Konflik PLTA Seko: Mau Dialog Malah Ditangkap, Warga Ajukan Praperadilan

 

 

Amisandi (39), menyepakati ajakan perusahaan berunding di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Sabtu 7 Januari 2017, dari Desa Tana Makaleang, Seko, dia berkendara roda dua. Menembus jalan berlumpur.

Di Sabbang, sekitar 20 kilometer dari Masamba, Amisandi mengunjungi keluarga. Di tempat itulah, dia leluasa meregangkan badan yang terguncang selama perjalanan. Tak disangka, pada 9 Januari menjelang sore–sekitar pukul 14.00 – beberapa anggota kepolisan dari Polres Masamba menangkapnya.

Hari itu, Amisandi resmi menghuni jeruji besi. Dia kebingungan. “Kita itu mau datang berdialog tapi ditangkap,” katanya beberapa waktu lalu.

 

Baca juga: Buntut Menolak PLTA, Warga Adat Seko Mendekam di Balik Jeruji

 

Selama 48 hari menghuni sel tahanan, Amisandi melalui kuasa hukum Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat (PPMAN) mengajukan praperadilan. Dalam surat permohonan praperadilan, dinyatakan penangkapan Amisandi tak berdasar aturan.

“Bayangkan, perusahaan mengajukan laporan ke kepolisian pada 9 Januari sekitar pukul 11.00 dan sekitar pukul 14.00 penangkapan,” kata Nasrum, tim kuasa hukum PPMAN.

“Jadi kepolisian Luwu Utara ini sangat profesional. Cepat sekali menjadikan orang tersangka. Hanya sekian jam.”

Penangkapan inilah yang dianggap PPMAN sebagai upaya kriminalisasi masyarakat adat Seko. “Ada tindakan represif oleh aparat. Atas dasar laporan perusahaan yang menyatakan ada ancaman, langsung ditangkap. Apakah semua bukti sudah tersedia?”

“Setelah ada laporan. Harus ada penyelidikan. Mengumpulkan saksi dan alat bukti. Lalu diterbitkan sprindik (surat perintah penyidikan). Nah, sprindik ini tidak ada,” kata Fadly, juga kuasa hukum PPMAN.

 

Baca juga: Kala Protes PLTA, Belasan Warga Seko Ditangkap

 

Penangkapan Amisandi, dalam laporan kepolisian nomor LPB/08/I/2017/SPKT tertanggal 9 Januari 2017, dinilai melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kemerdekaan orang yang diatur dalam Pasal 335 KUHPidana.

Bagaimana laporan ini bisa muncul? Mari menilik ke belakang. Pada Agustus 2016, masyarakat yang menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) PT Seko Power Prima di badan Sungai Betue unjuk rasa.

Ratusan warga, berjalan kaki dari Desa Tana Makaleang menuju wilayah Ratte tempat rencana rumah turbin dibangun. Warga meminta perusahaan menghentikan segala kegiatan. Beberapa alat perusahaan diangkut dan disatukan. Tenda basecamp dirobohkan. Pada Okotber 13 orang ditangkap Polres Masamba.

Saat ini, 13 orang, sedang masa persidangan. “Jadi waktu itu, kami meminta perusahaan berhenti. Karena mereka juga masuk tanpa ada konfirmasi dan pemberitahuan pada masyarakat,” kata Andri Karyo, beberapa waktu lalu ketika saya menemui di sela persidangan PN Masamba.

Penolakan warga atas PLTA, berdasarkan atas hilangnya beberapa lahan dan ancaman keselamatan jalur pipa penyalur air dari DAM ke rumah turbin sepanjang 18 km. Pipa penghantar air ini melewati beberapa ruas kampung. Pegangan lain, SK Bupati Luwu Utara Nomor 300/2004 tentang pengakuan masyarakat adat Seko. Juga Peraturan Daerah Nomor 12/2004  tentang Pelestarian Lembaga Adat di Luwu Utara dan salah satu menunjukkan Seko sebuah komunitas adat yang memiliki hukum adat dan dilindungi negara.

Pada Oktober 2014, saat perusahaan memasuki Seko tanpa izin komunitas adat,  langsung memasang patok batas dan area survei lokasi. Warga bereaksi.  Perusahaan mendapatkan denda adat Rp10 juta dan satu kerbau.

Saat pemberian sanksi, masyarakat bersama masyarakat adat membuat perjanjian untuk tak lagi beraktivitas di dalam wilayah adat. “Waktu itu kan semua setuju. Sekarang kami menuntut malah dianggap penjahat dan menghalangi pembangunan,” ucap Andri.

Sejak 2014 hingga sekarang gelombang perlawanan terus berjalan. Ketika 13 warga sudah mendekam di balik jeruji besi pada Oktober 2016, gelombang protes di Seko tetap berjalan. Tercatat pada 23, 26 dan 28 Desember 2016, warga dengan penuh semangat menolak. Kini, para perempuan Seko, membuka tenda di wilayah pembangunan sejak 2 Februari lalu sampai sekarang.

Pada 28 Desember, misal, diadakan dialog antara warga, kepolisian dan perusahaan. Meski tak ada kata sepakat,  malah melahirkan ketegangan. Amisandi dan beberapa warga lain, bersikukuh menolak PLTA.

“Pada pertemuan 28 Desember itulah, Amisandi diminta untuk kembali upaya dialog di Masamba. Tapi bukan itu yang terjadi malah penangkapan,” ucap Fadly.

“Jadi laporan polisi, Amisandi dituduh mengancam pada 28 Desember kepada perusahaan. Ini mengada-ngada.”

Bagi Fadly, laporan ke kepolisian harus dilihat apakah perusahaan atau pelapor memiliki legal standing. Dalam putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 dan Permendagri Nomor 52/2014 tentang tata cara pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, tak dijalankan Seko Power Prima. Juga Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 9/2015 tentang tata cara penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat dalam kawasan tertentu.

“Saya melihat, aturan-aturan soal masyarakat adat tak dijalankan perusahaan. Bisa bilang kegiatan mereka ilegal dong,” kata Fadly.

“Jika seperti itu, apakah perusahaan berhak melaporkan masyarakat?”

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,