Buku Membangun Jembatan, Cerita Masa ke Masa Erna Witoelar

 

 

Erna Witoelar: Membangun Jembatan. Begitu judul buku elektronik yang baru-baru ini rilis di Jakarta. Buku ini bercerita kiprah Erna dari aktivis kampus, organisasi non-pemerintah hingga menduduki posisi tinggi di kursi pemerintahan.

Perempuan kelahiran 6 Februari 1947 ini salah satu pendiri Walhi, organisasi lingkungan tertua di Indonesia. Dia juga pernah menjadi Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah era Presiden Abdurahman Wahid.

Kemampuan perempuan bernama lengkap Erna Anastasia Waliono ini juga diakui dunia internasional. Dia pernah menjadi Duta Besar Khusus PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) di Asia Pasifik.

”Saya ketendang-tendang jadi sesuatu. Saya tak pernah melamar pekerjaan,” katanya, pagi itu.

Bahkan ada sebuah kesempatan dia menekuni beberapa organisasi dalam satu waktu. Hal ini pula yang sering terlihat Erna sering loncat dari satu tempat ke tempat lain dalam satu waktu.

Tak heran, dalam satu minggu dia bisa berpindah-pindah seperti tahun lalu, dalam sepekan dari Jakarta, Filipina, Pontianak, kemudian loncat ke Marrakesh, Maroko, menghadiri konferensi para pihak ke-22.

Buku inipun menceritakan debut Erna berawal dari aktivis mahasiswa saat berkuliah di Institut Teknologi Bandung,  pendiri Walhi, pernah di  Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Yayasan Kehati), Dana Mitra Lingkungan (DML). Aktif juga di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Presiden Konsumen Internasional Kepedulian, serta Asia Pasific Philanthrophy Consortium (APPC).

Perjalanan Erna bukan mulus tanpa hambatan. Dia bilang, banyak batu terjal. ”Dahulu banyak yang mem-bully saat mulai melangkah, sampai akhirnya orang mengakui keberadaan Erna,” katanya.

Pencapaian ini diharapkan jadi semangat generasi muda kini. ”Anak muda jangan takut jadi pemimpin, jangan takut dibilang ambisius.”

Sikap dalam diri Erna tak lepas dukungan dari orang sekitar, yakni, sang suami, Rachmat Witoelar dan ketiga anak. ”Mereka jadi teman diskusi dan pendukung saya.”

Dia melihat perjalanan ini bak jembatan dan diabadikan dalam buku setebal 256 halaman di hari ulang tahun Erna ke-70.

 

Semua lini kebijakan

Totalitas Erna terlihat dari kepedulian terhadap lingkungan dan sesama. Setiap pekerjaan, dia mengutamakan kepekaan dan peduli.

Kala mendirikan Walhi 1980 dan menjabat direktur eksekutif sampai 1986, dia sudah melihat masalah kebijakan pemerintah seringkali terhambat. Mengapa? Dia menilai pendekatan holistik dalam pemecahan masalah kurang.

“Perlu ada pengkaitan satu unsur dengan yang lain. Bicara ekonomi, tak dikaitkan dengan lingkungan, ekonomi dan sosial.  Bagaimana mau membangun terpadu dan berkelanjutan?”

Melihat permasalahan holistik, katanya, jadi kunci meretas kemiskinan. Sampai kinipun, dia melihat sistem pemerintah Indonesia masih sulit menerapkan melihat masalah secara keseluruhan.”Kita masih terkotak-kotak.”

Hambatan ini kini juga menerpa organisasi non pemerintah. “Teman-teman LSM (lembaga swadaya masyarakat-red) harus berbekal data kuat, terus mengingatkan pemerintah, misal, terkait isu lingkungan atau kepentingan orang banyak. Dengan data, ini kunci meyakinkan pemerintah.”

Jadi LSM, katanya, diri pribadi harus beres dulu. “Jangan teriak-teriak anti korupsi kalau diri sendiri korupsi.”

Posisi LSM kini, saatnya mengadvokasi permasalahan, bukan hanya sarana menyerang pemerintahan.

LSM memiliki waktu lebih panjang dalam masa pemerintahan dibandingkan pemerintah itu sendiri.

Menurut Erna, organisasi non pemerintah bisa jadi penyambung mengabarkan masalah-masalah sebelum dan sesudah pejabat baru.

”Jangan takut protes yang salah berdasarkan kebenaran ilmiah. Hajar saja, tidak usah ragu.”

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,