Soal Freeport, Berikut Pandangan Ekonom dan Pegiat Lingkungan

 

 

Penolakan PT Freeport Indonesia (Freeport) atas perubahan kontrak karya jadi izin usaha pertambangan khusus(IUPK) kala ingin ekspor mineral mentah jadi isu hangat. Perusahaan asal Amerika Serikat ini mengancam membawa persoalan ke Arbitrase Internasional.

Di tengah perdebatan ini, berbagai kalangan menyebut ada yang luput dari pembahasan. Ribut-ribut hanya seputar divestasi saham dan hitung-hitungan ekonomi atas nama penerimaan pajak. Persoalan keselamatan warga Papua, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM nyaris tak menjadi topik.

Dani Setiawan, analisis Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) dalam diskusi Minggu, (26/2/17) mengatakan, perusahaan tambang pemegang kontrak karya yang sudah berumur hampir setengah abad ini sejak pertama kali masuk Indonesia, kental kepentingan-kepentingan modal internasional (Amerika Serikat).

“UU Penamaman Modal Asing Nomor 1/1967 juga tak lepas dari upaya Freeport McMoRan menguasai sumber tambang tembaga di Papua,” katanya.

Desain ekonomi politik semacam itu, katanya, jadi latar belakang sejarah yang mestinya tak bisa diabaikan. Dalam konteks geo ekonomi dan politik tingkat internasional, katanya, penguasaan sumberdaya alam (mineral tembaga dan emas) itu akan sangat mempengaruhi posisi AS.

“Kontrak karya sebagai anak kandung dari perang dingin, sangat menentukan sejauh mana posisi AS dalam kekuatan mempengaruhi dan mengambil alih negara lain.”

Dalam konteks Asia Pasifik, cadangan emas besar ini menjadikan Indonesia sebagai pertaruhan penting bagi AS untuk mempertahankan ‘kekuasaan’.

Konteks lain soal pajak, perburuhan, aspek lingkungan selama ini belum muncul ketika berbicara soal Freeport termasuk hak-hak masyarakat adat Papua.

Sekarang, katanya,  diskusi Freeport sangat ekonomistik. Hanya berkutat berapa kontribusi Freeport Sebelum ini, mereka mengklaim kontribusi mereka sejak 1992-2016 itu US$15,8 miliar secara langsung terhadap APBN. Tak langsung US$29,5 miliar dalam bentuk gaji upah dan lain-lain. Masuk akal apa yang dikatakan Jonan, kontribusi tak ada apa-apanya dalam konteks APBN. Saya kira sejauh yang saya pelajari kontribusi sektor pertambangan secara umum terhadap PNBP tak signifikan.”

Dalam polemik ini, katanya, banyak kalangan justru ikut bermain. Jika merunut peristiwa beberapa waktu lalu, ada skandal “Papa Minta Saham”. Selain itu, juga ada banyak kemungkinan keterlibatan elemen di dalam negeri ikut bermain menjadi cukong atas kepentingan Freeport. Kondisi ini memberatkan dalam proses penyelesaikan kasus itu.

Conflict of interest aktor dalam negeri entah ingin dapatkan saham, atau jadi salah satu kontraktor. Ini bisnis besar yang biasa melibatkan kontraktor dalam negeri. Kalau mengikuti itu, ya gak akan selesai-selesai.”

Pemerintah, harus diplomasi kuat. Pertama, harus dialog dengan masyarakat Papua dengan terbuka untuk menentukan masa depan atas keberadaan Freeport.

Siti Maimunah, peneliti Sajogjo Institute mengatakan, kasus Freeport ini seperti de javu. Ibarat radio rusak, lagu lama selalu didendangkan oleh Freeport untuk mengancam Pemerintah Indonesia, mulai pemutusan kerja masal, kontribusi APBN, hingga arbitrase.

Hampir setiap tahun, katanya,  selalu saja ada yang diperkarakan terkait perusahaan kontrak karya ini. “Kasus ini penting dalam konteks bagaimana kontrak karya jadi tonggak penting setelah Soekarno jatuh, lalu Soeharto memimpin, kemudian kita melayani investasi asing besar-besaran,” katanya.

Dia merinci, berbagai kesalahan pemerintah masa lalu dengan kehadiran Freeport. Kala itu, Indonesia belum punya UU pertambangan, kontrak karya dengan Freeport sudah ditandatangani. Bahkan peristiwa ini, sebelum rakyat Papua memutuskan berintegrasi dengan Indonesia atau tidak.

“Bahkan sebelum mereka menentukan nasib bergabung bersama Indonesia atau tidak, sudah ditandatangani. Itu menurut saya membuat hubungan Indonesia dan Papua seperti ada luka tak pernah sembuh. Saya rasa penting pemerintah meletakkan tuntutan tertinggi bagaimana mengurus kontrak karya ini.”

 

Sumber: Freeport Indonesia

 

Mai, biasa dipanggil mengatakan, dalam konteks sejarah Indonesia, kontrak karya Freeport diadopsi di UU Nomor 11/1967 hingga kesepakatan-kesepakatan dengan perusahaan tambang asing lain seperti Newmont, Rio Tinto dan lain-lain.

“Kita tahu problem pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan luar biasa, missal Rio Tinto di Kalimantan pemilik saham Freeport.”

Pada 2003, tambang tutup mewariskan 77 juta ton tailing di dataran tinggi. “Kita tak tahu bagaimana nasib ke depan kalau terjadi gempa dan lain-lain.”

Mai mengutip laporas Elsam yang menyebut pada 1972-1977, ada 1.000 orang Suku Amungme meninggal karena kekerasan militer di sekitar Freeport. Belum lagi soal kucuran uang, ICW 2011 melaporkan Rp711 miliar uang ngalir dari Freeport rentang 2001-2010 kepada militer. “Itu yang tercatat saja.”

Freeport meninggalkan luka bagi warga Papua. Tak hanya urusan pelanggaran HAM juga memicu kekerasan di sekitar tambang. Freeport dianggap pemotong sejarah atau hubungan rakyat Papua secara sosial dan religi.

“Gunung-gunung dihancurkan. Belum lagi problem sosial karena kehilangan pegangan. Freeport membuang limbah sejak 1972 sampai sekarang. Merupakan tambang yang membuang limbah paling banyak di dunia dalam hitungan hari,” katanya.

Freeport sedang meningkatkan produksi, berarti limbah bisa mencapai 300.000 ton per hari. Limbah itu, digelontorkan begitu saja ke sungai-sungai sekitar tambang.

“Pembuangan tailing ke sungai cara paling primitif untuk membuang limbah. Sepanjang mata memandang akan terlihat dampak kerusakan.”

Pada 2015, sudah dua miliar ton lebih limbah batuan–juga sampai ke laut. “Kita tahu laut itu tak punya batas, pencemaran bisa sampai ke negara lain, dan bisa membuat perkara baru.”

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam mengatakan, Freeport berdampak pada kualitas udara. Operasional pertambangan, katanya, akan memerlukan energi sangat besar, salah satu dari PLTU. Jadi, kerusakan lingkungan warga Papua menjadi ganda. “Bukan hanya kerusakan bentang alam dan air, tapi energi kotor juga terus berlangsung.”

Pertambangan, katanya, ekonomi dan kesejahteraan palsu. “Pendapatan negara dari kontribusi Freeport juga sangat kecil,” katanya.

Berdasarkan catatan, 2012 Freeport tak lagi memberikan deviden pada Pemerintah Indonesia. Ia hanya membayar pajak dan royaliti.  Tahun itu, nilai kepada Pemerintah hanya Rp9,5 triliun, pendapatan negara Rp1.332 triliun. “Artinya, kontribusi Freeport hanya 0,71% dari total APBN. Tahun 2013, turun jadi Rp5,1 triliun, tahun 2014 sebesar Rp. 6,7 trilun, tahun 2015 turun jdi Rp. 5,1 triliun.”

Hal lain mengenai perubahan Amdal. Dalam dokumen Amdal 1991, kapasitas produksi maksimum Freeport 300.000 bijih ton per hari. Pada 2015, perusahaan melakukan 23 poin perubahan dalam dokumen Amdal yang terangkum dalam evaluasi lingkungan rancangan sendiri.

“Jadi bahasa sederhananya, Freeport sedang merancang kegiatan operasi di luar Amdal sejak 2015.”

Salah satu hal penting dalam dokumen itu,  ialah perluasan tanggul barat ke arah laut. Kalau tak diperluas, limbah tailing akan meluber. Pemerintah, katanya,  harus berani mengambil alih, menutup tambang Freeport dan proses hukum.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) mengatakan, sebagai pemilik hak kuasa pertambangan, Pemerintah Indonesia memiliki kewenangan dan kedaulatan mengatur tata kelola pemanfaatan bahan mineral alam Indonesia, melalui UU dan peraturan lain.

Untuk itu, upaya pemerintah Indonesia negosiasi dengan pemegang kontrak karya Freeport guna penyesuaian dan penegakan perundangan Indonesia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,