Mengusik Leuser Sama Saja Menghancurkan Habitat Badak dan Satwa Liar Kebanggaan Indonesia

 

 

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan wilayah penting dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Luasnya 2,6 juta hektare yang membentang di Aceh (2,25 juta hektare) dan Sumatera Utara. Kawasan yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional ini mampu mendukung kehidupan sekitar empat juta orang yang berada di sekitarnya.

KEL juga berperan sebagai pengatur air dan pelindung dari bencana ekologis. Berdasarkan penelitian Pieter van Beukering (2002), KEL memberikan jasa ekologi luar biasa bagi masyarakat sekitar. Selain itu, KEL merupakan benteng terakhir bagi kehidupan badak, harimau, gajah, dan orangutan sumatera.

Rudi Putra, Manager Konservasi Forum Konservasi Leuser (FKL), yang telah melakukan penelitian mengenai keberadaan badak sumatera (2013-2014), menuturkan pentingnya wilayah Leuser tersebut. “Kappi yang merupakan zona inti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan habitat yang bagus untuk badak sumatera. Hutannya masih terjaga dan ketersediaan sumber daya habitatnya juga memadai,” tuturnya baru-baru ini.

 

Baca: Pegiat Lingkungan: Tolak Rencana dan Hasil Kajian Proyek Panas Bumi di Zona Inti TNGL

 

Namun, pengembangan dan gencarnya pemekaran wilayah, terutama peningkatan sarana dan prasarana telah memberi tekanan terhadap KEL. “Di wilayah Kappi, perubahan tutupan hutan yang cukup besar terjadi setelah selesainya pembangunan jalan yang menghubungkan antara Kutacane – Blangkejeren dan Blangkejeren – Pinding, awal 1980-an.”

 

Badak sumatera dalam pecahan dua puluh lima Rupiah terbitan tahun 1957. Sumber: Wikipedia

 

Meningkatnya sarana jalan, permukiman dan jumlah penduduk, menyebabkan terjadi deforestasi yang tinggi. Hasil analisa citra satelit 1970 hingga 2013 memperlihatkan kecepatan kerusakan hutan yang terjadi. Total hutan yang rusak di periode tersebut mencapai 19.767 hektare atau rata-rata 460 hektare pertahun.

Bila bagian timur Kappi, yaitu wilayah Aceh Tamiang dimasukkan dalam perhitungan, total hutan yang hilang dalam kurun waktu tersebut mencapai  29.625 hektare. Atau, rata-rata 689 hektare pertahun.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, awal dekade 1980-an masyarakat masih melihat satwa melintasi wilayah tersebut seperti badak, gajah, dan harimau. Sekarang, tidak ada lagi. “Sejak 1964 hingga 1993, paling sedikit 50 individu badak telah diburu di Kappi,” ungkap Rudi.

 

Gajah sumatera yang hidup di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Ancaman selanjutnya, datang saat pembangunan jalan di dalam Kawasan Ekosistem Leuser awal tahun 2000. Jalan yang menghubungkan Aceh bagian tengah ke pesisir timur dan pesisir barat Aceh yang disebut Ladia Galaska (Lautan Hindia Gayo Alas dan Selat Malaka), itu melintasi wilayah Kappi.

Fragmentasi habitat satwa liar, termasuk badak pun terjadi. Fragmentasi tersebut sulit diperbaiki karena pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kebutuhan akan sarana, prasarana, serta lahan.

“Namun begitu, pengurangan wilayah hutan di Kappi harus dicegah agar ketersediaan habitat yang layak bagi badak, gajah, dan harimau serta keragaman hayati lainnya tetap terjaga. Selain tentu saja fungsi utamanya mencegah bencana ekologis,” ungkap Rudi.

 

Hutan asri di Ketambe, Aceh Tenggarara, yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Di sini orangutan hidup damai. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Habitat orangutan

Direktur Orangutan Information Centre (OIC), Panut Hadisiswoyo menyebutkan, zona inti TNGL merupakan habitat orangutan dan tiga satwa langka lainnya yang harus dilindungi. Mengubah zona inti, sama saja mempercepat kepunahan satwa tersebut.

“Kappi yang berada di Zona Inti TNGL, yang hendak dibangun proyek panas bumi, merupakan jalur dan habitat orangutan sumatera. Jika zona ini dijadikan zona pemanfaatan, orangutan akan sangat sulit diselamatkan dari kepunahan. Terlebih, orangutan sumatera hanya ada di Aceh dan Sumatera Utara.”

Panut mengatakan, akibat konflik manusia dengan satwa dan pengrusakan hutan, sejak  2012 hingga 2016, sekitar 69 orangutan sumatera terpaksa dievakuasi dari habitat aslinya. Orangutan tersebut dipindahkan karena terisolir. Dikhawatirkan akan terjadi konflik dengan masyarakat atau malah diburu. “Hampir semua orangutan yang terperangkap di habitat aslinya, dipindahkan ke TNGL karena hanya hutan itu yang masih alami dan pakan melimpah.”

 

Unjuk rasa menentang rencana pelaksanaan proyek banas bumi di zona inti TNGL. Mengusik Leuser sama saja menghancurkan habitat satwa liar kebanggaan Indonesia. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Jika proyek panas bumi benar-benar dikerjakan di zona inti TNGL, konflik antara orangutan atau satwa lainnya dengan manusia akan semakin sering terjadi. Pastinya, akan sulit untuk mencari tempat evakuasi. “Saat ini, orangutan sumatera statusnya Kritis (Critically Endangered/CR).”

 

Baca juga: Masih Ada Potensi Geothermal di Tempat Lain, Mengapa TNGL yang Diganggu?

 

Ian Singleton, Direktur Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP) mengatakan, zona inti TNGL harus benar-benar terjaga. Tidak boleh ada kegiatan yang merusak atau mengancam lingkungan. Mengenai rencana proyek panas bumi di Kappi, menurutnya, walau hutan dijaga kiri dan kanan di lokasi tersebut, pastinya akan berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup satwa kunci disana.

 

Hutan alami di Aceh, harus kah rusak karena banyak kepentingan yang bermain? Foto: Junaidi Hanafiah

 

“Ada 1.000 – 1.500 individu orangutan sumatera di wilayah timur dan utara bakal terancam jika proyek tersebut berjalan. Satu jalan akan memotong populasi satwa disana dan pastinya sangat berbahaya.”

Indonesia, tutur Ian, negara yang memiliki banyak banyak potensi panas bumi (geothermal). “Pertanyaannya, mengapa harus di dalam atau di tengah TNGL? Mengapa harus membangun geothermal di sana, padahal masih banyak potensi di tempat lain. Ini tidak masuk akal,” paparnya.

 

Economic Value of KEL. Pieter van Beukering.pdf

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,