Restorasi Bukit Betabuh, Merangkul Perambah, Upaya Selamatkan Sumber Air Dua Provinsi (Bagian 1)

 

Haris, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kuantan Singingi Selatan tiba-tiba menghentikan laju kendaraan perational double cabin yang dikendarai tepat di perbatasan Hutan Lindung Bukit Betabuh, Riau,  di Desa Air Buluh, awal Januari 2017.

Seorang warga Desa Air Buluh, Lubuk Jambi, Kuantan Singingi,  sedang menanam bibit sawit di hutan yang baru digunduli seluas lima hektar. Puluhan bibit sawit ditanam, puluhan lain masih terkumpul dekat dengan gerobak pengangkut.

Awak cuma nanam, Pak. Ndak punya awak,” jawab lelaki berusia sekitar 40 tahun ini saat ditanya Haris.

Hutan dengan tegakan kayu cukup besar itu baru saja disulap jadi kebun sawit. Baru lima hari lalu, si pemilik lahan, warga Lubuk Jambi menyewa alat berat dari kebun sebelah. Kebun tetangga itu tepat di luar garis batas hutan lindung.

Saya masih melihat alat berat itu beroperasi di kebun sawit tetangga itu. Di areal lima hektar itu, ada beberapa tunggul kayu masih tersisa, satu di antaranya menghitam bekas terbakar. Kayu yang ditebang berikut ranting-ranting tersusun rapi berbaris memisahkan setiap dua baris bibit sawit.

Haris memastikan kebun itu masuk Hutan Lindung Bukit Betabuh seluas  43,541.49 hektar, satu dari lima blok hutan konservasi di bawah pengelolaan KPH Kuantan Singingi Selatan.

Tepat di batas penggundulan hutan itu terlihat sejumlah binatang liar menggelayut dan melompat dari satu pohon ke pohon lain. Dari ketinggian sekitar 50 meter, satu di antara jenis kera duduk di satu dahan memandang ke bawah. Ia hanya melihat tanah tandus yang siap ditanam bibit sawit.

 

Kepala KPHL Kuantan Singingi Selatan, Haris saat patroli. Foto: Zamzami

 

Tiba-tiba ia mengeluarkan lengkingan, lalu melompat hilang ke hutan. Tak lama setelah itu,  terlihat satu burung rangkong dewasa melintas di dinding hutan.

Haris hanya mengajukan beberapa pertanyaan tentang kebun itu kepada orang itu. Dia lebih banyak memberi pengertian bahwa kawasan itu hutan lindung, tak seharusnya ada kebun sawit. Tidak ada raut marah. Sebaliknya dia mendorong pekerja kebun bergabung dengan kelompok tani Desa Air Buluh.

“Satu atau dua tahun ini kami fokus sosialisasi keberadaan hutan lindung. Karena banyak warga tak tahu bahwa kawasan ini dilindungi oleh negara,” katanya.

Awal tahun ini HL Bukit Betabuh menjadi perhatian media karena kebakaran yang menghancurkan sekitar 40 hektar hutan di Desa Pangkalan, Kecamatan Pucuk Rantau. Di pengujung tahun lalu, kebakaran juga terjadi. KPH menaksir hutan yang terbakar pada akhir Desember lalu itu mencapai 500 hektar. Meski lokasi di perbatasan hutan lindung dengan Desa Timpe, Sumatera Barat, namun tetap menjadi ancaman serius.

“Hutan di bagian sana (Sumatera Barat) sudah habis semua. Ini telah mengancam beberapa ratus meter masuk ke dalam kawasan (Bukit Betabuh),” kata Haris.

Kebakaran di Pucuk Rantau pertengahan Januari kemarinlah yang membuatnya terpukul. Bukan saja hutan hangus, api juga membakar habis puluhan hektar bibit pohon dan buah-buahan yang ditanam warga desa bersama KPH. “Habis semua. Palingan tinggal 10 hektar (bibit). Sisanya (40 hektar) habis.”

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 878 tahun 2014 tentang wilayah KPHL Kuantan Singingi Selatan, luas kawasan mencapai 82.000 hektar melingkupi hutan lindung (HL) Bukit Betabuh di Lubuk Jambi, hutan lindung Batang Lipai Siabu, hutan lindung Sentajo, hutan produksi tetap Peranap Blok I dan HPT Batang Lipau Siabu.

Meski luasan 82.000 hektar lebih, sekitar 50% tutupan hutan terokupasi perkebunan sawit, pertanian hingga pembalakan liar. Hutan primer tersisa 304,25 hektar, hanya terdapat di HPT Batang Lipai Siabu. Sedangkan di HL Bukit Betabuh, justru didominasi perkebunan 17.200,24 hektar atau lebih luas dibandingkan hutan sekunder yang hanya 15.902,15 hektar. Sisanya tanah kering, semak belukar dan pertanian lahan kering campur semak.

Perubahan tutupan hutan ini juga mengancam fungsi hutan lindung sebagai sumber mata air bagi dua provinsi, Riau dan Sumbar.

Kondisi HL Bukit Betabuh seluas 43.000 hektar yang mengkhawatirkan itu terlihat jelas ketika saya mengunjungi kawasan awal Januari lalu. Tanah berbukitan yang 10 tahun lalu dipenuhi pepohonan, telah bersalin rupa menjadi hamparan kebun sawit.

Meski sawit-sawit itu berada di luar batas hutan lindung, kebun-kebun itu seperti merangsek masuk ke jantung hutan. Dari puncak kebun sawit, terlihat bukit-bukit terjal dengan pohon-pohon tak lagi hijau. Hutan di bukit itu hangus terbakar.

“Itu kebakaran 2015. Besar sekali waktu itu (api). Api saja besar terlihat dari jauh. Kita sudah berusaha, akhirnya hujan yang memadamkannya,” kata Haris.

 

Hutan yang terbabat jadi sawit. Foto: Zamzami

 

Pembalakan liar

Pertengahan Februari lalu, tim patroli pembalakan liar dari KPHL Bukit Betabuh mendapati beberapa kayu yang baru ditebang ditinggal para pelaku. Di tempat itu,  sebuah akses jalan selebar sekitar enam meter baru dibuat dan jejak alat berat terlihat basah. Jalan baru yang membelah blok inti hutan Betabuh ini dibangun dari Sumbar.

“Perlu pengawasan ketat dengan membangun pos pengamanan hutan di dalam HL Bukit Betabuh dan melibatkan masyarakat sebagai satuan pengamanan hutan swakarsa, semoga bisa diwujudkan,” tulis akun Facebook milik KPHL postingan Februari.

Bukit Betabuh adalah rumah bagi satwa endemik dengan status terancam punah seperti harimau Sumatera, gajah Sumatera, trenggiling. Ada berbagai jenis monyet, rangkong, elang dan kuau. Jenis kayu bernilai ekonomis tinggi juga banyak seperti meranti, punak dan mersawa.

Kini kayu-kayu bernilai tinggi itu pun terus menjadi incaran para pembalak liar. Tidak sulit membuktikan kegiatan ilegal ini. Dalam perjalanan pulang malam hari, saya sempat beriringan dengan satu truk bermuatan kayu balak. Diameter sekitar 30 sentimeter. “Kayu-kayu ini dibawa ke Kasang. Di sana banyak sawmill,” ucap Haris.

Terkait illegal logging, KPH mengaku telah mendata para  pemilik. Meski belum memberikan penindakan, namun dia segera menyurati pemiliknya.

“Udah pada tahu kok. (pemerintah dan penegak hukum) di tingkat lokal (juga sudah tahu). Di satu sisi kita ingin mencari solusi yang kompromistis, tapi tidak menutup kemungkinan kalau kompromi tidak berjalan sebagaimana yang kita harapkan, kita akan lakukan tindakan keras,” katanya.

Kompromi yang dimaksud Haris adalah meminta mereka baik-baik berhenti beraksi dan beralih melestarikan dan melindungi hutan. Dia akan mengirimkan surat kepada pemilik sawmill.

“Kita sudah dua tahun sosialisasi ke masyarakat. Kita rasa sudah cukuplah sosialiasi dan menjalin komunikasi ke masyarakat, tahun ini sudah mulai satu, dua penegakan hukum (yang kita lakukan).”

KPH juga sudah mendata siapa pemilik kebun sawit di hutan lindung. Ada warga punya 300 hektar bahkan hingga 700 hektar. Usia sawit sudah produktif antara tujuh atau delapan tahun. Informasi ini didapat dari yang jaga kebun.

“Rata-rata mereka mengatakan pemilik orang kuat. Aparat penegak hukum. Mungkin si penjaga kebun sekadar menggunakan nama untuk menakut-nakuti kami untuk memperkuat keberadaannya,” kata Haris.

 

Pendekatan restorasi

Bagi Haris, tindakan represif adalah pilihan terakhir. Dia bahkan melihat pilihan ini belum akan dilakukan menyeluruh dalam waktu dekat. Mungkin pada beberapa pihak saja. Dia telah mendapatkan bukti bahwa sosialisasi dan pendekatan selama hampir dua tahun terakhir cukup efektif.

Bagi Haris, tiga pilihan yang disosialisasikan kepada masyarakat sekitar HL Bukit Betabuh, pertama, para pemilik kebun bisa sukarela menyerahkan kebun-kebun ke negara. Kedua, jika mereka merasa punya hak legalitas atas kepemilikan kebun, KPH mempersilakan pemilik menggugat di pengadilan.

“Kalau mereka ikut pola kita, kita siap. Kita meminta mereka untuk menyisipi kebun-kebun itu dengan bibit tanaman hutan yang bernilai ekonomis. Mereka dipersilakan mengelola kebun selama satu periode daur tanam. Ternyata rata-rata mereka justru setuju dengan pilihan ini.”

Ternyata banyak warga memilih pilihan ketiga. Kini, setidaknya sudah 375 hektar kebun baik sawit maupun karet sudah menyerahkan kebun untuk disisipi sejumlah tanaman seperti gaharu, durian dan cempedak.

Dia senang dengan tanggapan positif dari masyarakat. Meski awalnya ragu dengan pendekatan ini. Walaupun begitu, tak semua berjalan lancar, masih ada beragam rintangan… (bersambung)

 

Hutan alam Bukit Betabuh yang masih asri. Foto: Zamzami

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,