Pemerintah Pastikan Harga Garam Dijamin Tak Lagi Sama. Alasannya?

Mencegah munculnya perbedaan harga garam di tingkat nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan patokan harga garam yang berlaku di seluruh Indonesia, terutama di sentra produksi garam yang tersebar di 10 lokasi. Dengan penetapan harga tersebut, harga garam yang selama ini bebas, bisa dikontrol dengan ketat.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi menjelaskan, sebelum ada penetapan tersebut, harga garam yang berlaku di tingkat nasional dan sentra produksi, rerata sama. Padahal, harga tersebut dinilai rancu karena ada perbedaan mendasar dalam proses produksi dan penanaman modal.

“Dengan penetapan harga ini, maka harga menjadi beragam untuk pembelian garam di setiap sentra produksi. Masing-masing sentra produksi yang jumlahnya ada sepuluh, akan memiliki patokan harga yang berbeda,” ungkap dia, pada Kamis (09/02/2017) di Jakarta.

Adapun, sepuluh sentra yang disebut Brahmantya, adalah sentra produksi garam di Cirebon dan Indramayu (Jawa Barat), Pati dan Rembang (Jawa Tengah), Sumenep, Pamekasan, dan Sampang (Jawa Timur), Bima (Nusa Tenggara Barat), Jeneponto serta Pangkep (Sulawesi Selatan).

 

 

Keberagaman harga patokan ini, menurut Brahmantya, dilakukan karena Pemerintah menyadari nilai investasi dan produksi di masing-masing daerah berbeda-beda. Kata dia, tidak bijak jika harga garam di sentra produksi garam Indonesia yang tersebar itu disamaratakan.

“Kalau harga sudah kita patok, masyarakat akan tertarik menjadi petambak garam karena harganya tidak rendah sekali. Nanti tidak ada pula harga garam sampai di luar batas wajar saat kita kekurangan, misalnya saat produksi terganggu karena musim hujan,” ucap dia.

Untuk penetapan harga sendiri, Pemerintah membuat dua patokan harga yang berbeda, yaitu harga batas bawah (floor price) dan batas atas (ceiling price). Harga batas ini merupakan acuan harga minimal dan maksimal garam kualitas dijual per kilogramnya di titik pengumpul (collecting point).

“Hal ini dilakukan untuk mencegah jatuhnya harga garam saat panen raya tiba sekaligus mencegah melonjaknya harga secara tak terkendali saat stok dalam negeri menipis,” tegas dia.

 

Hasil panen dari lahan petambak di Juwana, Pati, Jawa Tengah. Foto: Tommy Apriando

 

Gudang Garam Nasional Sistem Resi Gudang Beroperasi

Untuk menstabilkan harga dan stok garam nasional, KKP juga memulai operasional Gudang Garam Nasional (GGN) Sistem Resi Gudang (SRG)di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Operasional tersebut, menjadi tujuan untuk menjaga ketersediaan dan harga garam di tingkat nasional secara baik.

“Ini bukti dukungan kita kepada petambak garam juga, sekaligus ini juga menjadi langkah menuju swasembada garam nasional,” jelas Brahmantya.

Dengan dioperasikannya SRG, Brahmantya menyebut, nantinya garam hasil panen petambak bisa disimpan dan kemudian diperdagangkan melalui GGN. Untuk melakukannya, petambak cukup menyetorkan garam hasil panen ke GGN, dan kemudian petambak akan mendapatkan sebuah Resi (bukti penyimpanan garam).

Setelah mendapat resi, kata Brahmantya, jika memerlukan dana segar untuk modal, petambak bisa menggunakannya sebagai agunan untuk mengajukan kredit pinjaman ke perbankan. Adapun, resi dari GGN tersebut, akan difasilitasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Berkaitan dengan penjualan garam, Brahmantya berjanji bahwa semua garam yang dihasilkan petambak dan disimpan dalam GGN akan dibeli oleh PT Garam (Persero). Selain itu, pihaknya juga akan meminimalisir impor garam dan akan mengedepankan produksi garam dalam negeri.

Pernyataan Brahmantya tersebut dikeluarkan, karena Pemerintah baru saja menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“Untuk itu, kami mendorong petambak garam untuk dapat menghasilkan garam – garam yang berkualitas,” tutur dia.

Untuk GGN di Pati sendiri, KKP menyerahkan pengelolaannya kepada Koperasi Mutiara Laut Mandiridan pada tahap awal akan mendapat pendampingan dari PT Garam. Koperasi tersebut mendapat hak pengelolaan, setelah sebelumnya KKP melakukan identifikasi dan verifikasi pada 2016.

Diketahui, Gudang Garam Nasional Sistem Resi Gudang adalah salah satu komponen bantuan yang ada dalam Program Usaha Garam Rakyat (PUGAR) tahun anggara 2016. Dalam implementasinya, KKP mengalokasikan 6 (enam) unit gudang garam nasional di 6 (enam) lokasi, yaitu Kabupaten Pamekasan (Jawa Timur), Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon (Jawa Barat), Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Sulawesi Selatan), Kabupaten Bima (Nusa Tenggara Barat) dan Kabupaten Pati (Jawa Tengah).

 

Farihin merebus garam terakhirnya di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Farihin merupakan satu dari 5 rumah tangga pemasak garam yang tersisa di kampung tersebut. Foto Anton Muhajir

 

Dengan bertambahnya fasilitas GGN, petambak garam rakyat dapat bekerjasama dalam pengelolaan hasil produksinya. Teknisnya, nanti akan dilakukan melalui koperasi yang mengelola GGN langsung. Karena itu, keberadaan koperasi harus bisa membawa dampak positif bagi produksi garam secara nasional, terutama di Pati.

“Koperasi yang telah diamanahkan dalam pengelolaan gudang ini dapat dimanfaatkan dengan baik, dirawat dan dilakukan perbaikan secara swadaya,” kata dia.

Selain enam gudang yang sudah dibangun, KKP pada 2017 ini juga akan membangun enam gudang lagi di Brebes, Demak, Rembang (Jawa Tengah), Sampang, Tuban (Jawa Timur), dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).

“Seluruh gudang yang sudah dan akan dibangun menggunakan Standardisasi Nasional Indonesia atau SNI,” jelas Brahmantya.

Untuk setiap gudang yang akan dibangun nanti, Brahmantya memperkirakan, sedikitnya diperlukan waktu tiga hingga enam bulan. Dengan waktu tersebut, masing-masing gudang yang akan dibangun, biaya yang harus dikeluarkan sedikitnya mencapai Rp2 miliar dengan kapasitas setiap gudang mencapai 2.000 ton.

 

Impor Garam

Berkaitan dengan kegagalan produksi garam yang dialami Indonesia sepanjang 2016, KKP akhirnya kembali membuka keran impor yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan garam nasional. Untuk 2017 ini, KKP memastikan akan dilakukan impor sebanyak tiga tahap dengan jumlah total maksimal 226.124 ton.

Menurut Brahmantya, pada 27 Desember 2016 dalam rapat lintas instansi, didapatkan kesepakatan bahwa impor maksimal dilakukan untuk garam konsumsi. Pelaksanaan impor tersebut, akan dilakukan secara bertahap, dengan setiap tahapnya dilakukan pengawasan dan evaluasi secara lengkap dan menyeluruh.

Yang disebut pengawasan dan evaluasi, kata Brahmantya, yaitu bagaimana impor garam bisa berjalan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jika ditengah impor tersebut, ternyata kebutuhan garam nasional sudah tercukupi, maka impor tidak akan dilanjutkan walaupun masih ada satu atau dua tahap lagi.

“Ini fungsinya untuk mengontrol kuota impor juga. Jika sembarangan dilepas kuotanya, tidak akan bagus. Jadi, jika tidak perlu impor lagi, maka akan dihentikan langsung. Itu jika hasil evaluasi demikian,” jelas dia.

Adapun, instansi yang ditunjuk secara resmi untuk melaksanakan impor garam pada 2017, dari hasil rapat pada akhir 2016 itu, disepakati adalah PT Garam, BUMN yang fokus pada pengelolaan dan produksi garam nasional.

Agar proses impor berjalan baik, KKP sengaja membentuk Satuan Tugas (Satgas) Lintas Kementerian Lembaga khusus garam yang berfungsi untuk mengawasi dan mengevaluasi impor garam yang dilaksanakan pada 2017. Satgas tersebut akan diisi tujuh pihak terkait.

“Setidaknya ada tujuh pihak yang harus dikoordinasikan terkait Satgas Impor Garam ini,” kata dia.

Ketujuh pihak itu, ujar dia, selain KKP, ada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Bea Cukai Kementerian Keuangan, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,