Liputan Bau Nyale : Puluhan Ribu Warga ke Laut, Mencari Cacing Laut Jelmaan Putri

Selama dua hari, puluhan ribu warga sekitar dan pengunjung memenuhi perairan kawasan Kuta dan Pantai Seger, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat pada 16-17 Februari. Mereka napak tilas kisah legenda Putri Mandalika yang diyakini jelmaan nyale atau cacing-cacing laut yang hanya muncul pada bulan kesepuluh penanggalan Sasak, suku asli di Lombok.

Munarsi, anak-anak, suami, dan kerabatnya adalah salah satu keluarga yang menginap di pantai untuk tradisi ini. Berselimutkan kain, anak-anak tertidur dini hari saat ribuan orang mulai masuk ke pesisir laut. Namun tak sedikit anak-anak lain yang terjaga dan berbaur dengan orang dewasa membawa ember atau wadah lain, caruk (saringan ikan), dan senter.

“Kami menginap di sini bersama saudara, anak-anak ingin menonton bau nyale,” Munarsi memeluk anaknya yang kedinginan setelah tidur berteman bintang dan udara laut Pantai Seger.Di sampingnya ada banyak keluarga lain tidur beralaskan tikar dan pasir. Mereka berderet-deret di sela-sela batu besar licin berselimutkan butiran pasir sebesar merica. Bau (menangkap) Nyale menyatukan para keluarga dari sejumlah desa di Lombok Tengah dan sekitarnya ini.

 

 

Pesisir pantai Seger, pusat pencarian nyale penuh dengan manusia. Mereka bahkan memberanikan diri masuk sampai sekitar 10 meter dari pantai, persis batas ombak yang menampar-nampar karang.Tiap kali ombak menerjang, mereka berteriak kegirangan.

Sebagian lain memilih berendam sampai kaki dan paha. Mereka dengan sabar menajamkan mata, mengarahkan senter ke karang dan air laut menemukan cacing yang naik ke permukaan. Ada yang berwarna hijau, cokelat, kehitaman, dan merah. Panjangnya beragam, dari 2-30 sentimeter.

Saat mentari mulai menebar warna keemasan di ufuk Timur, air makin surut dan karang makin terlihat. Anak-anak gembira, yang baru terjaga langsung bergabung di kerumunan untuk menarik cacing-cacing dari lubang karang. Tanpa ditarik, nyale-nyale ini akan keluar dengan sendirinya. Lalu mencari air untuk berenang.Sebagian menempel di bulu babi yang sangat banyak berlindung di bongkahan karang.

Ketika disentuh, cacing ini licin agak berminyak. Dari tubuhnya keluar lendir keputihan. Sangat mudah terpotong jika ditarik. Anak-anak berteriak riang ketika berhasil menarik seekor nyale yang sedang bergeliat-geliat di karang. Ada yang beradu siapa yang bisa mendapatkan nyale terpanjang.

Kegembiraan ini terlihat di penjuru. Anak muda berteriak bahasa Sasak yang dianggap jorok karena terkait alat kelamin, namun ditanggapi dengan tawa warga lainnya.“Itu bahasa Sasak, saya tidak enak bilangnya, jorok. Ada kaitannya dengan kemaluan putri,” Jumadi, salah seorang anak muda dari Lombok Tengah tertawa.

 

Salah satu nyale terbanyak berwarna hijau di Pantai Seger, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat . Warga menarik nyale ini dari karang, lalu diolah menjadi sejumlah masakan. Foto Luh De Suriyani

 

Ia mengatakan tradisi Bau Nyale ini adalah ketika kesenangan dan kebahagiaan jadi satu. “Kami menumpahkan semuanya di laut. Senang dan sedih. Setelah ini semuanya harus dimulai dari awal lagi,” Jumadi berfilosofi. Pria murah senyum ini meyakini kehadiran puluhan ribu orang untuk merasakan kasih sang Putri Mandalika yang berkorban untuk perdamaian negerinya.

“Ia tidak memilih pangeran yang akan berperang untuk memperebutkan dirinya. Ia ingin semua rakyatnya merasakan kasihnya,” serunya.Jumadi meyakini dengan menjadi nyale adalah bukti Puti Mandalika ingin rakyatnya merasakan kebahagiaan dengan menangkap nyale-nyale ini selama dua hari dalam satu tahun. Nyale ini diyakini jelmaan sang putri.

Puti Mandalika yang sedang berlari untuk terjun ke laut dan coba dihentikan tiga pangeran ini juga tervisualisasikan dalam patung di kawasan pantai Seger dan Kuta Mandalika. Dibangun di dekat aliran air laut yang membelah bebukitan.

Kearifan lokal dalam penentuan penanggalan Sasak ini cukup cermat menebak kapan jutaan nyale ini muncul tiap tahunnya. Masa cacing laut ini melakukan peminjahan massal sehingga muncul bersamaan. “Para tetua adat biasanya rapat menentukan waktu Bau Nyale,” ujar Mamiq Sugatrah, anak seorang tetua adat di Desa Rembitan.

Selain enak diolah sebagai masakan, nyale ketika baru ditangkap pertama kalinya ditaruh di dahi untuk sugesti cantik dan ganteng.“Semacam pelaris lah,” pria yang bekerja sebagai petugas keamanan di kawasan Kuta Mandalika.

 

Cacing laut betina disebut berwarna hijau dan jantan cokelat kehitaman. Mereka keluar dari karang lalu memijah massal di Pantai Seger, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Foto Luh De Suriyani

 

Festival Bau Nyale

Tradisi Bau Nyale yang sudah dijalankan sejak warga Sasak mengenal legenda Putri Mandalika ini dikomodifikasi pemerintah kabupaten dan pusat menjadi festival, atraksi wisata yang diagendakan dengan sejumlah panggung hiburan dan lomba-lomba.

“Sebagai tradisi ada sejak kapan masyarakat Sasak lahir karena terikat legenda cerita yang ada di kawasan itu, mereka yakini sebagai bagian dari kehidupan mereka. Sejak masyarakat tahu,” ujar Lalu Mohammad Faozal, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB.

Sementara dirangkaikan sebagai festival dengan tambahan event hiburan dan atraksi budaya lain disebut tahun 2017 penyelenggaraan ke-11. “Bagian dari upaya menjadikan legenda ritual jadi aktivitas pariwisata, dikemas layaknya event. Hadir atau tidaknya festival, aktivitas Bau Nyale pasti dihadiri masyarakatnya. Ini di destinasi pariwisata mempunyai potensi luar biasa menjadi event layaknya festival,” jelasnya.

Beberapa panggung dibuat megah di kawasan Pantai Seger. Puluhan kios pedagang musiman muncul seiring kebutuhan pengunjung akan hiburan tambahan, makanan, dan minuman. Sejumlah lomba tahun ini di antaranya lomba surfing, voli pantai, pemilihan Putri Mandalika, parade budaya, dan lainnya.

Baliho-baliho besar Festival Bau Nyale dipasang di sejumlah titik jalan raya dan bandara.Faozal mengatakan Bau Nyale berdampak pada peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik.Ia memperkirakan dihadiri ratusan ribu orang jika dikalkulasi 3-4 hari. Yang bisa diukur misalnya hotel penuh, dan perputaran ekonomi dari transaksi jual beli yang diperkirakan Rp5-7 miliar.

 

Kelompok fotografer menunggu terbitnya mentari dengan latar belakang ribuan orang mencari nyale di Pantai Seger, Lombok Tengah, NTB. Foto Luh De Suriyani

 

Jumlah wisatawan mancanegara saja menurutnya sekitar 1000-1500 orang. Belum lagi domestik yang melalui 5 pintu masuk seperti bandar udara, pelabuhan laut dari Gili dan kapal Ferry dari Padangbai, Bali. Lokasi acara berstatus kawasan ekonomi khusus, Mandalika Resort.

 

Habis Bau Nyale, Terbitlah Sampah

Sebagai perhelatan tradisi, Bau Nyale adalah salah satu peristiwa yang mendatangkan warga dalam jumlah besar.Mungkin puluhan ribu orang per hari berduyun ke laut, sebagian besar warga setempat dan sisanya pengunjung yang ingin merasakan kegembiraan menangkap cacing laut aneka warna ini.

Untungnya lokasi pelaksanaan sangat luas, ada banyak pintu masuk untuk warga.Mereka mendirikan tenda di bebukitan, pantai, dan pinggir pantai. Laut dan gunung ini  sayangnya tercemar sampah sesaat setelah perburuan nyale usai. Titik-titik manusia tergantikan hamparan sampah terutama anorganik seperti botol minuman, kresek, kemasan makanan, dan lainnya.

Aneka sampah berhamburan di atas bukit, di sela-sela tenda dan warga yang tertidur.Tradisi yang mendekatkan masyarakat dengan alam, belum mampu menumbuhkan kesadaran menvintai alam.

“Tergantung orang dan tanggungjawabnya,” ujar Ojik, salah seorang pemuda yang menghabiskan malam untuk Bau Nyale ini.Ia duduk di atas bukit yang penuh sampah termasuk di sekitar tenda-tenda yang menghadap laut.

Sementara Tutik, salah seorang pemilik warung yang tiap hari berjualan di Pantai Seger menyebut petugas kebersihan biasanya akan mengumpulkan sampah selama beberapa hari karena saking banyaknya. Tong sampah terlihat ada di beberapa titik tapi tak cukup banyak. Tapi sejumlah tong sampah juga terlihat terisi sebagian saja. Apakah penyelenggara festival akan berusaha mendidik warga untuk menghargai laut dan alam sekitarnya di perhelatan mendatang?

 

Tenda-tenda kemping memenuhi bebukitan dan pinggir pantai Seger, Lombok Tengah, NTB. Tradisi Bau Nyale mendorong ratusan ribu warga ke laut. Foto Luh De Suriyani

 

Soal sampah, Kadisbudar NTB Lalu M. Faozal mengaku pihaknya sudah memberi perhatian karena syarat yang diajukan ke event organizer adalah adanya proposal manajemen sampah.“Kami tak mau sampah menumpuk, menggunung,” katanya.

Selain itu, dalam 2 tahun terakhir pihaknya mendorong pedagang kaki lima juga mengangkut sampah dengan membagikan 2 karung wadah sampah dan bisa ditukar dengan merchandise seperti kaos. Namun ia mengakui tak mudah menyadarkan pengunjung. “Di semua event di republik ini, ada kendala seperti ini,” tambahnya menjawab Mongabay soal apakah perlu mengedukasi warga tidak membuang sampah sembarangan.

 

Usai Bau Nyale, terbitlah sampah. Warga belum mengantongi sampahnya yang mengotori bebukitan, sawah, dan pantai di kawasan Pantai Seger, Lombok Tengah, NTB. Foto Luh De Suriyani

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,