Bangun Jalan sampai Pelabuhan Depapre: Bukit Terbongkar, Sungai Tertimbun (Bagian 3)

 

 

Pembangunan pelabuhan peti kemas Depapre diikuti infrastuktur dukungan seperti pembuatan jalan, seperti jalan dua arah Kemiri-Depapre.

Jalan ini membelah perbukitan. Tampak sejumlah truk mengangkut material keluar dari lokasi pembangunan. Material-material itu dibuang di lokasi tak jauh dari pelabuhan. Tampak timbunan limbah material itu menutupi dusun sagu juga beberapa rumah.

“Sekarang kita punya dusun sagu sekitar dua sampai tiga meter sudah tenggelam tertutup pasir dan lumpur,” kata Yustus Soumilena, warga Depapre yang dusun sagunya tertutup pasir dan batu di pinggir kali Benewai Kotu.

Ada juga pembangunan jalan keluar pelabuhan peti kemas. Ia berhadapan langsung dengan pelabuhan. Bahan bangunan sempat membongkar perbukitan sekitar.

Baca juga: Kala Pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Depapre Dimulai (Bagian 1)

Kini pembangunan jalan berhenti, tak ada kegiatan lagi. Tinggallah material seperti batu, pasir memenuhi Benewai Kotu hingga ke dusun sagu milik warga. Sungai pun tertimbun hingga air mengering. Longsoran pasir memenuhi aliran kali hingga ke muara.

Dinas Perhubungan bilang, jalan bukanlah tanggungjawab mereka tetapi Balai Jalan. Pembangunan ini melibatkan Kementerian Perhubungan, Dinas Perhubungan Papua dan Kabupaten Jayapura.

Markus Budi, dari Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura mengatakan, tak tahu mengenai situasi ini. Menurut dia, anggaran BLH Jayapura minim menyulitkan mereka pengawasan.

“Sebetulnya kewajiban kami mengawasi semua kondisi lingkungan di Kabupaten Jayapura, tetapi karena keterbatasan, banyak hal-hal belum mampu kita laksanakan” katanya.

Sedang pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Depapre terus berjalan kolaborasi Pemerintah Kabupaten Jayapura, Pemerintah Papua dan Pusat.

Baca juga: Pemilik Ulayat Pertanyakan Kejelasan Perjanjian Bagi Hasil Pelabuhan Depapre (Bagian 2)

Peti Kemas ini terletak di Kampung Waiya Distrik Depapre. Setelah proses reklamasi teluk dan pemancangan tiang-tiang pelabuhan, tahun ini akan mulai bangun lantai pelabuhan, gedung perkantoran, juga sarana navigasi.

Reklamasi teluk sudah dilakukan sejak 2008. Hingga kini total luas teluk hasil reklamasi sekitar 15 hektar dari total 74,3 hektar.

“Dulu katanya untuk reklamasi akan ambil material luar, ternyata ambil dari sini juga. Jadi sekarang lihat bukit-bukit ada terbongkar itu,” kata Absalom Soumilena, warga Tablanusu. Di sekitar pembangunan pelabuhan tampak bukit-bukit terbuka.

 

Ini sungai yang sudah tak berair karena tertutup material longsoran pasir dan batu pembuatan jalan. Foto: Asrida Elisabeth

 

***

Dari berbagai rencana Pemerintah Jayapura seperti pembangunan pelabuhan, pengembangan kawasan industri, jalan hingga rencana pembangunan pabrik batubara dan semen di Kabupaten Jayapura, baru pelabuhan peti kemas dilengkapi dokumen Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Dia membenarkan, kesadaran melengkapi izin dengan dokumen lingkungan masih sangat lemah. Dokumen lingkungan, katanya, dianggap sebagai syarat dan bukan kewajiban. Ia bahkan terjadi pada proyek-proyek dengan pemrakarsa pemerintah sendiri.

“Kalau pemerintah masih sebagian. Masih terbawa wacana yang dulu-dulu. Kita sering sosialisasi dan imbauan melengkapi izin dulu baru membangun. Tapi banyak yang masih bangun dulu baru urus perizinan dari belakang.”

Dalam proyek skala besar seperti pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Depapre, Amdal menjadi penting karena jadi dasar pembuatan rekomendasi lingkungan. Di dalam rekomendasi izin lingkungan itu, katanya, ada persyaratan-persyaratan menjadi pegangan bagi pemerintah untuk mengawasi maupun bagi pemrakrsa untuk melaksanakan proyek.

Meski begitu, Pemerintah Kabupaten Jayapura sangat tertutup dengan dokumen Amdal ini. Ketika saya meminta salinan dokumen, BLH menyarankan meminta ke Dinas Perhubungan Kabupaten Jayapura sebagai pemrakarsa proyek. Dinas Perhubungan melalui Kepala Bidang Perhubungan Laut Elbyn Padolo tak bisa memberikan tanpa izin Kepala Dinas Perhubungan.

Elbyn bilang izin lingkungan sudah keluar 2006. “Sudah dibuat Amdal. Soal lingkungan, kita perhatikan lewat RKL dan RPL (rencana pengelolaan lingkungan/rencana pemantauan lingkungan-red),” katanya,  akhir Februari lalu.

Saya hanya mendapat salinan Peraturan Bupati No.13/2006 tentang kelayakan lingkungan pembangunan pelabuhan peti kemas Depapre Kabupaten Jayapura.

Kepala Dinas Perhubungan, saya ditemui di Kantor Sekda Kabupaten Jayapura pun tak bersedia memberikan dokumen. Menurut dia, itu dokumen negara, harus melalui sekretaris daerah. Ketika menghubungi Sekda Kabupaten Jayapura, mendapatkan jawaban serupa, tak tidak bersedia memberikan salinan.

Izin lingkungan pembangunan pelabuhan sudah keluar 2006, padahal pemetaan hak ulayat lokasi bersama masyarakat adat baru 2007. Berarti proses pembuatan Amdal sudah selesai jauh sebelum itu.

Menurut Yulianus Ampnir,  Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Cenderawasih, pemetaan sosial termasuk hak ulayat harus dilakukan terlebih dahulu sebelum membuat Amdal.

Pada 2010, masyarakat pemilik hak ulayat juga pernah meminta Amdal, tetapi tak mendapat respon pemerintah.

Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat adat (PT-PPMA)  Papua pada 2007 pernah pemetaan pertisipatif mengenai hak ulayat di lokasi pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Depapre.

Menurut Paul Katamap, yang ikut kala itu, pemetaan hanya di tempat reklamasi, belum mencakup seluruh kawasan pelabuhan.

 

Truk sedang membuang material ke dusun sagu–letaknya tak jauh dari pelabuhan. Foto: Asrida Elisabeth

 

Seharusnya, kajian Amdal mencakup seluruh kawasan pelabuhan termasuk alur keluar masuk kapal. Kala belum, katanya, harus bikin Amdal baru.

“Dampak pembangunan tak hanya oleh masyarakat pemilik ulayat yang menyerahkan tanah, juga masyarakat di kampung-kampung sekitar.”

Jacob Suwae,  Mantan Kepala Distri Depapre, yang terlibat proses pembangunan pelabuhan sejak awal mengatakan, Amdal pernah sosialisasi di Kantor Bupati dengan menghadirkan tokoh-tokoh masyarakat.

Menurut dia, tak mungkin pembangunan berjalan jika Amdal belum buat. “Saya tidak tahu orang punya pehamaman tetapi selain daripada dampak lingkungan, dari sisi ekonomi juga akan berdampak. Bagaimana kalau pelabuhan ini berdiri, bisa membuka lapangan pekerjaan dan lain-lain.”

“Karang rusak dan lain-lain.  Tapi ada dampak positifnya. Mereka presentasikan dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan.”

 

***

Dokumen Amdal memuat keseluruhan rencana pembangunan, mengkaji dampak positif dan negatif dari pembangunan mulai fisika, kimia, ekologi, sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat.

Di dalamnya, juga ada RKL/ RPL yang menjadi acuan bagi pemrakarsa proyek dalam menjalankan pembangunan dan pemerintah untuk pengawasan. Amdal merupakan dokumen  publik, bisa diakses masyarakat dan dalam penyusunan harus melibatkan masyarakat.

“Saya pernah lihat di Kantor Perhubungan. Buku tebal. Amdal katanya. Pernah minta tapi sampai pelabuhan selesai baru bisa kasi,” kata Yustus.

Kini, katanya, dusun sagu sampai sungai mereka tertutup batu dan pasir. “Sekarang kita mau tuntut kemana? Ini Amdal yang bisa kita gunakan to?”

Warga meminta, pemerintah segera menyesaikan persoalan ini. Selain normalisasi kali, juga perlu ada perbaikan di tempat pembangunan jalan karena batu da pasir masuk ke sungai.

Jika tak ada penanganan, batu dan pasir berserakan, sebagian longsor ke sungai terutama saat hujan. Pinggiran laut juga terjadi pendangkalan karena longsoran pasir dan batu sudah sampai ke laut. (Habis)

 

Halaman-halama n rumah warga juga jadi tempat tumpukan material buat jalan. Foto: Asrida Elisabeth

 

Material seperti batu dan pasir diambil dari pebukitan sekitar. Foto: Asrida Elisabeth

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,