Kewenangan Beralih, Bagaimana Pemda Mengelola Kawasan Konservasi Perairan?

Sesuai UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat aturan mengenai pengalihan kewenangan pengelolaan sektor kelautan dari pemerintah kabupaten ke pemerintah provinsi. Bagaimana seharusnya pemerintah daerah menyikapi UU tersebut?

 Noviar Andayani, Country Director Worldlife Conservation Society (WCS)-IP mengatakan, dengan terbitnya UU 23 tahun 2014, langkah yang perlu dilakukan adalah menjembatani pengalihan kewenangan dari pemerintah kabupaten maupun kota kepada provinsi. Selain itu, memastikan bahwa proses pengelolaan masih tetap berlanjut.

“Sejak tahun 2014, WCS bersama dengan mitra dan pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat, bersama-sama mengkaji, mendesain dan membentuk model harmonisasi kelembagaan pengelolaan KKP3K, yang mengacu amanat UU 23 tahun 2014,” terangnya.

Pernyataan itu disampaikan Noviar Andayani di Lombok, NTB, pada kegiatan  “Studi Banding Harmonisasi Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K) di Nusa Tenggara Barat”, 8-10 Februari 2017.

 

 

“Dari sisi regulasi, diperlukan payung hukum untuk mengatur tanggungjawab SKPD di tingkat provinsi. Ini dilakukan melalui penerbitan SK Gubernur yang mencadangkan ulang semua kawasan konservasi perairan di NTB yang dulunya sudah di-SK-kan oleh Bupati,” kata Yudi, Marine Program Manager WCS ketika dihubungi Mongabay, Jumat (10/2/2017).

Dalam aspek kelembagaan, ujarnya, pemerintah provinsi membentuk sebuah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang diberi nama Balai Konservasi dan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.

“UPTD ini setingkat eselon 3. Sebagai inisiasi awal, dibentuk 3 cabang UPTD, yang menaungi 3 wilayah berbeda. Harapannya, dengan adanya kelembagaan yang jelas, pengelolaan kawasan konservasi perairan di NTB bisa tetap dilanjutkan. Dari yang sebelumnya sempat vakum karena proses peralihan ini,”  terangnya.

Kemudian pelibatan masyarakat menjadi kunci utama pengelolaan kawasan konservasi perairan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah lewat jalur kemitraan dengan Pokmaswas (kelompok masyarakat pengawas) di tingkat desa.

Diyakini, keterlibatan masyarakat bisa menjadi jembatan untuk menyelesaikan permasalahan klasik yang dihadapi pemerintah. Misalnya, terkait keterbatasan pendanaan maupun sumber daya manusia.

Di saat bersamaan, WCS melakukan identifikasi calon kawasan dan zonasi kawasan melalui data ilmiah. Dicontohkannya, data tentang sebaran dan kondisi terumbu karang, kelimpahan dan biomassa ikan karang serta habitat-habitat penting tertentu.

“Identifikasi itu nantinya akan memberi rekomendasi, yang akan kembali dikomunikasikan kepada masyarakat. Pastinya banyak diskusi dengan mereka selama prosesnya. Karena memang masyarakat sebagai pemanfaat utama dan yang sehari-hari tinggal di sekitar kawasan,” tambah Yudi.

 

Perairan Raja Ampat, salah satu Kawasan Konservasi Laut di Indonesia. Foto: Dmitry Telnov

 

Alokasi Kawasan Konservasi Perairan

 Pemerintah Indonesia berkomitmen mencapai target 20 juta hektar kawasan konservasi perairan, pada tahun 2020. Menurut data Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL), pada akhir 2016, Indonesia telah mengalokasikan 17,9 juta hektar kawasan konservasi perairan.

Dukungan pemprov NTB terhadap komitmen tersebut, dilakukan dengan mengalokasikan 340 ribu hektar, atau 11%, kawasan perairannya sebagai kawasan konservasi.

“KKP3K memiliki peran penting dalam menjaga tetap berjalannya fungsi-fungsi ekologis ekosistem. Sehingga, sumber daya pesisir dan kelautan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan,” terang Lalu Hamdi, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB.

Sementara itu, provinsi Maluku Utara, telah mencadangkan lima kawasan konservasi perairan yang tersebar di kota Tidore kepulauan, kabupaten Halmahera Tengah, kabupaten Halmahera Selatan dan kabupaten pulau Morotai.

Muhammad Natsir Thaib, wakil gubernur Maluku Utara mengaku mengambil pelajaran dari studi banding ini. Khususnya, terkait pengelolaan KKP3K serta proses harmonisasi kelembagaan di NTB.

“Berkaca dari NTB yang mengalokasikan 11% wilayah perairannya sebagai KKP3K, setidaknya 10% wilayah perairan Maluku Utara dapat dialokasikan sebagai kawasan konservasi,” terangnya.

 

Studi Banding Harmonisasi Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K) dari perwakilan Pemprov Maluku Utara di Nusa Tenggara Barat, pada Februari 2017. Foto : WCS

 

Senada juga dikatakan Ronald Sorongan, Kadis DKP Sulawesi Utara. Disebutkannya, saat ini, terdapat enam kawasan konservasi yang telah dicadangkan di kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, kota Bitung, kabupaten kepulauan Sangihe dan kabupaten kepulauan Sitaro.

Yudi Herdiana, menambahkan, dalam sebuah dokumen tahun 2016, Sulawesi Utara mengalokasikan lebih dari 800 ribu hektar wilayah lautnya untuk kawasan konservasi perairan. Alokasi itu terbagi atas, kawasan konservasi seluas 800.792,39 hektar. Sedangkan luas Taman Nasional Laut sekarang ini 71.845, 17 hektar.

“Tapi belum jadi Perda. Masih harus dikonsultasikan satu kali lagi ke Jakarta,” terangnya. “Sedangkan, di provinsi Maluku Utara, alokasi tersebut masih dalam proses analisis, belum sampai di pembahasan luasan tiap-tiap ruang.”

WCS merupakan program konservasi global untuk menyelamatkan dan melindungi satwa liar, serta tempat-tempat liar. Upaya tersebut, dilakukan melalui pemberian pemahaman tentang isu-isu kritis, menciptakan solusi berbasis ilmu pengetahuan dan mengambil tindakan konservasi yang menguntungkan alam dan manusia.

Kegiatan studi banding yang diselenggarakan WCS itu, didukung USAID SEA Project dan diikuti 14 peserta dari Pemda Sulawesi Utara dan Maluku Utara.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,