Bupati Terpilih Diharap Mampu Selesaikan Konflik PTPN XIV Takalar

Pemilihan kepala daerah secara serentak berlangsung di 101 provinsi/kota/kabupaten seluruh Indonesia, termasuk di antaranya di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri bersama masyarakat perwakilan desa Lassang Barat dan Kelurahan Parang Luara kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar mengharap bupati yang terpilih nantinya mampu menyelesaikan konflik PTPN XIV Takalar yang masih terus berlanjut hingga saat ini.

“Siapa pun bupati yang terpilih diharapkan mampu mengambil langka-langkah penyelesaian konflik yang bisa memberikan keadilan bagi masyarakat. Konflik ini sudah lama berlarut-larut dan telah memunculkan korban dan kerugian yang tidak sedikit, utamanya bagi perempuan yang semakin sulit kehidupannya sejak tanah mereka dirampas PTPN,” ungkap Nur Asiah, Ketua SP Anging Mammiri, Selasa (14/02/2017).

 

 

Menurut Nur Asiah, pihaknya akan terus menagih komitmen DPRD Sulsel untuk kembali menindaklanjuti upaya penyelesaikan kasus melalui Pemprov Sulsel dan DPRD Takalar pasca Pilkada Takalar.

“Dan kami juga berharap ke depannya Bupati Takalar terpilih mampu memperjelas status dan titik-titik lokasi HGU PTPN XIV serta mempertimbangkan kondisi masyarakat, terutama perempuan di wilayah PTPN yang semakin sulit kehidupannya sejak PTPN masuk di Takalar,” tambahnya.

(baca : Petani Takalar Kembali Tuntut PTPN XIV, Komisi A DPRD Sulsel Surati Gubernur)

Menurutnya, masyarakat yang sampai hari ini terus memperjuangkan hak atas tanahnya adalah mereka yang tidak sepakat atas sistem kerjasama yang dibangun oleh pihak PTPN XIV melalui koperasi Cinta Damai Sejahtera dengan pihak Kabupaten Takalar di lahan seluas 125 Ha agar dikelola oleh masyarakat untuk ditanami tebu.

“Masyarakat dalam hal ini hanya di jadikan sebagai buruh tani di tanahnya sendiri,“ katanya.

Menurut Nur Asiah, sejak Januari 2017, pihaknya bersama perwakilan perempuan Takalar telah beberapa kali mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional Takalar untuk mempertanyakan dan melihat dokumen Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV untuk konsesi perkebunan di Kabupaten Takalar.

“Ini dalam rangka menindaklanjuti RDPU (rapat dengar pendapat umum) yang difasilitasi oleh Komisi A DPRD Sulsel dan Surat Permohonan Informasi Dokumen HGU PTPN XIV ke BPN Kanwil Propinsi Sulsel dan BPN Takalar yang dikirimkan oleh Solidaritas Perempuan Anging Mammiri,” ujarnya.

 

Seorang warga Takalar memperlihatkan hasil panen dari lahannya yang masih berkonflik dengan PTPN XIV. Pembongkaran paksa atas lahan warga menyebabkan berbagai tanaman yang baru akan memasuki masa panen juga tercabuti secara paksa tanpa ganti rugi. Foto: Wahyu Chandra

 

Selain itu, beberapa langkah telah ditempuh oleh SP Anging Mammiri bersama masyarakat untuk meminta salinan dokumen HGU PTPN XIV, namun pihak BPN Takalar hanya mau memperlihatkan dan tidak memberikan salinan dokumen HGU, sebagaimana disebutkan dalam surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kanwil BPN Sulsel dengan nomor surat 1.900/10-73/XI/2016, tertanggal 24 November 2016, yang baru diketahui SP Anging Mammiri pada 11 Januari 2017 lalu.

Akhirnya, pada 18 Januari 2017, SP Anging Mammiri bersama perwakilan perempuan Takalar mendatangi Kantor BPN Takalar dan diperlihatkan Dokumen HGU PTPN XIV yang berada di Kantor BPN Takalar. Menurut keterangan Abdul Latief, Bagian penerbitan Sertifikat BPN Takalar, sertifikat HGU PTPN XIV terbit tahun 1998,

Nur Asiah menambahkan bahwa untuk HGU PTPN XIV di Desa Lassang (saat ini Lassang Barat) dan Desa Mattompodalle (saat ini Kelurahan Parang Luara) surat ukurnya terbit tahun 1993 dan sertifikatnya terbit tahun 1998 berlaku sampai 2023. Sementara luas lahan di Desa Lassang sesuai dengan HGU PTPN XIV adalah 297,37 Ha dan untuk di Desa Mattompodalle 272,25 Ha.

“Namun di dalam dokumen yang diperlihatkan tidak jelas di mana titik koordinatnya, sehingga belum berhasil memuaskan masyarakat. Selain itu, informasi pihak BPN Takalar mengatakan bahwa HGU PTPN XIV terpisah-pisah dan sebagian bermasalah. BPN juga mengatakan bahwa mereka belum bisa memberikan informasi mengenai luas lahan PTPN XIV berdasarkan sertifikat HGU karena ada beberapa buku tanah itu bermasalah dan di pinjam orang.”

Lebih lanjut menurut keterangan BPN Takalar, tambah Nur Asiah, untuk luas lahan PTPN XIV adalah 6000 Ha namun gabung dengan yang di kabupaten Gowa.

Dari sertifikat HGU yang diperlihatkan, diketahui bahwa HGU baru diterbitkan pada tahun 1998, padahal sejak tahun 1980-an proses pembebasan lahan di lakukan secara paksa oleh pihak perusahaan tanpa ada ganti rugi dan perusahaan telah mulai melakukan aktivitas sejak itu.

“Beberapa kesimpangsiuran informasi mengenai HGU PTPN XIV terutama terkait jangka waktu dan titik lokasi konsesi perkebunan PTPN yang sampai hari ini menjadi salah satu faktor terjadinya konflik,” katanya.

(baca : Nasib Petani Polobangkeng, Inilah Aksi Ketua Dewan, dan TNI/Polri Kala Bela PTPN XIV)

 

Salah satu aksi yang dilakukan oleh SP Anging Mamiri menuntut keadilan bagi petani Takalar pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia beberapa waktu lalu. Foto: Wahyu Chandra

 

Belum ada penyelesaian sejak 2007

Konflik antara warga dengan PTPN XIV pertama kali muncul pada tahun 2007, saat sekitar 723 keluarga petani di sembilan desa di Kecamatan Polongbangkeng Takalar, menuntut perusahaan mengembalikan tanah petani yang dikuasai pemerintah sejak 1982, sekitar 4.500 hektar.

Tuntutan petani cukup beralasan, karena penguasaan lahan PTPN berdasar pada hak guna usaha (HGU) selama 25 tahun berakhir 2004. Kenyataan, lahan ini tak juga diberikan kepada warga, pemilik lahan sejak awal. Warga mengaku tidak ingin memperpanjang kontrak karena nilai sangat rendah.

Keberatan warga sebenarnya berangkat dari adanya ketidakjelasan janji PTPN untuk mengembalikan tanah warga setelah 25 tahun dikelola melalui Hak Guna Usaha (HGU). Setelah batas waktu 25 tahun ini, tanah warga tidak dikembalikan. Bahkan kemudian terdengar kabar bahwa HGU itu telah diperpanjang secara sepihak dari perusahaan dan pemerintah.

Pada 9 Agustus 2009, bentrokan kembali terjadi, bahkan lebih parah. Tahun 2009, kepolisian mulai menurunkan brimob menghadapi protes warga. Selain menembakkan gas air mata, juga peluru karet, mengakibatkan enam warga terluka dan 17 orang ditahan dan diadili di pengadilan. Pasca bentrok ini, aparat pun dinilai banyak intimidasi, teror, dan sweeping warga serta meminta tak lagi menuntut PTPN XIV.

Aksi penembakan aparat kepolisian terhadap warga Takalar terkait sengketa lahan dengan PTPN XIV bukanlah kali pertama. Sebelumnya, pada Oktober 2008, terjadi aksi serupa oleh aparat Polres Takalar.

(baca : Konflik Petani Takalar-PTPN XIV Memanas, Brimob Tembaki Warga)

Sejumlah lembaga non pemerintah di Makassar dan Serikat Tani Polongbangkeng pun pernah mengajukan protes atas keberadaan Brimob di PTPN XIV kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kehadiran Brimob dinilai hanya memperuncing suasana. Atas protes itu, Kompolnas sudah memberikan rekomendasi penarikan sesuai tuntutan warga. Namun tetap saja Brimob masih berjaga-jaga di lokasi itu.

 

Para petani berhadap-hadapan dengan tentara, polisi dan perusahaan didukung ‘wakil rakyat’ daerah itu. Foto: Eko Rusdianto

 

Pada akhir Juni 2013, kondisi kembali memanas ketika PTPN menempatkan Brimob guna mengamankan proses pengolahan lahan sengketa yang menyulut protes warga. Padahal, sesuai perjanjian yang dibuat dalam pertemuan di Kapolres Takalar, menyebutkan, PTPN dilarang mengelola lahan yang diklaim milik warga sampai ada penyelesaian kasus.

Konflik berlanjut pada 2 Desember 2013 ketika terjadi bentrok antara warga dengan Brimob. Akibatnya, seorang warga, Yunus Daeng Empo, mendapat hadiah timah panas di paha kanan.

Pada 9 April 2015, pihak PTPN XIV melakukan pembongkaran paksa lahan pertanian warga di Kelurahan Parangluara. Aktivitas berlangsung hingga dini hari ini dijaga ketat belasan Brimob Polda Sulselbar. Tak ada warga boleh mendekat selama operasi ini.

(baca : Kerahkan Brimob, PTPN XIV Takalar Ratakan Lahan Pertanian Warga)

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,