Negeri Ini Kaya Kearifan Lokal Kelola Gambut

 

Pemerintah Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla berkomitmen mendistribusikan lahan dan perhutanan sosial sebagai janji politik dalam Nawacita. Dengan begitu, model-model tata kelola lahan harus berjalan sesuai kearifan lokal masyarakat. Apalagi, masyarakat di negeri ini kaya kearifan dalam mengelola lahan, termasuk di gambut.

Myrna A Safitri, Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG, memperkirakan ada satu juta hektar lahan kelola masyarakat dari 2,4 juta hektar yang hendak direstorasi BRG.

Myrna menyebutkan, dari 1 juta hektar itu, 500.000 hektar kawasan lindung yang bisa dimanfaatkan melalui skema hutan kemasyarakatan dan hutan desa.

“Memang harus kita cek lagi, terutama di areal budidaya yang belum memiliki izin dan nonhutan,” katanya. Pasalnya, ada kemungkinan jika pemda memberikan izin areal itu untuk pekebunan atau lain-lain.

BRG, katanya, akan berkolaborasi dalam perhutanan sosial dan reforma agraria bersama KLHK dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk legalitas.

Pengembangan ekonomi di desapun perlu cermat dilakukan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Kini, Kemendes masih mengidentifikasi dan pemetaan pemberdayaan komoditas masayrakat, terutama di wilayah gambut sekitar.

Direktur Eksekutif Walhi, Nur Hidayati mengatakan, distribusi tanah jadi komitmen Presiden harus diterapkan dengan model tata kelola yang baik. ”Percuma jika penerapan lahan monokultur dan industri agrikultur,” katanya.

Di lahan gambut, katanya, masyarakat mengelola dan merawat sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Sagu, semangka, padi, meranti rawa, jelutung, nanas merupakan bagian kecil dari komoditas di ekosistem rawa gambut. Tangan-tangan masyarakat, katanya, mengelola dengan kearifan lokal.

”Ekosistem gambut genting, penting tapi rentan,” katanya.

Dia bilang, Sumatera, Kalimantan dan Papua,  memiliki ekosistem gambut terluas di Indonesia. Berbagai model interaksi masyarakat bermacam-macam dan terbangun lama. ”Ini jadi model pembangunan adil dan berkelanjutan terhadap sumber daya alam.”

 Masyarakat mengelola gambut turun menurun bisa dilihat di Sungai Tohor, Riau. Ini

”Dari 1905, sagu menjadi nadi kehidupan mereka, 80% masyarakat menggantungkan kehidupan dari sagu,” kata Boy Jerry Even Sembiring, Walhi Riau.

Kearifan lokal daerah ini telah diakui negara, secara simbolik Presiden Jokowi mengunjungi Sungai Tohor, melihat percontohan pengelolaan gambut.

 

Abdul Manan, memperbaiki sekat kanal, kala Presiden Joko Widodo, datang ke Desa Sungai Tohor, Riau, akhir November 2014. Warga berupaya menahan air agar tak lepas dengan membuat sekat-sekat di kanal. Foto: Indra Nugraha

 

Gambut jadi ‘rumah’ bagi Sungai Tohor. Lahan tinggal, mengambil air, makan dan mengambil kayu. Langkanya beras pada 1965, menjadi titik balik menjadikan sagu sebagai nadi perekonomian.

Budidaya sagu jadi kearifan lokal turun-temurun. Penanaman tak monokultor, kayu-kayu alam masih berdiri bersama bahkan dipercaya menyediakan air agar sagu tumbuh subur.

Walhi baru menerbitkan buku berjudul “Kelola Rakyat atas Ekosistem Rawa Gambut: Pelajaran Ragam Potret dan Argumen Tanding,” antara lain berisi kearifan warga di Sungai Tohor ini.

”Tak ada kanal sama sekali sebagai jalur distribusi utama dan tak memiliki budaya membakar untuk membersihkan lahan,” katanya menampik anggapan masyarakat selalu jadi aktor pembakaran lahan gambut. Budidaya mereka masih alami dan tak pakai pupuk kimia.

Sagu diolah jadi pati, sagu basah, tepung, sampai makanan ringan. Minimal, setiap kepala keluarga memiliki dua hektar lahan sagu dan produksi 300-500 ton setiap bulan. ”Hingga kini mereka tetap produktif.”

Berbeda nasib dengan Desa Tuah Indrapura, Kabupaten Siak, Riau. Salah satu desa transmigran berdiri pada 1980-1982. Awal mula, desa ini jadi sentra pangan di Kabupaten Siak dan diproyeksikan sebagai lumbung padi kabupaten itu.

”Niat baik mereka, tak didukung pemerintah,” katanya. Bencana banjir dan hama datang seiring sawit subur seiring trend saat itu.

Investasi sawit masuk. Pelepasan kawasan dan izin hak guna usaha terbit dari pemerintah, salah satu kepada PT Tuah Karsa Wana Lestari (TKWL). Kanal-kanal dibangun, lahan kering dan mudah terbakar.

Tahun 2016, mereka mulai tersadarkan dampak praktik perkebunan monokultur. ”Mereka menumbangkan sawit dan mengganti dengan tanaman alam lebih ramah dengan rawa gambut.”

Masyarakat desa mengusir investasi yang merusak hutan dan gambut. Tak pelak, desa ini dicap sebagai Desa Pembangkang, yang tak mau menanam sawit.

Ada juga Desa Sungai Bungur, Desa Sepojen dan Desa Sogo. Pemerintah tak menganggap pengetahuan masyarakat sebagai ilmu yang mampu membangun kesejahteraan.

“Sebelum negara hadir dan membuat aturan gambut masyarakat hidup mengikuti gambut,” kata Dwi Nanto, peneliti dan penulis dari Walhi Jambi.

Masyarakat,  memiliki tata kelola sendiri untuk menanam padi dan tanaman keras di gambut. Terbalik fakta, saat korporasi datang, gambut harus mengikuti apa yang korporasi inginkan.

Sejak 1800, corak perekonomian masyarakat setempat menanam padi. Tahun 2008, konsesi sawit mulai datang dan masyarakat banyak jadi buruh pertanian.

Kebiasaan masyarakat, ingin hidup tercukupi,  mereka harus punya satu hektar tanah dan ditanami dengan cokelat dan sayur mayur. Untuk kebutuhan hidup enam bulan, masyarakat harus menanam padi dalam satu hektar.

Untuk kebutuhan tahunan dan hidup layak, mereka paling tidak memiliki tiga hektar tanah, biasa ditambah duku dan durian.

Kini, tantangan pengelolaan gambut adalah perubahan iklim yang menyebabkan pergeseran tanam dan tata kelola menyempit.

Seringkali, tata kelola lahan mengabaikan kearifan lokal terjadi di Desa Nusantara Air Sugihan dan Desa Perigi Talang Nangko, Ogan Komering Illir, Sumatera Selatan.

 

KPHD Sungai Beras menanam nanas untuk sekat bakar di lahan gambut. Foto: Yitno Suprapto

 

Sawit masif mulai 2007. Padahal warga hidup dan menyekolahkan anak dari padi, nanas dan kopi. Sukirman, wakil petani dari Desa Nusantara mengatakan, pemerintah memberi jalan ekspansi sawit di wilayah ini.

Tahun 2009, pemerintah daerah memberikan bantuan bibit sawit kepada petani. ”Lahan tadah hujan jadi tak bisa ditanami padi, 18 desa sudah jadi sawit.”

Tubagus Soleh Ahmadi, penulis dan peneliti dari Walhi Sumatera Selatan kecewa dengan tindak tanduk dari pemda. ”Kita mau mengembangbiakkan tanaman purun tapi tidak dimunculkan,” katanya.

Pemulihan restorasi gambut, katanya,  diharapkan tak sebatas ekonomi, namun melibatkan partisipasi masyarakat dari sisi sosial dan budaya.

Sama hal dengan tata kelola gambut di Pulau Kalimantan.”Hampir 50% ekosistem gambut berubah jadi konsesi,” kata Maulida Azizah, peneliti sekaligus penulis dari Walhi Kalimantan Selatan.

Di Nagara, Kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan. Ia dulu pusat Kerajaan Daha yang menjadi Kesultanan Banjar, masyarakat banyak tinggal di rawa gambut.

”Disini ada pengetahuan lokal, mereka mampu beradaptasi dengan alam dengan berhasil,” katanya.

Pada 1970-an, masyarakat bertani organik di lahan gambut, tak pakai bajak tapi tajak (sejenis parang). Sisa-sisa rumput yang berupa pirit gambut dibiarkan hingga membusuk. Cara itulah yang mampu menyuburkan lahan. Ubi, kacang, semangka panen periodik. Nagara kaya berbagai macam komoditas.

Namun, sejak 1997, penyuluhan dari pemerintah mulai datang pakai herbisida. Sawit masuk. ”Ikan mati, kerbau pemakan rumput pun begitu, ternyata karena air sungai sudah sangat asam dekat pembuangan pompa sawit,” katanya.

Petani mulai terkepung perkebunan sawit, tetap bertahan tak menjual lahan, akhirnya kekeringan.

Di Kalimantan Barat, Hendrikus Adam bercerita soal masyarakat yang dilarang berladang dengan cara bakar. ”Kebijakan karangan ini menjadi momok baru masyarakat, situasi ini menggambarkan dangkalnya pemahaman tentang sejarah petaka asap itu seperti apa,” katanya. Berladang tak hanya buka lahan, bakar dan terjadi asap. Ada tradisi turun temurun.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,