Soal Penguasaan Lahan Freeport di Papua, Berikut Kata Komnas HAM

 

Tengah hangat ribut-ribut Freeport yang tetap mau ekspor mineral mentah tetapi tak mau kontrak karya berubah jadi izin khusus  sesuai aturan Pemerintah Indonesia. Dari Komnas HAM mengingatkan, bicara Freeport harus membahas juga lahan yang menjadi tempat perusahaan itu mengeruk hasil yang notabene berada di wilayah Suku Amungme.

Selama dua tahun Komnas HAM melakukan pemantauan dan penyelidikan soal penguasaan lahan disana. Kesimpulannya, Komnas HAM menilai, pemerintah dan PT Freeport Indonesia (Freeport) telah merampas lahan milik masyarakat adat Suku Amungme.

“Selama dua tahun kami telah memantau dan penyelidikan khusus hak ulayat hak milik atas tanah yang saat ini dikelola Freeport di Suku Amungsa yang dimiliki Suku Amungme,” kata Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Natalius Pigai,  Jumat pekan lalu.

 

Baca juga: Ribut Freeport Jangan Cuma Soal Duit, Bagaimana Nasib Lingkungan dan Orang Papua?

 

Penyelidikan ini, katanya, sebenarnya sederhana. Komnas HAM mengajukan pertanyaan kepada Freeport, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemda Timika dan masyarakat adat Amungme soal proses jual beli lahan.

Biasa, katanya, pengelolaan usaha atau penguasaan lahan itu semua melalui proses transaksi jual beli. Berdasarkan penyelidikan, semua pihak yang diberi pertanyaan tak ada yang bisa menunjukkan bukti-bukti terjadi proses jual beli lahan sebelum pertambangan Freeport.

“Kalau memang pernah transaksi, dimana? Berapa nilainya? Antara siapa dengan siapa yang menandatangani? Mana akta dan siapa notaris? Karena wilayah yang dieksploitasi Freeport itu bukan wilayah tak bertuan. Itu tanah hunian penduduk,” katanya.

Seharusnya,  Freeport sebelum eksploitasi, terlebih dahulu mulai dengan transaksi jual beli terlebih perusahaan multinasional. “Freeport kami tak memiliki hak milik. Hanya hak guna usaha, pemerintah yang memberikan konsesi kepada Freeport.”

Dengan begitu, Komnas HAM menyimpulkan Pemerintah Indonesia dan Freeport telah menguasai, merampas dan pengambilalihan lahan masyarkat adat Amungme.

Penguasaan lahan oleh Freeport tanpa proses Free Prior Inform Consent (FPIC) atau hak masyarakat adat untuk menentukan bentuk-bentuk kegiatan apa yang mereka inginkan pada wilayah mereka.

“Terjadi pelanggaran terhadap konsep FPIC terhadap Suku Amungme selaku pemilik tanah ulayat.”

Ia berdasarkan kontrak karya Freeport 7 April 1967 tanpa melibatkan masyarakat adat Amungme. Suku Amungme baru perundingan perjanjian 8 Januari 1974 dengan Freeport di bawah pengawasan Pemerintah Indonesia.

Saat kontrak karya, Papua belum resmi sebagai bagian Indonesia karena status Papua di bawah pengawasan PBB melalui UNTEA. Papua (saat itu bernama Irian Jaya), terhitung jadi Indonesia pada 1 Mei 1969.

“Seluruh gugatan masyarakat suku Amungme terkait pengembalian hak ulayat, berakhir tanpa ada proses pemeriksaan materil atau substansi perkara. Beberapa gugatan dinyatakan tak diterima pengadilan negeri dan beberapa penggugat mencabut gugatan,” katanya.

Pigai mengatakan, program pengembangan masyarakat oleh Freeport kepada Suku Amungme merupakan kewajiban setiap perusahaan dalam memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar. Ia diatur dalam UU jadi bukan ganti rugi atas pelepasan hak ulayat warga Suku Amungme.

Selama ini, perusahaan selalu bilang mengeluarkan sejumlah dana sekian triliun untuk sumbangan kepada negara, pemerintah daerah dan masyarakat.

“Itu hal biasa, tanggungjawab perusahaan kepada masyarakat. Itu persoalan pemberian dana tak bisa jadi dasar transaksi jual beli antara masyarakat sebagai pemilik tanah dengan pemerintah juga Freeport sebagai pemegang konsesi,” katanya.

Dia merekomendasikan, kepada Freeport Mc.MoRan & Gold Inc dan Freeport Indonesia untuk menyelesaikan tuntutan ganti rugi tanah masyarakat adat Suku Amungme. Ia sebagai bagian penghormatan hak ulayat masyarakat adat. Dia juga meminta perusahaan itu memberikan saham cuma-cuma kepada masyarakat adat Suku Amungme sebagai pemilik hak ulayat dalam proses divestasi Freeport.

“Kami merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia memastikan Freeport menyelesaikan ganti rugi tanah masyarakat Suku Amungme. Juga mendorong kepastian jaminan agar masyarakat adat mendapatkan saham Freeport dalam proses divestasi.”

Dia meminta Freeport dan pemerintah tak hanya bicara kepentingan mereka tanpa melihat posisi masyarakat kala divestasi.

“Negara memiliki kekuasaan, berhak memiliki saham. Freeport memiliki uang dan fasilitas juga berhak mendapatkan saham. Lalu masyarakat juga mempunyai tanah dan emas seharusnya berhak mendapatkan saham. Jadi kita ingin masyarakat itu harus jadi pemilik pengambilan keputusan.”

Dia bilang,   jangan hanya berbicara soal kepentingan pemerintah dan perusahaan. “Harus ada item jelas dan tegas mengenai kepemilikan saham bagi masyarakat suku asli di sana.”

Dia juga merekomendasikan Gubernur Papua dan Bupati Mimika menggunakan seluruh kewenangan mendukung perjuangan Suku Amungme memperoleh hak. “Jangan hanya mengurusi orang-orang berkuasa. Harus juga berbicara mengenai warga sendiri,” katanya.

Dia melihat,  Bupati Mimika bekerja sungguh-sungguh tetapi tak memiliki kemampuan besar karena bukan kewenangan kabupaten. “Berjuang habis-habisan juga susah. Keputusan ada di pemprov, pemerintah pusat dan Freeport di Amerika.”

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,