Akhirnya, Merak Hijau dan Ular Sanca Itu Kembali ke Habitatnya

 

 

Centre for Orangutan Protection (COP) bersama Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta (YKAY) dan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), melepasliarkan sejumlah satwa ke Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur, Minggu (19/2/17).

Satwa yang dilepasliarkan tersebut, 9 individu merak jawa (Pavo muticus muticus) atau biasa disebut merak hijau (terdiri 6 jantan dan 3 betina), serta 3 ular sanca bodo (Python molurus). Semuanya merupakan hasil serahan masyarakat dan sitaan perdagangan satwa medio Februari 2016 di Bantul, yang telah diputus perkaranya oleh pengadilan.

Seluruh satwa itu menjalani rehabilitasi di WRC Yogyakarta, milik Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta (YKAY). “Totalnya 13 individu, terdiri 10 merak jawa, dan 3 ular sanca bodo. Hanya saja, satu individu merak tidak jadi dirilis karena kondisinya belum siap,” tutur drh. Randy Kusuma, Manager Konservasi YKAY.

Dari penyitaan yang dilakukan sebelumnya, terdapat 14 individu merak, namun 4 individu tidak dapat diselamatkan meski telah dilakukan upaya perawatan. Saat disita, rata-rata usianya 2 minggu, dengan ukuran sekepal tangan orang dewasa. “Lingkungan di pedagang tidak baik, berdampak pada kesehatan satwa,” ujar Randy.

 

Sebanyak 9 individu merak hijau ini dilepasliarkan di Taman Nasional Baluran, setelah menjalani masa habituasi selama tiga hari. Foto: COP

 

Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Yogyakarta, Untung Suripto mengatakan, perburuan dan perdagangan satwa liar merupakan tindak keajahatan yang merugikan negara. Terlebih, merak hijau dan sanca bodo merupakan satwa dilindungi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

“Langkah ini merupakan upaya penegakan hukum yang diharapkan menimbulkan efek jera sekaligus melindungi kehidupan satwa di habitat aslinya.”

Action Coordinator Centre for Orangutan Protection (COP), Daniek Hendarto mengatakan, pelepasliaran ini merupakan upaya yang baik di habitat aslinya, setelah tiga hari menjalani habituasi di Taman Nasional Baluran. “Taman Nasional Baluran dipilih karena merupakan habitatnya merak jawa dan ular sanca. Pihak taman nasional juga membuka pintu sebagai tempat pelepasliaran satwa.”

Pelepasliaran merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan satwa dan populasinya di habitat asli. Masyarakat juga diharapkan tidak lagi berburu satwa liar, terlebih memperdagangkannya. Pelaku yang melanggar UU Nomor 5 tahun 1990 diancam penjara 10 tahun atau denda hingga 200 juta Rupiah. “Satwa liar bukan binatang peliharaan,” papar Daniek.

 

Pelepasliaran merak ini dilakukan di Taman Nasional Baluran sebagai habitat aslinya. Foto: COP

 

Pengawasan kawasan

Kepala Seksi Wilayah I Bekol, Taman Nasional Baluran, Supriyanto mengatakan, monitoring terhadap satwa yang dilepasliarkan di Taman Nasional Baluran terus dilakukan. “Hingga hari ke tiga pemantauan bersama teman-teman YKAY, sudah tidak ditemukan lagi, artinya seluruh satwa sudah beradaptasi di alam.”

Staf Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Taman Nasional Baluran, Swiss Winnasis mengatakan, merak jawa di Taman Nasional Baluran secara umum dalam kondisi stabil. Survei yang pernah dilakukan pada 2012 menunjukkan, populasinya berkisar 1.900 – 2.200 individu di seluruh kawasan Baluran. “Merak memiliki daya tahan tubuh yang jauh lebih kuat dari burung umumnya, bisa makan apa saja. Individu yang baru masuk tidak berpengaruh dengan yang sudah ada sekarang.”

Penyebaran merak di Taman nasional Baluran terdapat di seluruh kawasan, bahkan ada di pinggiran kampung. Di sekitar pegunungan, merak tersebar hingga di ketinggian 600 – 700 meter di atas permukaan laut (m dpl) yang topografinya banyak dataran. ““Di atas ketinggian itu, tidak ada karena topografinya terlalu curam.”

 

Ular sanca bodo yang juga dilepasliarkan di Taman Nasional Baluran. Foto: COP

 

Pelepasliaran merak di Taman Nasional Baluran merupakan upaya penambahan populasi satwa di habitat aslinya, sehingga akan menambah jumlah indukan maupun pejantan. Hal ini dapat dibuktikan dengan mudah ditemukannya merak di sepanjang jalan maupun savana. “Jantan tidak akan ada masalah perebutan ruang, survive di alam karena banyak pakan.”

Populasi merak, kata Swiss Winnasis, masih terancam perburuan liar karena kawasan taman nasional yang terbuka, selain ancaman predator pemangsa seperti ular. Meski saat ini masih ditemui masyarakat yang berburu di kawasan, namun tidak sebanyak sebelumnya karena pihak taman nasional terus melakukan pengawasan dan penjagaan. “Ancaman perburuan itu pada  anakannya. Kalau dewasa, tidak banyak yang berani karena gampang terdeteksi.”

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur, Ayu Dewi Utari, mengapresiasi pelepasliaran merak dan sanca bodo tersebut yang diharapkan dapat berkembang biak. “Keamanan di habitat asli juga lebih terjaga.”

BKSDA Jawa Timur terus melakukan edukasi dan sosialisasi agar masyarakat tidak lagi berburu satwa liar. Dihapakan, masyarakat membantu mengamankan dan menjaga kawasan dari pemburu maupun pembalak liar. “Tidak hanya masyarakat sekitar, kami juga ke sekolah-sekolah, mulai SD hingga perguruan tinggi. Dengan begitu, pengenalan mengenai satwa dilindungi diketahui segala unsur lapisan warga,” pungkas Ayu.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,