Susi Pudjiastuti Raih Penghargaan dari AS, Positif atau Negatif?

Mendapat penilaian pro dan kontra dari dalam negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti justru kembali mendapatkan penilaian positif dari luar negeri. Terbaru, Susi mendapatkan penghargaan dari Peter Benchley Ocean Awards untuk kategori Excellence in National Stewardship 2017.

Penghargaan yang diberikan kepada perempuan asal Pangandaran, Jawa Barat itu, seolah menjadi bukti bahwa pengelolaan sektor kelautan dan perikanan di bawah kepemimpinannya sangatlah baik. Apalagi, penghargaan tersebut diberikan, karena Susi dinilai pintar mengurus sektor kelautan dan perikanan.

Dari keterangan resmi yang diterima Mongabay, Selasa (14/2/2017), Susi mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut, karena dinilai agresif dalam melindungi kepentingan ekonomi dan lingkungan kelautan bangsa Indonesia. Salah satu wujudnya, adalah dengan memberantas operasi armada kapal asing yang melakukan pencurian besar-besaran di laut Indonesia.

 

 

“Keberanian Menteri Susi meledakkan dan menenggelamkan lebih dari 200 kapal yang melakukan praktek illegal fishing juga telah berhasil mencegah upaya kejahatan internasional terorganisir yang telah beroperasi di lautan Indonesia bertahun-tahun lamanya,” seperti dikutip dari website Peter Benchley Ocean Awards.

Selain keberanian menenggelamkan kapal, Susi dinilai berhak mendapat penghargaan, karena dia sudah menjadi orang yang berani mengawal kasus hak azasi manusia (HAM) berkaitan dengan praktek perbudakan yang terjadi dalam bisnis perikanan di Indonesia Timur. Kasus tersebut, melibatkan pekerja Indonesia yang bekerja untuk kapal ikan asing (KIA).

“Menteri Susi juga berperan aktif dalam pembebasan awak kapal perikanan yang dijadikan budak di banyak kapal-kapal asing.”

(baca : Pemerintah Bentuk Tim Khusus Tangani Perbudakan di Benjina)

Di antara aksi heroik yang dinilai sangat baik untuk dunia perikanan dan menjadi nilai plus untuk penilaian mendapatkan penghargaan, adalah saat Susi ada di depan memimpin pembebasan hiu paus yang terjebak di sebuah keramba jaring apung (KJA) di Provinsi Maluku. Hiu paus tersebut dimiliki secara ilegal oleh pemilik KJA.

(baca : Hiu Paus Yang Ditangkap Ilegal, Akhirnya Dilepaskan Ke Laut Bebas)

 

Hiu paus (Rhincodon typus) yang ditangkap illegal dilepasliarkan kembali ke laut dari karamba jaring apung milik PT. Air Biru Maluku, di dekat Pulau Kasumba, Maluku. Sebelumnya, aparat menggerebeg tempat tersebut. Foto : Paul Hilton / WCS

 

Tindakan-tindakan seperti itu, dalam penilaian Peter Benchley Ocean Awards, dianggap sebagai penting untuk melindungi ekosistem laut Indonesia yang unik dan terkenal di dunia. Selain itu, kebijakan-kebijakannya juga memberikan manfaat ekonomi dengan mempertahankan mata pencaharian puluhan ribu nelayan Indonesia.

(baca : Indonesia Wajibkan Pelaku Industri Perikanan dan Kelautan Miliki Sertifikat HAM)

Secara resmi, Susi akan mendapat penghargaan tersebut dalam upacara penganugerahan 2017 Peter Benchley Ocean Awards yang akan digelar di Smithsonian’s National Museum of Natural History, Washington DC pada 11 Mei 2017 mendatang. Acara ini bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-10 Peter Benchley Ocean Awards.

Dalam rangkaian acara tersebut, juga akan digelar simposium kepemimpinan laut tingkat tinggi dengan tema Taming the Outlaw Seas yang terbuka untuk umum. Simposium tersebut akan menampilkan cerita-cerita luar biasa dari pahlawan-pahlawan laut di seluruh dunia.

Simposium ini berfokus pada upaya global untuk mengakhiri Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing (IUUF). Pemberantasan IUUF penting untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia, mencegah kepunahan satwa laut dan habitatnya, serta memerangi kejahatan terogranisir seperti perdagangan dan perbudakan manusia, serta penyelundupan narkoba.

 

Nelayan melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan, termasuk ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada akhir November 2015. Foto : Jay Fajar

 

Perjuangan untuk Amerika Serikat

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, saat dimintai tanggapan tentang penghargaan yang diterima Susi Pudjiastuti, menyebut penghargaan tersebut tak lebih sebagai perjuangan Indonesia untuk negara adidaya, Amerika Serikat. Meskipun, kata dia, perjuangan tersebut juga untuk mewujudkan tata kelola perikanan yang bertanggung jawab.

“Penghargaan ini bisa dimaknai karena Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) dianggap berhasil ‘memperjuangkan’ kepentingan Amerika Serikat berkenaan dengan tata kelola perikanan yang bertanggung jawab,” ucap dia.

Karena itu untuk kepentingan luar negeri, Abdul Halim mengingatkan agar Susi bisa terus memperbaiki kinerja hingga menghasilkan kesejahteraan bagi para pelaku usaha perikanan dan kelautan, serta nelayan tradisional, pembudidaya ikan, dan petambak garam.

“MKP tidak boleh jumawa, karena pelaku usaha perikanan dalam negeri masih dihadapkan pada kesusahan,” jelas dia.

(baca : Proyeksi 2017: Pemerintah Indonesia Harus Banyak Berbenah Demi Masyarakat Pesisir)

Dengan tegas, Halim mengatakan, penghargaan yang didapat Susi di dunia internasional, harus segera diimplementasikan di dalam negeri untuk kepentingan masyarakat pesisir yang sebagian besar tinggal di kawasan perbatasan dan pulau-pulau kecil dan terdepan.

“Penghargaan tersebut akan bermakna positif apabila kepentingan nasional dari kacamata masyarakat pesisir juga diperjuangkan,” tutur dia.

Halim kemudian mencontohkan, jika penghargaan tersebut menjadi bukti kinerja MKP yang bagus, maka dia mendesak untuk segera menghentikan praktek privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kemudian,lakukan dengan segera peralihan alat tangkap dan mempercepat solusi bagi 1.200 tenaga kerja di bidang pengolahan ikan lumat atau surimi yang menganggur akibat perusahaan mereka menghentikan aktivitasnya di Rembang, Jawa Tengah.

“Amerika Serikat berkepentingan dengan sumber daya ikan asal Indonesia. Pemberian penghargaan ini mempertegas jalur komunikasi antarkepentingan tersebut. Kegagalan mengantisipasi dampak pasca pelarangan cantrang menunjukkan kelambanan MKP dalam memperjuangkan kepentingan nasional. Jika diberi peringkat 1-10, maka nilainya 6,” pungkas dia.

 

Penangkapan dua kapal asing penangkap ikan ilegal oleh Kapal Pengawas Hiu Macan Tutul 002 di Perairan Teritorial Laut Natuna pada 16 Februari 2015. Foto : Ditjen PSDKP KKP

 

Penilaian Kinerja Susi Pudjiastuti

Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan juga mencatat, sektor perikanan tangkap pada 2016 menoreh catatan buruk. Sektor tersebut mendapat rapor merah, karena ada sejumlah program yang mengalami kendala, di antaranya:

  1. Pengadaan kapal untuk mendukung usaha nelayan yang jumlahnya mencapai 1.719 unit untuk nelayan seluruh Indonesia pada 2017. Target tersebut, dinilai sangat riskan dan berpotensi akan menimbulkan kekacauan serta berpotensi tidak akan terealisasi. Hal itu, karena hingga Desember 2016, jumlah kapal yang dibangun masih sangat sedikit. Sementara, KKP menargetkan pada pertengahan 2017 seluruh kapal sudah dibagikan;
  2. Lambatnya peralihan alat tangkap cantrang yang akan dilarang operasionalnya mulai 1 Januari 2017;
  3. Perizinan kapal lamban, tertutup, dan tidak membangkitkan kemandirian bisnis perikanan skala menengah dan besar;
  4. Terjadinya kriminalisasi terhadap  nelayan/anak buah kapal (ABK)  di  laut akibat pemakaian alat tangkap ikan yang tergolong merusak; dan
  5. Menurunnya jumlah nelayan yang diasuransikan.

Abdul Halim mengatakan, catatan buruk tersebut sangat layak disematkan kepada KKP, karena sejumlah indikatornya belum memenuhi kriteria ideal. Salah satunya, adalah indikator jumlah asuransi nelayan yang ditargetkan sebanyak 1 juta jiwa pada 2016.

(baca : Refleksi 2016 : Rapor Merah Pemerintah di Sektor Kelautan dan Perikanan)

“Namun pada prakteknya, hanya 143.600 polis asuransi nelayan dari 36 provinsi seluruh Indonesia yang berhasil diraih. Ini menandakan bahwa antara janji dengan realitas seperti jauh panggang dari api,” ungkap dia.

Indikator berikutnya, seperti dijabarkan dalam daftar di atas, menurut Halim, adalah kegagalan dalam pengadaan kapal untuk nelayan. Kata dia, pengadaan 1.719 kapal fiber senilai Rp900 miliar terbengkalai dan luput dari jadwal yang ditargetkan hingga akhir Desember 2016.

Padahal, menurut Halim, dengan besaran anggaran tersebut, ditargetkan sebanyak 18 kapal berukuran 30 gros ton (GT), 73 kapal ukuran 20 GT, dan 1.628 kapal ukuran 3-10 GT bisa terbangun. Namun, semua target itu, kata dia, terancam tidak terwujud karena sinkronisasi yang tidak jelas, sementara waktu terus bergerak menuju 2017.

“Kekacauan program pengadaan kapal sudah bisa diprediksi akibat minimnya persiapan. Target pengadaan kapal sangat banyak, tetapi waktu pembuatan kapal mepet. Semula akan dibuat 3.450 kapal bantuan, tetapi kemudian direvisi menjadi 1.719 kapal,” jelas dia.

Lepas dari masalah tersebut, Halim menambahkan, program pengadaan kapal masih akan semrawut. Mengingat, setelah kapal terbangun, akan dilihat sejauh mana kesiapan koperasi penerima dalam mengoperasionalisasikan kapal dan skema permodalan yang dibutuhkan.

“Apabila permasalahan ini tidak diantisipasi, bakal banyak kapal perikanan yang dibiayai APBN ‘menganggur’ dan diparkir di sepanjang garis pantai Tanah Air,” tegas dia mengingatkan KKP.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,