Kenapa Perdagangan Penyu Ilegal Masih Terjadi di Indonesia Timur?  

Penegakkan hukum di wilayah laut Indonesia terus dilakukan Pemerintah Indonesia. Terbaru, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil menangkap lima orang nelayan yang diketahui akan menjual penyu sebanyak 38 ekor. Dari jumlah tersebut, enam ekor diketahui dibawa dalam kondisi sudah mati.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi, akhir pekan lalu mengatakan, 38 ekor penyu yang akan diperdagangkan itu, dibawa dari Pulau Enu di Aru Bagian Tenggara, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku.

“Penyu-penyu tersebut dibawa untuk diperdagangkan dan enam ekor diantaranya terindikasi sudah mati saat dibawa keluar pulau,” ucap dia.

 

 

Menindaklanjuti temuan tersebut, Brahmantya mengaku, petugas lapangan Dirjen PRL di Wilayah Kerja Aru Bagian Tenggara yang merupakan unit kerja pengelola Suaka Alam Perairan (SAP) Aru Bagian Tenggara langsung berkoordinasi dengan Kepolisian Resor Aru dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aru.

Setelah mengetahui ada penyu yang sudah mati, Brahmantya mengatakan, pihaknya langsung memutuskan untuk melepasliarkan penyu yang tersisa sebanyak 32 ekor. Sementara, penyu yang sudah mati, kemudian dilakukan penguburan di Pulau Wamar pada 21  dan 22 Februari 2017. Dua aktivitas berbeda itu, dipimpin langsung aparat dan pejabat Pemkab Aru.

Brahmantya melanjutkan, ditangkapnya kelima nelayan tersebut, karena penangkapan penyu yang dilakukan mereka itu ilegal dan tidak sesuai dengan konsep penanganannya (animal welfare). Akibat salah penanganan, sebagian dari penyu yang ditangkap kemudian mati karena lemas.

“Upaya perlindungan penyu dan sumberdaya ikan, serta ekosistem dalam kawasan SAP Aru Bagian Tenggara terus dilakukan melalui kegiatan sosialisasi ke masyarakat desa dan adat, serta siswa SD, SMP, dan SMA,” jelas dia.

Setelah itu, menurut Brahmantya, sosialiasi dilanjutkan dengan melakukan pemberdayaan masyarakat nelayan yang diarahkan untuk penyadaran masyarakat dan mendorong peran pemerintah desa dan adat terhadap perlindungan penyu, sumberdaya ikan dan ekosistem perairan laut dalam SAP Aru Bagian Tenggara.

 

KKP bersama Kepolisian Resor Aru dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aru berhasil menggagalkan penyelundupan 38 ekor oleh lima orang nelayan yang dibawa dari Pulau Enu di Aru Bagian Tenggara, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Foto : Ditjen PRL KKP

 

Lebih lanjut Brahmantya mengungkapkan, penyu yang ditangkap dan diperdagangkan dari Kepulauan Aru, adalah bagian dari enam jenis penyu yang ada di Indonesia. Khusus di Aru, penyu yang banyak ditemukan adalah dua jenis, yakni penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).

Menurut Brahmantya, kedua jenis penyu yang ada di Kepulauan Aru tersebut, selama ini dikenal memiliki fungsi sebagai katalisator biologis untuk perkembangan karang. Selain itu, secara ekologis  kedua jenis penyu tersebut juga berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem perairan.

“Menurunnya jumlah populasi penyu di perairan ini akan mempengaruhi tingkat kesuburan dan stabilitas ekosistem sehingga akan menurunkan populasi ikan yang pada akhirnya merugikan masyarakat nelayan setempat karena jumlah hasil tangkapan ikan dan pendapatannya akan menurun,” papar dia.

Brahmantyta menyebut, kasus pemanfaatan penyu secara illegal di kabupaten Aru, khususnya dari Aru Bagian Tenggara, hingga kini masih sering terjadi karena lemahnya pengawasan dan proses penegakan hukum terhadap pelaku penampungan di Dobo, ibu kota Kabupaten Aru.

Selain itu, kata dia, kebiasaan masyarakat yang mengonsumsi daging dan telur penyu juga menjadi faktor sosial yang berpengaruh terhadap pemanfaatan penyu secara illegal di Kepulauan Aru. Oleh itu,Brahmantya menuturkan, kejadian ini menjadi barometer pemerintah dan aparat hukum untuk meningkatkan peran pengendalian, pemanfaatan, dan peredaran biota laut yang dilindungi sesuai peraturan yang berlaku.

“Yaitu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa,” jelas dia.

 

KKP bersama Kepolisian Resor Aru dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aru berhasil menggagalkan penyelundupan 38 ekor oleh lima orang nelayan yang dibawa dari Pulau Enu di Aru Bagian Tenggara, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Foto : Ditjen PRL KKP

 

Dengan penangkapan tersebut, Brahmantya meyakini, pemanfaatan penyu yang akan diperdagangkan, diketahui bukan berasal dari hasil tangkapan nelayan secara tidak sengaja, melainkan hasil perburuan sebagai target ekonomi.

Karena itu, menurut Brahmantya, yang diutamakan dalam proses tersebut adalah penegakan hukum sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, keterlibatan pemerintah daerah dalam proses pelepasan dan komitmen Polres setempat dalam proses penegakan hukum, diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku penangkapan dan perdagangan ilegal penyu.

 

6 dari 7 Spesies Ada di Indonesia

Keberadaan penyu di dunia saat ini sudah semakin langka. Tidak saja spesiesnya yang terus menyusut, populasi penyu dari spesies yang tersisa juga dewasa ini terus berkurang jumlahnya. Sebelum tersisa hanya 7 spesies saat ini, jumlah spesies penyu di dunia mencapai 30. Penyusutan itu terjadi karena perubahan zaman dan berbagai faktor lainnya.

Marine Species Conservation Coordinator WWF Indonesia Dwi Suprapti menjelaskan, penyusutan jumlah spesies penyu yang sekarang terjadi menjadi fenomena menyedihkan dan harus dicegah agar tidak berkurang lagi.

“Tugas itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Terutama, karena Indonesia menjadi rumah bagi 6 penyu dari total 7 spesies yang tersisa di dunia ini. Ini pekerjaan rumah yang berat,” ungkap Dwi Suprapti.

Dia mengungkapkan, 6 (enam) spesies penyu yang ada di Indonesia adalah penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (dermochelys coriacea), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu pipih (Natator depressus).

 

Penyu sisik yang terdapat juga di sekitar perairan Pulau Popaya. Sumber: Wikipedia

 

Dari enam spesies tersebut, Dwi menyebutkan, saat ini tiga spesies statusnya sangat memprihatinkan. Terutama, spesies penyu sisik dan penyu hijau. Kedua penyu tersebut saat ini sudah bersatus hampir punah. Sementara, penyu belimbing kondisinya tak jauh berbeda, namun sudah lebih baik dari kedua saudaranya tersebut.

Penyebab utama terus menyusutnya populasi penyu di dunia, dan khususnya di Indonesia, menurut Dwi, adalah karena terjadinya alih fungsi lahan di pesisir pantai dan juga perubahan gaya hidup di masyarakat yang mendorong berlangsungnya perburuan terhadap penyu-penyu yang statusnya adalah satwa langka.

“Ini memang memprihatinkan. Kita harus bisa menyelamatkan penyu dari ancaman kepunahan. Mereka juga makhluk hidup yang harus diberi kesempatan untuk hidup,” tandas dia.

Secara spesifik, Dwi mengatakan, WWF Indonesia sudah berupaya melakukan penyelamatan terhadap penyu. Dan dia sendiri mengaku sudah terlibat aktif dalam penyelamatan penyu belimbing yang habitatnya masih terbatas di Pantai Jamursba Medi di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat dan di sepanjang pesisir barat Pulau Sumatera.

“Penyu belimbing itu populasinya sekarang sudah di bawah 2000-an ekor. Itu berbeda dengan beberapa dekade lalu yang masih diatas 8.000-an ekor. Kami berupaya untuk menjaga populasi yang ada sekarang,” papar dia.

 

Penyu belimbing atau leatherback sea turtle. Foto: Guy Marcovaldi

 

Semakin langkanya penyu belimbing yang merupakan spesies penyu terbesar saat ini, menurut Dwi, diakibatkan karena masih terjadinya perburuan telur penyu oleh masyarakat sekitar pesisir pantai dan atau terjadinya ketidaksengajaan tertangkap oleh alat tangkap kapal.

“Penyu belimbing itu kan tidak memiliki karapas dan dia bernafas dengan paru-paru. Jadi setiap lima jam harus naik ke permukaan untuk bernafas. Namun, jika dia terperangkap dalam alat tangkap seperti jaring, maka dia terancam tidak bisa bernafas lagi karena terjebak di dalam air,” cetus dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,