Tempat hidup Orang Tobelo Dalam di Tayawi, Taman Nasional Ake Tajawe, Tidore Kepulauan, Maluku Utara, menyebar di Aer Tajawi dan Bayruray.
Kala saya ke sana, ada sekitar 20 keluarga, 12 keluarga masih nomaden. Meski sebagian sudah membuka kebun, sebagian lagi masih mengandalkan kehidupan alam bebas.
Untuk makanan sehari- hari mereka mengkonsumsi tepung pohon sali (pipitingi: bahasa Tobelo Dalam). Sali sejenis palem dengan batang mirip pinang hutan tinggi sekitar dua meter.
Pohon ditebang lalu batang dibelah, seperti mengambil sagu. Tepung berwarna lebih putih dan manis.
Mereka juga makan pisang, ubi (kasbi-red) dan talas yang ditanam di kebun atau dekat bivak.
Di sungai dan hutan Tayawi, sepanjang pengamatan saya jarang ditemukan hutan sagu–yang jadi makanan pokok masyarakat Tobelo Dalam seperti di Haltim dan Halteng.
Meski sebagian sudah berkebun dan menanam pisang, nenas dan tanaman tahunan seperti kelapa dan pala, kebiasaan berburu dan mencari makanan di alam bebas masih berjalan.
Kondisi ini, berbeda dengan delapan keluarga yang kini hidup menetap. Mereka sudah hidup bersama masyarakat lain. Hasil memanen kelapa dan pala jadi sumber kehidupan sehari-hari.
“Kami memang sering berburu malam hari atau mencari ikan di Kali Tayawi,” ucap Antonius Jumati, Tetua masyarakat Tobelo Dalam Tayawi.
Riset Farida Indriyani (2009) terhadap masyarakat Tobelo Dalam di Tayawi, Halteng dan Haltim menemukan, kehidupan komunitas Tobelo Dalam di Taman Nasional Aketajawe Lolobata terbagi minimal tiga katagori.
Pertama, kelompok yang menetap di desa karena keputusan hidup menetap seperti orang desa. Kedua, kelompok yang memilih hidup berburu meramu di hutan. Ketiga, kelompok yang mengkombinasi kedua katagori sebelumnya yakni ada rumah di desa namun masih sering berburu di hutan.
“Pola pengelolaan sumber alam mengikuti kategori kelompok,” tulis riset itu. Bagi yang menetap di desa bergantung pada hasil perkebunan kelapa (kopra) dan kebun lain. Bagi yang hidup di hutan, masih mengandalkan berburu, meramu untuk kehidupan mereka.
“Terindikasi beberapa kelompok orang Tobelo Dalam berburu dan meramu pada Taman Nasional Aketajawe Lolobata hingga perlu pola pengelolaan taman nasional yang menjunjung tinggi dua nilai utama yakni nilai konservasi ekologis dan nilai hak-hak asasi manusia kelompok minoritas seperti Komunitas Tobelo Dalam,” sebut Farida.
Untuk tempat tinggal, di Tayawi, mereka ada rumah beratap seng dan berdinding papan. Rumah itu milik keluarga Antonius Jumati dan Kepala Suku Mesakh Daromo.
Rumah Antonius berbentuk panggung berukuran kurang lebih 6X8 meter. Ada kamar, dapur dan ruang keluarga. Dinding berupa papan dan atap seng.
Rumah keluarga Meshak merupakan proyek bantuan rumah Dinas Sosial Kota Tidore Kepulauan. Pembangunan rumah tipe ini, kata Mesakh lebih 20 unit pasca konflik komunal 1999.
Sayangnya, proyek tak selesai. Rumah itu hanya dibuat dinding dari papan dan tiang, atap tak ada, akhirnya rusak. “Perumahan lain ada hancur sendiri. Ada juga dirobohkan karena tak selesai dibangun. Kalau rumah saya ini atap saya beli dan bangun sendiri. Badan rumah tak selesai di proyek itu,” katanya.
Selain rumah tetap, sebagian memiliki rumah dalam hutan sebagai tempat singgah atau bivak. Rumah singgah ini dibuat kala berburu di lokasi sangat jauh. Rumah itu juga tanda kekuasaan hingga tak boleh orang lain masuk.
Kala ada kunjungan wisatawan atau peneliti masuk Taman Nasional Ake Tajawe, sering bertemu dan menjalin komunikasi. Meski belum bisa berbahasa Indonesia dan mengandalkan bahasa Tobelo Dalam. Hanya ada satu dua orang bisa berbahasa Indonesia terutama yang hidup menetap.
Taman nasional berkolaborasi dengan warga Tobelo Dalam dalam beberapa kegiatan seperti program penanaman hutan Tayawi. “Penanaman waktu itu sekitar 50.000 bibit. Kami, warga dilibatkan menanam pohon,” kata Antonius.
Keberadaan Tobelo Dalam di Tayawi, terbilang unik karena sudah ada warga luar menikah dengan mereka, seperti keluarga Antonius Jumati.
Antonius warga Desa Sibenpopo Weda Halteng beristrikan warga Tobelo Dalam Ake Jira Halteng dan menetap di Tayawi. Antoinius mulai hidup bersama warga Tobelo Dalam sejak 1985.
Saat ini, dia beranak cucu di hutan Tayawi. Dua anaknya sudah menikah lagi dan hidup di satu dusun di Tayawi. Ada juga keluarga Mesakh menikahi gadis Sidanga Halteng.
Jual batu
Untuk mendapatkan uang selain memanen kelapa, juga mengambil batu di DAS Sungai Tayawi untuk dijual ke perusahaan atau kontraktor. Perusahaan membeli batu warga ketika ada proyek di Tidore Kepulauan atau Halteng.
Sayangnya , warga Tobelo Dalam banyak ditipu perusahaan karena batu dibayar dengan harga sangat murah. Harga batu per kubik biasa Rp500.000-Rp600.000, kadang hanya dibayar Rp50.000.
Walau belum mengenal jelas besaran nilai uang tetapi mereka sadar kena tipu. Mereka tahu hanya warna uang dengan menyebut uang biru (Rp50.000) dan uang merah (Rp100.000).
Belakangan, beberapa dari mereka paham nilai uang. Saya sempat menyaksikan adu mulut antara warga Tobelo Dalam, pengumpul batu dengan salah satu pembeli.
Pembeli batu mau membayar per kubik Rp50.000. Warga Tobelo Dalam meminta Rp100.000. Terjadi perdebatan. Warga bilang, harga itu sesuai penetapan taman nasional Rp100.000.
Warga yang bisa berbahasa Indonesia mengingatkan pembeli batu agar tak berbohong atau menipu. Jika mereka marah bisa berakibat fatal.
“Kalau mereka merasa ditipu bisa mengamuk pakai parang dan tombak. Ini kita kuatir. Kami mengingatkan agar mereka tak dibohongi,” kata Ateng.
Dari penjualan batu, dibelikan kebutuhan hidup. Di rumah keluarga Mesakh, misal, ada tiga motor bahkan ada genzet untuk penerangan. Begitu juga keluarga Antonius, ada genzet berkapasitas 1.000 watt untuk penerangan. Mereka juga pakai alat musik maupun handphone.
Dalam urusan politik, saat pemilihan kepala daerah, warga Tobelo Dalam Tayawi juga mencoblos. Warga yang tersebar di hutan, dikumpulkan dan dibawa ke Desa Koli untuk pencoblosan.
Ada sekitar 70 jiwa ikut Pemilu 2015. Ateng dan Antonius terbilang punya peran penting karena cukup didengar di Suku Tobelo Dalam Tayawi.
Untuk keyakinan, sebagian besar tak lagi beragama nenek moyang (animisme). Sudah ada sebuah gereja di Dusun Tayawi.
Saat Natal Desember 2016, warga Tobelo Dalam Natal bersama. Mereka juga mendapatkan bantuan pakaian dan makanan.
Meskipun begitu, kata Ateng, juga salah satu pemuka agama di Tobelo Dalam Tayawi, sebagian besar mereka belum paham agama yang dianut.
Dalam keseharian, mereka sangat memegang janji. Sekali berjanji dan belum ditepati, selamanya mereka tak percaya lagi.
Antonius mencontohkan, sebagian warga Tobelo Dalam di Hutan Bayruray akan dibawa ke Tayawi dan mendapatkan rumah tinggal. Pembangunan gagal. Sejak itu, warga kembali ke hutan dan tak mau lagi turun ke Tayawi.
Mereka masih bertahan di hutan dengan tinggal di bivak hingga kini. Mereka terus ingat, orang luar selalu membohongi mereka. (Habis)