Model Keseimbangan Pengelolaan Gambut Ini Bisa Diterapkan di Sumatera Selatan

 

 

Melaksanakan restorasi lahan gambut yang terdegradasi di Indonesia tidak lah semudah yang diperkirakan. Sebab saat ini, sebagian besar lahan gambut di Indonesia sudah dikelola oleh pelaku usaha, masyarakat, dan pemerintah yang melakukan pembangunan infrastruktur dan lainnya. Lalu, model seperti apa yang mampu menjaga keseimbangan pengelolaan gambut sehingga terhindar dari kerusakan, seperti kebakaran dan perambahan hutan?

“Ternyata, model 3R kemungkinan besar dapat diterapkan di Sumatera Selatan,” kata Dr. Syafrul Yunardy, Ketua Forum DAS (Daerah Aliran Sungai) Sumatera Selatan, seusai focus group discussion (FGD) Manajemen Terpadu Lahan Gambut Melalui Pendekatan 3R yang diselenggarakan Forum DAS Sumsel, di Palembang, Jumat (24/02/2017).

Apa itu 3R? Yakni restorasi hidrologi, revegetasi, dan revitalisasi penghidupan masyarakat.

 

Baca: Indonesia Butuh Badan Pengelola Lansekap. Apa Keuntungannya?

 

Dijelaskan Syafrul, restorasi hidrologi merupakan pembenahan sistem hidrologi, termasuk membenahi kanal-kanal yang sudah ada. Kanal yang disekat akan berfungsi seperti embung, sehingga tidak perlu dibuat embung di lahan gambut. Apabila kanal terisi, air juga akan mengisi lahan. Kondisi lahan yang kembali basah (menaikkan tinggi muka air, mendekati permukaan gambut) akan mendorong suksesi alami ini.

Revegetasi dapat dilakukan dengan empat siasat, antara lain identifikasi karakteristik lahan, revegetasi lahan gambut yang tergenang pada musim hujan, revegetasi kondisi hidrologi belum terganggu, juga revegetasi pada lahan tidak pernah tergenang.

Sementara revitalisasi penghidupan masyarakat adalah penghidupan masyarakat di suatu KHG (Kawasan Hidrologis Gambut) yang diarahkan pada dua sasaran sekaligus. Yaitu, zona agro-ekosistem dan zona ekosistem-sisa.

“Bagi masing-masing ekosistem harus ada arahan khusus agar setiap upaya pencarian nafkah agar warga tidak merusak potensi ekosistem yang masih tersimpan. Pada areal peruntukan agro-ekosistem ini ada siasat minimalisasi risiko, dan ada kearifan lokal pada pemanfaatan ekosistem sisa.

Model 3R ini beranjak dari pehamanan gambut sebagai hubungan antar-komponen ekosistem gambut, penyebab utama dan dampak degradasi ekosistem gambut seperti kebakaran, drainase, konversi, eksploitasi, serta tingkat kerusakannya.

Juga, memilih prioritas restorasi sesuai dengan faktor utama penyebab degradasi gambut, memahami kondisi sosial ekonomi masyarakat di lahan gambut, serta mencegah terjadinya kerusakan kembali pasca-restorasi.

 

Lahan hutan gambut yang masih baik di Kalimantan. Foto: Rhett Butler

 

Delapan kesepahaman

Guna mewujudkan 3R tersebut, peserta FGD yang terdiri dari sejumlah NGO, perwakilan masyarakat dan pelaku usaha, serta perwakilan Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumsel dan BRG menyatakan delapan poin penting.

Pertama, perlu konsistensi, kejelasan aturan pengelolaan HTI di lahan gambut, dan jaminan kelangsungan berusaha sektor kehutanan yang merupakan investasi jangka panjang sampai dengan berakhirnya masa konsesi.

Kedua, kunci pengelolaan lahan gambut lestari di HTI adalah manajemen tata air yang tepat. Pada lahan gambut yang telah dibebani izin diusulkan kegiatan rehabilitasi lahan dengan jenis tanaman adaptif gambut pada kawasan lindung dan jenis tanaman pokok HTI untuk areal produksi yang didukung dengan tata kelola air yang baik. Ketiga, pengaturan tinggi muka air merupakan faktor penting dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut.

Keempat, kegiatan rewetting dilakukan selain sebagai kegiatan restorasi hidrologi (R1), juga merupakan aktivitas perhidupan masyarakat (R3).  Revegetasi (R2) juga dapat dilakukan dengan partisipasi masyarakat, dengan jenis lokal yang adaptif dan menghasilkan HHBK (R3).  Revitalisasi sumber penghidupan (R3) dilakukan bersamaan dengan R1, R2 dan ada usaha pengolahan hasil (pemberian nilai tambah).

 

Kanal di lahan gambut. Kanal digunakan untuk mengubah bentang gambut dari ekosistem lahan basah menjadi kering. Foto: Rhett Butler

 

Kelima, model pengelolaan gambut berbasis lansekap merupakan  bentuk kemitraan publik-swasta-masyarakat dalam mendorong multi-fungsi dan multi-benefit dari pengelolaan gambut yang menyelaraskan tujuan produksi, konservasi dan penghidupan masyarakat.

Keenam, pilihan pendekatan restorasi 3R, dalam pelaksanaannya ditentukan oleh data dan informasi biofisik dan sosial ekonomi sebagai acuan. Antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya bisa jadi terdapat perbedaan tahapan dan pendekatan, diantara ketiga R dapat dilakukan bertahap atau simultan. Ketujuh, perlu komitmen dan kontribusi aktif para pihak terkait dengan kegiatan restorasi gambut serta penegakan hukum agar tujuan restorasi dapat dicapai.

Terakhir, regulasi yang dikeluarkan semestinya selaras dan mendukung model pengelolaan gambut berkelanjutan untuk budidaya, konservasi, dan sosial-ekonomi. Setelah terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang besar pada tahun 1997/1998 maka diperlukan konsep, model, dan strategi baru terhadap lahan gambut yang telah terbakar di masa lalu agar tercapai keseimbangan baru dalam pengelolaan lahan gambut yang memenuhi prinsip-prinsip lestari atau berkelanjutan.

Sebelum melakukan FGD, Forum DAS Sumsel melakukan penelitian ke empat wilayah pengelolaan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, yakni di pengelolaan gambut oleh masyarakat, perkebunan sawit, kawasan konservasi dan hutan tanaman industri (HTI).

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,