Dimana Peran Negara Saat Cuaca Buruk Terjadi dan Nelayan Tak Bisa Melaut?

Pemerintah diminta untuk hadir sebagai pelindung nelayan di masa sulit seperti sekarang, dimana cuaca berlangsung ekstrem di hampir semua wilayah perairan Indonesia. Kondisi tersebut, membuat nelayan tidak bisa melaut dengan bebas seperti biasanya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, nelayan tidak akan bisa melaut sama sekali dengan cuaca yang buruk.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Center of Maritime Studies for Humanities) Abdul Halim mengatakan, sesuai prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), cuaca ekstrem akan terjadi sepanjang Januari hingga akhir Februari nanti.

“Dalam kondisi tersebut, resiko kegagalan usaha pembudidayaan ikan dan pergaraman juga bakal dialami oleh pembudidaya ikan dan petambak garam,” ungkap dia akhir pekan lalu.

 

 

Menurut Halim, dari laporan 20 Stasium Maritim BMKG yang ada di Indonesia, cuaca ekstrem akan memicu gelombang tinggi hingga 5,5 meter dan itu akan terjadi di seluruh perairan Indonesia. Di antara perairan yang akan terkena cuaca ekstrem, adalah Laut Jawa bagian tengah dengan ketinggian gelombang mencapai 2 meter.

“Selain itu, perairan utara Jawa Tengah juga akan dilanda gelombang setinggi 3 meter, Samudera Hindia selatan NTT setinggi 5 meter, Selat Sumba setinggi 3 meter, Selat Sape setinggi 2,5 meter, dan Laut Sawu setinggi 4 meter,” ucap dia.

Karena kondisi yang ekstrem itu, Halim mendesak kepada Pemerintah untuk segera untuk bergerak cepat mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Jika terjadi kelambatan, dia meyakini, cuaca ekstrem tersebut akan berdampak pada penurunan kemampuan untuk melaut, budidaya ikan, dan memproduksi garam.

“Sementara itu, kebutuhan hidup terus berjalan,” tegasnya.

Halim menjelaskan, perindungan kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam wajib diberikan Pemerintah, karena itu menjadi amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Amanat tersebut, lanjutnya, ada dalam Pasal 3 Huruf (3).

“Undang-Undang telah mengamanahkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk melindungi nelayan kecil, pembudidaya ikan kecil, dan petambak garam dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran,” tutur dia.

 

Nelayan kecil, yang kerab menjadi korban kebijakan dan masih sedikit kebijakan yang memberikan perhatian kepada mereka. Foto: Tommy Apriando

 

Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mencatat, jumlah hari nelayan melaut mengalami penurunan drastis hingga sebesar 85 persen. Dalam kondisi itulah, penghasilan nelayan juga anjlok hingga 90 persen. Penurunan pendapatan ini juga dialami oleh pembudidaya ikan dan petambak garam.

Untuk itulah, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mendesak kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melakukan hal-hal strategis sebagai berikut:

  1. Menyegerakan penyaluran program asuransi perikanan dan asuransi pergaraman bagi nelayan kecil, pembudidaya ikan, dan petambak garam yang belum terjangkau;
  2. 2. memastikan penggunakan dana APBN/APBD untuk menanggulangi dampak perubahan iklim yang dialami oleh nelayan kecil, pembudidaya ikan, dan petambak garam tepat sasaran dan kegunaannya.

Sebelumnya, Halim juga menyebutkan, sedikitnya terdapat 1.000 orang nelayan kecil, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam yang ada di 6 Kabupaten/Kota di NTB dan 1 kabupaten di NTT. Mereka semua, harus mendapat perlindungan asuransi jiwa dan perikanan.

“Harus ada perlindungan asuransi jiwa dan asuransi perikanan bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Mereka harus menggandeng pemerintah lokal di provinsi dan kabupaten/kota,” ungkap dia.

Untuk diketahui, Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam memerintahkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk proaktif memfasilitasi nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam untuk memperoleh:

(a) kemudahan pendaftaran untuk menjadi peserta; (b) kemudahan akses terhadap perusahaan asuransi; (c) sosialisasi program asuransi terhadap Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, dan perusahaan asuransi; dan/atau (d) bantuan pembayaran premi asuransi jiwa, Asuransi Perikanan, atau Asuransi Pergaraman bagi Nelayan Kecil, Nelayan Tradisional, Pembudi Daya Ikan Kecil, dan Petambak Garam Kecil, sesuai dengan kemampuan keuangan negara”.

Dengan perbaikan kinerja Kementerian Kelautan dan daerah, Halim meyakini, penyelenggaraan program asuransi jiwa dan perikanan akan menjangkau dan memberikan manfaat secara langsung kepada 2,7 juta jiwa nelayan, 3 juta jiwa perempuan nelayan, 3,5 juta jiwa pembudidaya ikan, dan 3 juta petambak garam hingga akhir tahun 2018.

 

Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dengan mancari ikan di lautan. Peralatan yang mereka gunakan juga sederhana, jaring dan kail. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Rp175 miliar untuk 2,7 Nelayan

KKP sebelumnya juga sudah berjanji akan mengasuransikan 1 juta nelayan dari total 2,7 juta nelayan yang terdata di Tanah Air, terhitung mulai 2016. Untuk program tersebut, KKP siapkan anggaran sebesar Rp175 miliar.

Menteri KP Susi Pudjiastuti mengatakan, jika sudah berjalan, setiap nelayan akan mendapat besaran asuransi Rp200 juta jika mengalami kecelakaan dan mengakibatkan pada kematian. Namun, jika kecelakaan berujung pada kecacatan, asuransi akan memberikan besaran Rp100 juta saja.

Selain kecelakaan, Susi menjanjikan, dari skema asuransi, nantinya akan ada asuransi biaya pengobatan sebesar Rp20 juta. Kemudian, untuk nelayan yang mengalami kecelakaan di luar aktivitas utamanya, mereka akan mendapat asuransi sebesar Rp160 juta jika berujung pada kematian. Namun, jika cacat, dia mendapatkan Rp100 juta dan biaya pengobatan Rp20 juta.

Sementara, Pelaksana Tugas Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar menjelaskan, anggaran yang digunakan untuk dana asuransi perlindungan nelayan, sepenuhnya diambil dari anggaran Pemerintah. Kata dia, walau nelayan mendapatkan asuransi, namun tidak sepeserpun biaya dibebankan kepada nelayan.

“Asuransi ini gratis. Diupayakan tidak berbelit-belit. Perlindungan juga diberikan kepada nelayan saat mereka kecelakaan di luar aktivitas melaut. Karena, nelayan ini pekerjaan yang belum diuntungkan, biasa terpinggirkan. Juga ada yang sakit tapi tidak ada akses untuk kesehatan. UU mengamanatkan perlindungan untuk mereka,” kata Zulfichar.

Berkaitan dengan cuaca ekstrem yang terjadi, Zuficar Mochtar mengatakan, nelayan di Indonesia sudah sejak lama terbiasa dengan kondisi tersebut. Hal itu, karena dalam setahun, setidaknya ada 4-5 bulan cuaca tidak menentu dan bahkan mencapai suhu yang ekstrem.

Dengan kata lain, kata Zulficar, nelayan Indonesia sudah terbiasa melaut dalam setahun paling banyak hanya delapan bulan saja. Sementara, sisa waktu yang ada akan dihabiskan nelayan dengan melaksanakan kegiatan lain yang menghasilkan nilai ekonomi.

“Nelayan Indonesia, jika cuaca sedang ekstrem, akan memilih untuk berkebun, bertani, atau aktivitas ekonomi lain. Contoh kegiatan lain itu, seperti pengolahan ikan, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan dunia perikanan juga, itu bagian dari upaya mendapatkan pemasukan ekonomi tambahan,” tutur dia.

 

Ikan malalugis hasil tangkapan nelayan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

 

Meski sudah memiliki kemampuan sendiri untuk bertahan hidup, Zulficar mengungkapkan, Pemerintah akan tetap memberi perlindungan langsung melalui asuransi kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, sesuai dengan amanat dalam UU Nomor 7 tahun 2016.

”Sudah 400.000 lebih nelayan kecil yang  mendapatkan asuransi tersebut. Tahun ini ditargetkan 500.000 lagi nelayan mendapatkannya,” sebut dia.

Sementara itu Ketua Umum Masyarakat Perikanan Nusantara Ono Surono menyebut, hingga saat ini Pemerintah belum memiliki skema penanganan dampak cuaca buruk yang menimpa nelayan kecil dan juga pembudiaya ikan dan petambak garam.

Menurut Ono, upaya KKP untuk memberi perlindungan asuransi kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam patut diacungi jempol. Tetapi, asuransi yang dibagikan KKP sejak 2016 itu  bukanlah asuransi untuk kecelakaan, kegagalan usaha, ataupun bencana.

”Pemerintah belum punya skema bantuan untuk paceklik nelayan,” ucap dia.

Kelemahan Pemerintah tersebut, kata Ono, harus diperbaiki segera dan harus belajar dari pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang sudah memiliki skema dana paceklik yang dihimpun dari nelayan yang menjual ikannya ke TPI.

“Biasanya Dana Paceklik itu dikeluarkan dalam bentuk beras paceklik pada musim-musim angin besar di Desember-Februari,” pungkas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,