Warga Blokir Akses ke Pabrik Semen Rembang, Malam Hari Tenda Perjuangan Dibakar

 

Warga penolak kehadiran pabrik dan tambang semen di Rembang, menutup jalan masuk ke lokasi pabrik. Pemblokiran ini sebagai wujud protes warga yang sudah menang di Mahkamah Agung–perintahkan surat izin lingkungan dicabut–, tetapi tak menghentikan PT Semen Indonesia. Setelah seharian blokir jalan,  warga pulang ke rumah masing-masing. Malam hari, tenda warga penolak semen dan musholla dibakar massa.

 

Udara dingin. Angin semilir. Jumat pagi, (9/2/17), di lokasi Pabrik PT. Semen Indonesia, Desa Kadiwono, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, ratusan warga tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK), berkumpul.

Mereka tanpa alas kaki, bercaping. Para perempuan berkebaya. Warga siap memblokir akses masuk pabrik semen.

“Keadilan harus ditegakkan. Izin lingkungan sudah dicabut, tapi pembangunan berlanjut. Polisi tak bertindak, warga segel,” kata Sumarno, warga Rembang.

Pukul 7.00 pagi, sebatang bambu hijau panjang sekitar 10 meter diturunkan dari truk. Warga gotong-royong memalang jalan pabrik. Para pekerja pabrik tak boleh beraktivitas. Ratusan pekerja perusahaan tertahan di depan portal.

“PT. Semen Indonesia Disegel Rakyat” “Kami Percaya Pak Jokowi Pro Petani.” Begitu bunyi spanduk yang dibawa warga.

“Tolak pabrik semen. Tolak! Tutup pabrik semen! Tutup!” teriak warga bersama.

Sumarno mengatakan, blokir dilakukan karena perusahaan tak taat hukum. Putusan Mahkamah Agung (MA) sudah berkekuatan hukum tetap, namun masih ada aktivitas perusahaan.

“Kami sudah melaporkan ke Polda Jateng Senin, 6 Februari lalu terkait aktivitas ilegal perusahaan,” katanya.

Pada 2 Februari,  warga menyampaikan somasi kepada Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, agar menindak aktivitas ilegal perusahaan.

“Dasar hukum kami, pencabutan izin lingkungan gubernur terhadap Semen Indonesia. Sewajibnya segala tindakan berhenti.”

“Kami tak ingin blokir jalan. Kesalahan ada di perusahaan. Harusnya kepolisian menindak perusahaan,” kata Sumarno.

 

 

***

Tembang-tembang Ibu Pertiwi dan Ibu Bumi dilantunkan berulang-ulang oleh warga penolak pabrik semen. Hujan deras sekalipun tak menyurutkan semangat mereka memblokir jalan.

Suara mereka mengeras dan serempak. Berbagai upaya kepolisian Polres Rembang menghentikan aksi warga,  tak berhasil.

Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili,” suara mereka menembang.

Pantauan Mongabay, kepolisian sempat mengancam akan membubarkan paksa, dengan alasan warga tak memberitahukan aksi kepada kepolisian.

Sumarno bilang, sebaliknya, warga sudah melaporkan aktivitas ilegal perusahaan ke Polda Jateng—seharusnya mereka sikapi.

Warga Rembang penolak semen tutup jalan ke pabrik SI. Foto: Tommy Apriando

Waka Polres Rembang Kompol Pranandya Subiyakto berdalih tak membela pihak manapun. Dia bilang, hanya menjaga kondisi agar kondusif.

Pranadya mendengar,  tak ada lagi pembangunan pabrik perusahaan, warga hanya membersihkan lokasi dan merawat alat-alat berat sebagai aset perusahaan.

“Kami tak ingin ada bentrok. Kami mendengarkan warga pro dan kontra.”

Herlambang P. Wiratraman, Ketua Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengatakan, warga Rembang telah berupaya meta-legal, dalam bentuk penyegelan jalan masuk pabrik SI di Rembang.

Upaya ini, katanya, terpaksa karena GubernurGanjar, bermain akrobat dalam birokrasi perizinan. Gubernur pakai instrumentasi izin buat mengabaikan bukan saja putusan Mahkamah Agung.

“Pemerintah makin tak peka soal perlindungan hak-hak konstitusional warga negara dan perlindungan ekologis,” katanya.

Akrobat perizinan ini, sesungguhnya bentuk ‘kekerasan birokrasi’ yakni kegagalan birokrasi sebagai alat perlindungan hukum administratif  dan hukum untuk menyingkirkan hak-hak warga negara.

Dampak kekerasan model ini, negara hukum jadi tak berarti, justru melahirkan potensi kekerasan-kekerasan dan meluaskan pelanggaran hak asasi manusia.

Aksi warga Rembang menyegel SI, katanya,  bentuk ajaran politik kewargaan yang ingin meneguhkan posisi menjaga negara hukum sebagai mandat perlindungan hak-hak konstitusional dalam UUD 1945. Ia juga landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bertanggung jawab.

“Kasus semen Rembang cerminan ketidakpastian hukum. Ini menciderai nilai-nilai keadilan sosial bagi masyarakat yang berupaya patuh prosedur hukum negeri ini.”

Dia bilang, pelanggaran HAM makin kuat karena instrumen penindasan pakai hukum, dilegitimasi guna menyingkirkan hak-hak masyarakat dan lingkungan. Belum lagi, katanya, berpotensi terjadi pelanggaran atas hak kesejahteraan sosial, hak hidup dan menjalankan kehidupan, hak untuk pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan sejumlah hak-hak ekonomi, sosial budaya dan lain-lain.

“Perusahaan harus mengedepankan nilai-nilai HAM dalam menjalankan bisnis,” ucap Herlambang.

Rahma Mary,  kuasa hukum warga mengatakan, blokir warga tolak semen karena bangun pabrik tetap jalan sedangkan gubernur membiarkan saja, bahkan merestui. Gubernur juga melakukan tindakan melenceng dari putusan MA.

Merah Johansyah dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, pembangunan pabrik semen di Rembang  jelas melanggar UU Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 36 UU itu mewajibkan setiap usaha harus punya izin lingkungan.Ppada Pasal 40,  izin lingkungan adalah syarat sebelum mendapat izin usaha, serta Pasal 109 mengatakan usaha tak punya izin lingkungan bisa kena pidana UU. Perusahaan juga melanggar UU Minerba karena beroperasi ilegal.

“Tidak hanya perusahaan berkegiatan ilegal. Gubernur Jateng yang mendukung juga melanggar hukum.”

Sekretaris Perusahaan Semen Indonesia Agung Wiharto dihubungi Mongabay mengatakan, perusahaan tak membangun pabrik apalagi penambangan.

Sejak Gubernur Jateng memutuskan cabut izin lingkungan, katanya, SI langsung rapat dan meminta semua vendor dan kontraktor menarik semua alat berat. Pekerja keluar masuk, katanya,  bukan untuk pembangunan pabrik. Mereka hanya memelihara mesin dan menjaga aset perusahaan.

“Apa salahnya kami merawat aset kami triliunan rupiah itu. Kami sadar kok izin lingkungan sudah dicabut. Kami berhenti.”

Perusahaan, katanya, bahkan merumahkan 3.500 pekerja pabrik sejak putusan MA dan pencabutan izin lingkungan dari gubernur.

“Jika ada aktivitas silakan dilaporkan kepada pihak berwenang, tak perlu pemblokiran jalan. Kami sangat mendukung upaya warga melaporkan tindakan yang disangkakan kepada kami bahwa aktivitas ilegal.”

Dia mengibaratkan, izin mengemudi seseorang dicabut, masih punya hak merawat kendaraan. Ketika kendaraan jalan, katanya, baru ilegal, karena tak punya surat izin.”Upaya hukum sangat kami dukung, janganlah memblokir jalan,” ucap Agung.

 

Warga Rembang protes pabrik semen. Foto: Tommy Apriando

 

Pembakaran tenda perjuangan dan mushola

Jumat sore hari hujan deras. Usai hujan, ratusan warga tolak semen memutuskan menghentikan pemblokiran hari pertama. Palang blokir tak dilepas. Mereka menyampaikan kepada kepolisian untuk menjaga palang itu.

“Kami titipkan plang pemblokiran ini Pak Polisi. Mohon dijaga. Besok pagi kami kembali,” kata Sumarno.

Setelah aksi warga memutuskan kembali ke rumah masing-masing dan delapan warga menjaga tenda perjuangan.

Pukul 19.50, malam. Joko Prianto,  sedang tidur di rumahnya, Desa Tegaldowo, Rembang. Sumarno datang ke rumah untuk memberi kabar, bahwa tenda dan mushola warga tolak semen dibakar massa.

“Print bangun. Tenda dan mushola dibakar orang,” kata Sumarno.

Print, sapaan Joko terbangun. Dia bergegas pakai sepeda motor menuju tapak pabrik semen. Dia terkejut,  tenda perjuangan yang dibangun sejak Juni 2014 terbakar, beserta mushola.

Saat itu, di tenda delapan warga berjaga, termasuk ibu-ibu yang sebelumnya aksi blokir, berada di tenda perjuangan pabrik semen. Tiba-tiba,  mereka berteriak memaksa warga keluar dan meninggalkan tenda.  Orang-orang itu mengancam akan merobohkan dan membakar tenda dengan alasan mengganggu pekerjaan mereka di Semen Indonesia.

Ibu-ibu dalam tenda ketakutan dan keluar.”Kami akan melaporkan pelaku pembakaran. Ini melecehkan rumah ibadah,” kata Joko.

Saksi di lapangan Ngatiban menceritakan kronologis kejadian. Sekitar pukul 19.40, segerombolan orang kira-kira 70, dapat dikenali sebagai pekerja Semen Indonesia—dari seragam pekerja, rompi pekerja ataupun beberapa pelaku dikenali wajah dan diketahui namanya.

Gerombolan memulai aksi di portal (palang segel) yang baru pagi didirikan warga. Mereka berkumpul. Terdengar suara teriakan,” “Ayoooo…!!” Lalu mereka mencabut dan membuang portal.

Setelah itu,  mereka menyasar tenda pro semen, merobohkan lalu membakar. Mereka beranjak ke tenda milik warga penolak pabrik semen.

Mereka menarik terpal dan kayu tenda hingga roboh lalu menginjak-injak.

“Keluar!! Keluar!!

“Jangan ada yang di dalam!!”

Mereka berusaha mengusir ibu-ibu dan dua warga pria berjaga di tenda. Ibu-ibu keluar ketakutan, gemetar dan menangis.

Orang-orang ini lalu menyasar musholla yang didirikan warga penolak pabrik semen. Mereka bersama-sama mengangkat musholla dan membanting hingga hancur dan membakarnya.

Mereka meneriakkan, “Besok pasti warga Pati akan kesini, silakan kami akan hadang.”Setelah itu,  mereka beranjak pakai sepeda motor.

“Kami mengenali pelakunya, kami akan laporkan,” kata Ngatiban.

Pantauan Mongabay, tampak puing-puing atap asbes tenda, terpal biru, bendara merah putih sobek dan solar panel masih tersisa.

Kepolisian mengaku tak ada di lokasi ketika kejadian. Mereka baru datang ketika warga tolak semen beramai-ramai tiba di lokasi.

Pukul 21.00, warga pulang. Besok, kata Print, warga akan dirikan lagi tenda.

 

Tenda perjuangan warga penolak semen di Rembang dibakar massa. Foto: JMPPK
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,