Rachmi Larasati, dari Seni, Lingkungan sampai Isu Masyarakat Adat

Rachmi Diyah Larasati (paling kiri), bersama Dewi Candraningrum, Pimred Jurnal Perempuan (paling kanan) serta para perempuan Sedulur Sikep. Foto: dari Facebook Rachmi D Larasati

 

 

Sore itu, saya ke rumah Rachmi Diyah Larasati, di Bantul, Yogyakarta. Rumah berdinding bata, dengan pohon bambu dan gazebo. Rachmi tampak sedang berkemas. Dia akan kembali ke Minneapolis, Amerika Serikat.

Rachmi mengajar di Universitas Minnesota, AS. Banyak buku sudah dihasilkan perempuan kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur ini, seperti Dancing on the Mass Grave: Culture Reconstruction Post-1965, dan The Dance that Makes You Vanish.

Setahun sekali Profesor bidang Teori Kajian Budaya dan historiography di Jurusan Theatre Arts & Dance, University of Minnesota ini, kembali ke tanah air.

Pulang kampung pada 2016, dia ingin mengenal lebih dekat perjuangan Sedulur Sikep dan perempuan-perempuan di Pegunungan Karst Kendeng yang mempertahankan sumber air, dari ancaman pertambangan pabrik semen.

Rachmi seniman juga akademisi yang berbicara dari soal seni, perempuan, masyarakat adat sampai kelestarian alam. Mongabay berbincang-bincang seputar beragam isu ini. Berikut petikannya.

 

Anda aktif di dunia seni, peduli isu masyarakat adat dan alam. Bisa diceritakan soal ketertarikan pada isu-isu ini?

Saya mulai dari ingatan tentang keadaan rumah. Rumah saya dekat perkebunan tebu, Angkatan Udara (AURI), tembakau dan lain-lain. Tak jauh dari rumah ada semacam danau kecil, namanya Dawuan.

Jadi saya berada di desa yang mengalami banyak perubahan akibat sistem penyewaan lahan tanah ke AURI atau petani yang akhirnya berbalik menyewa ke AURI. Di situ membuat saya belajar betapa keluarga saya dan tetangga seperti sebuah transformasi perubahan gaya hidup. Dari bertani, kehilangan lahan.

Sejak saya suka kecil, pidato dan baca puisi. Saya sering ikut lomba dari desa-desa, baik baca puisi, menari ataupun pidato. Dari belajar baca puisi saya banyak belajar bacaan, dari sana mulai tahu saya suka membaca dan suka menari.

Ketika SMA, di SMA I Malang, di jurusan IPA. Setelah SMA saya pindah ke Jogja, kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI). Saya ambil yang teori, kemudian sering ambil kuliah juga di UGM, di sastra dan hukum. Pasca sarjana saya di UGM di Pengkajian Seni di bawah Fakultas Ilmu Budaya.

Saya masih ingat waktu kecil, misal, sedang bermain tiba-tiba banyak truk membawa tebu dari perkebunan sekitar rumah. Dibawa ke Kebun Agung di Malang. Aku akan lari di belakang truk, istilahnya mbeto tebuh, jadi narik-narik. Biasa saya perempuan sendiri gitu, dari sana saya sering mempelajari apa sebetulnya kebun tebu, kemudian proses peralihan fungsi tanah. Lahan sawah jadi lahan produksi berbeda wujud berupa produksi industri-industri gula.

Skripsi saya didedikasikan ke kajian seni dan ekologi, tetapi waktu itu berada di Madura, Sumenep. Di sana ada kesenian Topeng Dalang. Kesenian ini mengajari saya banyak sekali. Sebetulnya, cerita seperti opera atau dance drama, tapi tentang konsep balance and universe dalam kehidupan dan dipakai untuk ruwatan.

Ruwatan alam pada masyarakat Sumenep, mereka mencari jawaban atas ketimpangan-ketimpangan, misal, panen gagal atau tarikan ikan sedikit. Atau bagaimana pengaturan cuaca, atau berhubungan dengan pembukaan pabrik garam.

Saya belajar, sebetulnya kesenian-kesenian yang berhubungan dengan pemahaman ekologi berubah menjadi kesenian-kesenian hiburan konteks industri.

Yang saya tekuni sampai sekarang, jadi etnografi tentang kehidupan di sekitar saya. Walaupun konstituennya estetika tetapi saya lihat justru estetika yang kemudian patut dicurigai karena bentuk-bentuk seni itu akhirnya melupakan akar fungsi di dalam masyarakat sekitar. Itu yang kemudian menjadi dasar ketertarikan saya pada isu-isu lingkungan.

 

Bagaimana bentuk seni-seni jadi dekat hubungannya dengan lingkungan atau alam?

Sebetulnya kesenian yang kita fokuskan dulu di luar keraton. Konteks kesenian sebuah bentuk perwujudan keindahan di mana keberadaannya selalu berhubungan dengan lingkungan. Karena fungsinya sebuah bentuk perwujudan cita rasa seni yang berkaitan dengan masyarakat agraris atau perikanan.

Pada dasarnya, kesenian rakyat itu membumi. Sebuah simbol seni sebetulnya untuk melindungi bumi itu sendiri. Jadi semacam peringatan-peringatan. Perubahan konstelasi ruang jadi tari-tarian yang membumi jadi sumber peringatan. Lalu dikomodifikasi, didayagunakan kembali untuk jadi kesenian seremonial.

 

Kalau bicara soal perempuan itu tak terpisahkan dengan alam, menurut anda?

Sangat jelas sekali. Tak terpisahkan. Dulu di Sumenep, Madura, jika seorang ibu melahirkan di atas pasir. Secara politik ketubuhan, misal, waktu melahirkan ada semacam serapan-serapan tanah, ada semacam kesinambungan di mana dia duduk. Di mana dia berdiri, tidur, merebah dengan konteks sekitar walau bahasa simbol.

Ke konteks umum, sebetulnya perempuan itu ada semacam rasa. Artinya, bagaimana perempuan itu menundukkan kemampuan mereka menghadapi alam lingkungan dengan keadaan mereka yang berada di putaran konstelasi patriarki.

Secara gender di tradisi,  kita banyak mengenal, misal, pengetahuan seperti bumi, alat-alat atau tumbuhan tentang kesehatan, bumbu-bumbu, itukan secara alam tampak seperti otomatis dihubungkan dengan sisi gender keperempuanan.

Saya pikir,  laki-laki dan perempuan punya kewajiban sama. Hanya karena perempuan lebih dekat dengan alam karena tingkat kedudukan perempuan sendiri itu di tengah masyarakat.

Saya bukan tipe feminis ekologi yang tak melihat bagaimana peran seorang perempuan dengan lingkungan. Misal, pengetahuan tandur atau tanam. Saya masih ingat nenek mengajari kalau benih itu disebar. Lahan disiapkan,  mengalami proses evolusi kelembutan tanah.

 

 

 

Perempuan jarang dilibatkan dalam penentuan kebijakan, apa pendapat anda?

Saya pikir perempuan disitu justru jadi narasumber penting karena ketubuhan secara keilmuan mereka berada dalam ruang yang mampu mendeteksi dan memikirkan kira-kira dampaknya itu bisa masuk akal ngga kalau diterima.

Kalau konteks Kendeng, Yu Sukinah (perempuan Kendeng yang berjuang menolak tambang semen-red),  mengatakan kebutuhan bisa terpenuhi dari lahan pertanian. Berarti sebetulnya kebutuhan sudah terpenuhi tanpa ada moda produksi baru. Moda produksi baru didirikan, hadir untuk kepentingan lain bukan kepentingan masyarakat.

Jadi perempuan harusnya jadi narasumber proses pengetesan kebijakan masuk akal atau tidak.

 

Anda juga melakukan penelitian soal masyarakat adat. Bagaimana menurut Anda masyarakat adat di Indonesia?

Dalam konteks masyarakat adat, sebetulnya tak gampang digolongkan sifatnya karena menggunakan hutan sama, sungai sama, gunung sama, atau bahasa sama. Jadi batas-batas keruangan wilayah mereka, misal, pohon kapo, atau goa, atau makam leluhur.

Konsep peta perhutanan dengan pemahaman wilayah masyarakat adat tentu terjadi perbenturan. Yang satu memakai hukum pengakuan nasional batas tanah, yang lain pakai ingatan nenek moyang seberapa jauh sejarahnya. Sebagai sebuah ruang berpikir, ruang identitas, sangat berbeda maka selalu terjadi perbedaan.

Perhatian saya pada budaya ingatan, budaya tradisi, budaya tarian, atau bagaimana pola kehidupan masyarakat-masyarakat ini kemudian memberi peringatan kepada saya.

Dari situlah saya mulai tertarik melakukan penelitian-penelitian tentang masyarakat adat. Tahun 1994,  saya di Kalimantan, bertepatan dengan festival di Kutai dan Tenggarong. Dari sana saya belajar perbedaan konsep glorification of tradition (pemuliaan tradisi) dengan kebutuhan mereka yang mendasar karena tanah-tanah mereka sudah diambil untuk batubara.

Dari sanalah saya mulai belajar kontradiksi-kontradiksi pemahaman ruang, waktu, dan identitas dalam artian kebutuhan, dalam keseharian dalam konteks sosial masyarakat dan kenegaraan.

Sebetulnya masyarakat adat itu tidak homogen, sangat bervariasi, baik sisi kelas, akses, dan keterikatan dengan gaya hidup. Kalau demi kepentingan perlindungan terhadap kebutuhan akan lahan pangan dan tempat tinggal (masyarakat adat) itu sangat urgen.

Penjagaan kelangsungan hidup (masyarakat adat) yang penting.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,