?

Pada 2011, PTUN Jakarta Pusat mengeluarkan surat putusan pembatalan HGU dengan Nomor 18/G/2011/PTUN-JKT dan nomor 23/G/2011/PTUN-JKT. Sebelumnya, PKU memiliki HGU terbitan BPN Pusat dengan Nomor 75/HGU/BPNRI/2009.

Masyarakat meminta PKU mengembalikan lahan dan kebun mereka karena HGU palsu. Tiga tuntutan masyarakat Kukar mau perjuangkan. ”Kami minta kembalikan lahan seperti semula dan dipulihkan. Pulihkan kampung digusur, dan keluarkan lahan dari HGU,” katanya.

Sejak 2004, masyarakat difasilitasi Camat dan Lurah untuk berjuang bersama. Apa daya, kekuatan politik lebih mendominasi praktik ini.

Pada 2014, katanya, kelompok petani melaporkan dugaan pencemaran air dan lingkungan. Pada 2016,  lapor dugaan perampasan lahan kepada Mabes Polri, kini dilimpahkan ke Polda Kalimantan Timur.

”Tapi tak ada tindak lanjut,” ucap Akmal.

Mereka sudah meminta surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan kepada Polda tetapi tak ada kejelasan.

Warga lapor BPN Kaltim dan BPN Kutai Kartanegara ke Mabes Polri. Para petani mengadu ada praktik birokrasi tak benar, BPN Kaltim diduga membuatkan rekomendasi HGU dan BPN Kutai membuatkan surat HGU.

 

Tak gusur?

Suaidi Marasabissy, Direktur Utama PT PKU I membenarkan Menko Maritim, Luhut, memiliki saham di perusahaan itu. ”Punya 10% di perusahaan itu, bagian dari Toba Bara Group, sudah minoritas,” katanya saat ditemui di Kantor Walhi.

Dia bilang, PKU tak pernah menggusur lahan masyarakat. Toba, beli saham PKU secara mayoritas pada 19 Juni 2013. Saat itu, pohon-pohon sudah berbuah dan panen.

”Penggusuran itu 2005, dilakukan perusahaan, lama Ganda Group. Kami bersengketa di pengadilan dan pengadilan memutuskan MA bahwa SK HGU PKU I sah secara hukum.”

Saat perpindahan kepemilikan, kata Suaidi, konflik hanya soal besaran bagi hasil,  tak terjadi pemaksaan di lapangan.

Berdasarkan penelusuran dokumen perusahaan lama dengan kepemilikan baru, warga diwakili kepala desa tani menetapkan besaran 70: 30, 70 perusahaan, 30 masyarakat.

“Jadi kalau kita kalkulasi keseluruhan, hak masyarakat hanya 9% dari keseluruhan. Sebagai pemilik baru saya mencoba komunikasi dengan pemilik untuk memberikan kepada masyarakat 20% dari tadi kesepakatan dengan pemilik lama 9%.”

Pria yang merupakan mantan perwira tinggi TNI AD bintang tiga sekaligus politisi Partai Demokrat ini mengklaim telah berdialog 15 kali dengan masyarakat. Mereka mencari jalan keluar saling menguntungkan, dengan pembagian hasil 80% untuk perusahaan dan 20% warga.

”Sebagian masyarakat menerima. Tak ada pemaksaan, intimidasi. Kalau tak mau negosiasi, kita ikuti jika mau melanjutkan proses hukum,” katanya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,