Bisa Perburuk Keadaan, Koalisi Nilai DPR Tak Perlu Bikin UU Perkelapasawitan

 

 

DPR tengah memuluskan Rancangan Undang-undang (RUU) Perkelapasawitan lancar bahas  tahun ini. Kritikan dan masukan datang dari berbagai pihak soal ketidakjelasan arah atau sasaran dari aturan yang bakal dibuat ini. Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil kembali menyuarakan, tak perlu pembuatan UU ini karena berpotensi memperburuk keadaan, lebih baik menguatkan aturan yang ada.

Andi Muttaqien, dari Elsam, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ini menilai, sebenarnya UU Perkelapasawitan tak perlu ada. Beragam aturan mengenai perkelapasawitan sudah tertuang dalam UU Perkebunan, UU P3H (Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan-red), UU Perdagangan dan UU Kehutanan,” katanya, pekan lalu.

Jadi, katanya, kalau dibaca keseluruhan, hampir tak ada norma baru ditawarkan dalam RUU ini. Aturan-aturan dalam draf RUU malah mengaburkan upaya yang dilakukan pemerintah kini. Partisipasi publik dalam pembahasan RUU sangat minim.

 

Baca juga: Komnas HAM: RUU Perkelapasawitan Jangan Sampai Bikin Kekacauan Baru

 

Namun, katanya, kalau melihat situasi politik, RUU ini tetap bakal dipaksakan segera sah. Dia meminta, kalaupun tetap dipaksakan ada, instrumen pengawasan harus diperketat. “Juga harus ada ketentuan mengatur soal proses uji tuntas HAM dalam perkebunan sawit,” katanya.

RUU ini, katanya,  sebenarnya pernah masuk prioritas 2016. Berkat banyak penolakan dari kalangan masyarakat sipil bahkan Kementan juga menyikapi hingga tak dibahas intensif. Ternyata, katanya, 2017 ini tetap menadi perjuangan para wakil rakyat itu.

“Kita tahu sawit memiliki manfaat nasional sebagai komoditas produktif, menyerap tenaga kerja dan lain-lain. Sisi lain perkebunan sawit kerap memberikan dampak buruk sosial dan lingkungan,” katanya.

Berdasarkan data BPS 2015, luas perkebunan sawit di Indonesia sampai 11,4 juta hektar. Direktorat Perkebunan Kementan mencatat, dari luasan itu ada 739 konflik perkebunan. Dengan rincian 539 konflik lahan (72,25%), 185 kasus (25,05%) non lahan, dan konflik kehutanan 15 kasus (2%).

 

Baca juga: Susun UU Perkelapasawitan untuk Solusi Kebun Sawit Ilegal?

 

Bagi Andi, berbagai masalah seperti konflik perkebunan itu harus beres bukan malah membuat UU baru justru untuk melegalkan kawasan yang berkonflik. Keberadaan RUU, katanya, bukan malah memperburuk keadaan.

“Apakah RUU ini benar-benar untuk kesejahteraan petani? Temuan kami memperlihatkan pasal-pasal dalam draf cuma sebagian kecil mengatur petani. Isinya, hanya soal kemitraan dengan perusahaan skala besar,” katanya.

Ketentuan mengenai petani skala kecil disebut dalam Pasal 29 RUU Perkelapasawitan. Disebutkan,  beberapa kemudahan bagi pekebun tetapi tak dirinci detail di pembahasan pasal-pasal lain.

“Artinya niat meningkatkan kesejahteraan petani, belum tercermin. Isi RUU malah memberikan perlakuan istimewa terhadap perusahaan perkebunan.”

Kondisi ini, katanya, bisa terlihat pada Pasal 18 ayat 4 draf RUU. Perusahaan sawit skala besar justru diberikan banyak keuntungan seperti pengurangan pajak penghasilan, pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku. Lalu,  pembebasan atau penangguhan pajak pertambahan nilai atas impor barang modal, keringanan pajak bumi dan bangunan, dan bantuan pemasaran produk melalui lembaga atau instansi terkait.

“Jadi patut dipertanyakan motif Komisi IV DPR. Apakah benar-benar ingin mensejahterakan petani, atau hanya memfasilitasi perusahaan-perusahaan perkebunan ilegal beroperasi tanpa izin atau bahkan merambah hutan menjadi perusahaan legal?”

Dia juga menyoroti, RUU perkelapasawitan bisa jadi instrumen melegalkan keterlanjuran dan memberi celah bagi perusahaan perkebunan sawit bisa beroperasi di areal gambut. “Ini terlihat Pasal 23.”

 

Baca juga: Ada UU Perkebunan, Sebenarnya Mau Atur Apalagi RUU Perkelapasawitan

 

Dengan pengesahan RUU ini, justru akan melegalkan perkebunan sawit ilegal seperti di kawasan hutan, lahan gambut atau bersengketa dengan masyarakat. Kalau UU ini tetap nekat dibahas juga, justru akan makin meruncingkan permasalahan yang ada.

“Konflik lahan dengan masyarakat lokal justru akan makin meningkat. Negara menjadi pihak yang merestuinya melalui RUU Perkelapasawitan,” katanya.

Padahal, katanya, fungsi DPR seharusnya tak hanya soal legislasi, juga pengawasan. Seharusnya, DPR malah  maksimalkan terlebih dahulu penegakan hukum, misal, memanggil Kementan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahkan kepolisian untuk menindak kebun-kebun sawit nakal. Bukan sebaliknya, malah berupaya melegalkan hal terlarang. “Ini jalan pintas (melegalkan pelanggaran) dengan RUU.”

Soal aspek keberlanjutan, Pasal 78 RUU itu menyatakan, sertifikasi bertahap selama lima tahun. Kondisi ini,  justru langkah mundur karena ketentuan mengenai sertifikasi sudah ada sejak lama, yakni standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Hingga Desember 2016, sudah ada 226 perusahaan sawit menerima ISPO dengan luas 1.430.105,31 juta hektar dan produksi minyak sawit mentah 6.746.321,93 juta ton. Juga ada 600 perusahaan lain sedang proses sertifikasi ISPO.

“Kalau RUU ini disahkan, proses yang sedang berjalan sekarang akan mundur. Terbantahkan dengan RUU ini. Ini menghambat proses sertifikasi yang berlangsung,” katanya.

 

Kebun sawit ini ditanam dilahan terlarang, lahan gambut dalam. Sebelumnya bertutupan hutan lalu dibakar jadi kebun sawit. Larangan ini sesuai dengan aturan pemerintah Indonesia. Apakah, beragam aturan itu akan dihancurkan oleh kehadiran RUU Perkelapasawitan? Foto: Sapariah Saturi

 

 

UU demi kepentingan pebisnis besar

Legal Researcher Yayasan Auriga Syahrul Fitra mengatakan, pasal-pasal dalam draf RUU Perkelapasawitan justru rentan mengaburkan politik hukum yang telah terbangun dalam hukum positif Indonesia.

Aturan-aturan yang memperkuat perlindungan lingkungan hidup, memperluas wilayah kelola rakyat, dan membuka akses dan peluang pada usaha kecil, bisa berantakan dengan UU ini.

“Rancangan yang diusulkan juga memperkuat model pembangunan perkebunan fokus usaha skala besar. Tak banyak memperhatikan konteks perkembangan pekebun skala kecil di Indonesia,” katanya.

Dia mencontohkan, Pasal 18 mengenai insentif hanya membahas kemampuan finansial perusahaan perkebunan sawit skala besar. Ia tak membahas insentif bagi pekebun rakyat dan swadaya.

“Proteksi lebih kepada korporasi. RUU ini hampir tak mengatur norma. UU Perkebunan sudah ada tinggal menurunkan dalam aturan teknis. Kita belum memerlukan UU Perkelapasawitan,” katanya.

Jika merujuk data, perkebunan sawit perusahaan skala besar lebih luas dibandingkan areal milik petani swadaya. Luas perkebunan sawit perusahaan besar 10.788.631 (69%), petani swadaya 4.422.365 hektar (26%) dan BUMN 493.776 hektar (3%).

RUU ini, kataya, justru akan melemahkan perlindungan gambut. Pasal 49 justru berlawanan dengan PP nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. PP itu jelas menyatakan, setiap orang dilarang membuka lahan baru sampai penetapan zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal ekosistem gambut untuk tanaman tertentu.

“Tak ada kebijakan transisi memperhatikan kondisi aktual banyaknya usaha perkebunan sawit skala besar di lahan gambut. Termasuk lahan gambut kategori dalam, lebih tiga meter.”

Ketentuan pidana RUU ini juga, malah bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2009 mengenai Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

“Rumusannya tak tegas hingga berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum. Definisi pembukaan lahan ramah lingkungan atau tak mengganggu kepentingan umum bisa menjadi pasal karet. Ini bertentangan dengan azas perumusan hukum pidana materil,” katanya.

Kalau UU ini tetap maksa jalan, harus bisa memastikan petani skala kecil dan swadaya dan lingkungan terlindungi.

Aktivis Human Rights Working Group (HRWG) M. Hafiz mengatakan, ketergesaan DPR membahas RUU Perkelapasawitan justru memperlihatkan DPR malah menyuarakan kepentingan korporasi.

“Isu yang disasar RUU ini, terkait kendala diplomasi investasi dan penjualan CPO ke luar negeri karena ada kampanye negatif sawit di Indonesia.”

Dia bilang, bisnis berlanjutan itu harus dilihat secara utuh, dari lingkungan, sosial, budaya sampai hak asasi manusia. “Problem yang muncul harus diselesaikan. Penolakan sejumlah negara memang soal sustainability dan HAM.”

HAM dan lingkungan, katanya,  sudah jadi standar dunia yang mau tak mau harus diikuti. Penyelesaian lewat diplomasi lobi-lobi tanpa membereskan akar masalah justru mubazir.

“Harusnya dibereskan dulu pekerja di lapangan yang tak memadai, tak ada fasilitas sesuai kebutuhan mereka. Juga terkait pekerja anak.”

Perihal hak-hak tenaga kerja di sektor perkebunan sawit sama sekali tak terangkum dalam drat RUU padahal sangat penting. Sebab, regulasi dalam UU Ketenagakerjaan saat ini lebih banyak berbicara mengenai tenaga kerja sektor manufaktur. Secara karakteristik, pekerja sektor perkebunan sawit dengan manufaktur berbeda.

“Standardisasi pendekatan HAM dalam bisnis jadi satu kebutuhan global. Mau tak mau setiap negara harus mengikuti standar itu. Risiko jika tak memasukkan unsur HAM, barang tak laku atau tak diterima publik. Ini tantangan dan satu keharusan dalam RUU. Dalam draf sama sekali tak disinggung.”

Ketidaksetujuan ada UU Perkelapasawitan juga datang dari Sawit Watch. Dalam draf RUU tercantum tujuan DPR mengusung aturan ini, secara  sosial dan ekonomi mensejahterahkan petani, peningkatan kualitas dan profesionalitas perusahaan sawit dari hulu sampai hilir. Juga memberikan jalan keluar carut marut perizinan dan jadi solusi maslah tumpang tindih.

“Alasan DPR dalam mengusung RUU ini, terkesan sangat dibuat-buat, seperti tak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur ini,” kata Maryo Saputra Sanuddin, Kepala Desk Kampanye Sawit Watch dalam rilis kepada media.

Dia bilang, persoalan kesejahteraan petani, profesionalitas perusahaan dan tumpang tindih izin sudh sejak lama terjadi. Sejak Sawit Watch berdiri 1998, katanya,  selalu menyuarakan hal-hal ini. “Pertanyaannya, apakah harus membuat satu regulasi baru untuk menangani ini?”

Sawit Watch, katanya, tegas menolak RUU Perkelapasawitan. Dia bilang, kesejahteraan petani, profesionalitas perusahaan dan tumpang tindih izin persoalan klasik sejak lama, bahkan ketika industri berkembang di Indonesia.

UU buat mengatur persoalan-persoalan ini, katanya,  sudah ada, seperti UU Perkebunan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Permentan 29 tahun 2016 dari perubahan permentan 98/2013. Lalu, Permentan 11/2015 tentang ISPO.

“Kami rasa tak perlu lagi membuat satu UU yang sebenarnya sudah ada dalam peraturan perundang-undangan lain. Kami mendapat draf RUU ini, hampir sebagian besar isi ada dalam UU Perkebunan.”

Dia balik bertanya, sebenarnya RUU ini untuk siapa. “Apakah “murni” inisiatif DPR karena melihat industri makin mendapat tekanan dari berbagai pihak atau pesanan dari oknum-oknum tertentu untuk terus melanggengkan usaha ini.”

Saat ini, katanya, terpenting pemerintah serius mengimplementasikan semua kebijakan yang sudah ada. “Jangan hanya membuat kebijakan dan implementasi dibiarkan begitu saja. Mekanisme sanksi bagi pelaku yang melanggar kebijakan atau perundang-undangan harus ditegakkan.”

Solusi dari semua persoalan di perkebunan sawit, katanya, bukan membuat kebijakan baru tetapi mengawasi implementasi dari kebijakan yang sudah keluar.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,