BMKG : Waspada Cuaca Buruk Pasca Banjir dan Longsor Kota Bitung

Hujan deras menyebabkan banjir kiriman dan tanah longsor di kota Bitung, Sulawesi Utara, Minggu (12/02/2017). Diyakini, pemicunya adalah tingginya suplai udara lembab, serta daya tampung lingkungan yang kurang baik.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, pada 11 dan 12 Februari 2017, angin di Sulut bertiup dari arah barat daya-timur laut dengan kecepatan 20-60 km per jam. Dari arah timur laut, angin bertiup dengan kecepatan 30-60 km per jam di wilayah kepulauan Sangihe dan Talaud.

Interaksi sirkulasi-sirkulasi tersebut, serta massa udara yang berasal dari Samudera Pasifik dan benua Asia, menyebabkan adanya daerah pertemuan angin yang memanjang dari Samudra Hindia, barat Sumatera hingga NTB dan sebagian Laut Jawa.

Keadaan itu dipercaya menjadi sebab munculnya kumpulan awan hujan yang tebal dan durasi hujan yang lama di sepanjang Minahasa Utara, Bitung, Maluku Utara hingga Papua Barat.

“Hal ini dikarenakan ketika awan telah menjatuhkan tetes hujan, akan tumbuh awan baru lagi akibat suplai udara yang lembab dalam jumlah banyak di wilayah tersebut,” demikian diperkirakan BMKG.

 

 

Kemudian, citra radar menunjukkan konsentrasi awan berada di wilayah Bitung, Tondano, kabupaten Minahasa dan kabupaten Minahasa Utara. Selama rentang waktu tersebut, hujan masih terus berlangsung dan kian lebat.

Sesuai nilai reflektifitas, konsentrasi awan yang tumbuh adalah awah Cumulonimbus dan awan Altostratus tebal. Fenomena ini menyebabkan hujan cenderung terjadi dalam durasi yang lama, disertai angin kencang ataupun petir.

“Awan Cumulonimbus yang menurunkan hujan dalam waktu yang lama, jika tidak diikuti penataan drainase yang baik, akan memperbesar peluang terjadinya tanah longsor,” sebut BMKG.

Setelah diguyur hujan seharian atau dalam waktu yang lama, pemanasan permukaan akan berkurang. Sehingga, potensi cuaca seperti tanggal 12 Februari sangat kecil kemungkinannya untuk terulang kembali.

“Namun, potensi gelombang yang tinggi di perairan kepulauan Sangihe dan Talaud masih akan bertahan beberapa hari ke depan, hingga pusat tekanan rendah di utara Papua hilang. Sehingga, diimbau untuk aktifitas pelayaran agar selalu berhati-hati.”

 

Hujan deras menyebabkan banjir kiriman dan tanah longsor di kota Bitung, Sulawesi Utara, Minggu (12/02/2017). Akibatnya 1.246 kepala keluarga atau 4.150 jiwa harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. Foto : Adi Dwi Satrya

 

Banjir Kota Bitung

Bencana banjir di kota Bitung terjadi pada hari Minggu (12/2/2017). Sebanyak 1.130 rumah, di 11 kelurahan dan 4 kecamatan, terendam air setinggi 80-120 centimeter. Akibatnya 1.246 kepala keluarga atau 4.150 jiwa harus mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kecamatan yang terdampak banjir di antaranya kecamatan Aer Tembaga, Mahesa, Lembeh Utara dan Lembeh Selatan.

“Dari 4 kecamatan tadi, Aer Tembaga merupakan wilayah yang paling parah terkena dampak banjir. 8 kelurahan di kecamatan itu terendam air dan 3.760 jiwa harus mengungsi,” kata Sutopo Purwo Nugroho, kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB.

Sementara itu, bencana tanah longsor terjadi di beberapa tempat, yaitu kelurahan Panurusa kecamatan Aer Tembaga, kelurahan Mawali dan Pintu Kota kecamatan Lembeh Utara dan Kelurahan Pakusungan kecamatan Lembeh Selatan.

“Akibat banjir, satu orang luka sedang dan 5 orang luka ringan. Sementara, 2 orang luka berat karena tertimpa longsor,” tambah Sutopo.

 

Hujan deras menyebabkan banjir kiriman dan tanah longsor di kota Bitung, Sulawesi Utara, Minggu (12/02/2017), mengakibatkan 1.130 rumah, di 11 kelurahan dan 4 kecamatan, terendam air setinggi 80-120 centimeter. Foto : Adi Dwi Satrya

 

Sebagai upaya penganggulangan bencana, pihaknya melakukan penyelamatan kelompok rentan dan mendirikan posko tanggap darurat di kantor BPBD kota Bitung. Selain itu, mereka juga mendirikan dapur umum untuk memberikan makanan siap saji kepada korban.

Hingga kini, kerugian material akibat bencana di kota Bitung itu masih dalam pendataan.

 

Daya Dukung Lingkungan

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulut berharap pemerintah daerah bisa mengambil pelajaran dari bencana ini. Dalam merencanakan dan menjalankan program pembangunan, pemerintah daerah seharusnya memperhatikan daya dukung lingkungan.

Theo Runtuwene, Direktur Eksekutif Walhi Sulut mengatakan, pemerintah daerah Sulawesi Utara cenderung fokus pada pembangunan infrastruktur seperti jalan maupun jembatan. Persoalannya, proyek-proyek tersebut semakin memperkecil wilayah serapan air di kota Bitung.

“Kami menolak proyek Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung, karena berpotensi semakin memperparah keseimbangan alam di sana,” kata Theo kepada Mongabay, Senin (13/02/2017).

Pihaknya menilai, bencana banjir ini seharusnya membuat pemerintah daerah meninjau ulang rencana reklamasi di kawasan Tanjung Merah, yang luasnya mencapai 1.500 hektar. Sebab, dengan proyek reklamasi yang menjadi bagian KEK Bitung itu, wilayah serapan air akan semakin berkurang.

“Reklamasi bukan solusi untuk memajukan daerah. Hanya proyek penguasa dan pengusaha untuk keuntungan mereka saja. Dampak lingkungan jelas, semakin ditutupnya ruang keseimbangan ekologis,” jelas Theo.

Sebagai gantinya, dia berharap, pemerintah daerah mau memperkuat sektor-sektor lain yang lebih ramah lingkungan. Misalnya, mendukung penguatan di sektor kelautan dan perikanan, pertanian hingga pariwisata.

“Menurut saya, pemerintah Sulut, khususnya Pemkot Bitung, bisa memahami bahwa banjir ini tidak datang begitu saja. Jadi dalam melakukan pembangunan, harus melihat mana yang menguntungkan dan mana yang bisa menimbulkan bencana ekologi,” ujar Theo.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,