Dari Pengelolaan Bentang Lahan, Menimbang Perlunya Badan Lansekap Nasional

 

Pada 2014 lalu, ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutlah) pemerintah terlihat mengalami kesulitan dalam memadamkan api. Persoalannya, adalah masing-masing pihak mengelak disebut sebagai penyebab kebakaran, walaupun faktanya kebakaran berada di lokasi wilayahnya masing-masing.

Persoalan lanjutan adalah terkait pemanfaatan sumber daya air. Saat lahan gambut dibuat kanal-kanal, komoditi seperti padi, kelapa sawit dan tanaman akasia membutuhkan air yang bervariasi. Kondisi tersebut pada musim kemarau menyebabkan kekeringan dan rawan kebakaran. Di sisi lain masyarakat juga kadang kala tidak dapat memanfaatkan air sewaktu kanal disekat.

Melihat persoalan tersebut, perlu menjadi pemikiran tentang pengelolaan bentang lahan yang berkelanjutan, yang diperuntukkan pada tahap awal untuk mempermudah pengendalian kebakaran, kedua bertujuan untuk mengatur tata air, dan ketiga untuk mencari titik temu dan solusi konflik lahan.

Jika ketiga faktor tersebut dapat diatasi tentunya pada tahap berikutnya perlunya manajemen pengelolaan sebuah tata ruang berbasis lansekap.  Prinsip pengelolaan lansekap berkelanjutan menyeimbangkan antara production (produktivitas dan nilai tambah komoditi) dan protection (sumber daya alam yang lestari).

Sebuah lansekap berkelanjutan itu dibuat selain berdasarkan karakter alam seperti ekosistem, daerah aliran sungai (DAS), kawasan hidrologis gambut (KHG), juga wilayah administratif. Pun, wilayah administratif perlu dipertimbangkan karena untuk kelancaran akses.

Sejumlah wilayah lansekap di Sumatera dan Kalimantan, baik berdasarkan DAS, KHG, terkadang masuk dalam wilayah administratif sejumlah pemerintahan daerah. Misalnya, lansekap rawa gambut di Sumatera Selatan berhubungan dengan Jambi. Sehingga harus ada kerjasama antara Sumatera Selatan dan Jambi.

 

Proyek Kelola Sembilang-Dangku (Sendang)

Kita harus optimistis sesuatu yang dikerjakan dan dengan proses baik akan menghasilkan yang baik, termasuk lansekap berkelanjutan yang digagas ini.

Tentunya keuntungan terkait dengan lestarinya hutan Indonesia dapat menjaga iklim global dari pemanasan global, terjaganya biodiversitas dan sumber daya air, pertumbuhan ekonomi dan rakyat sejahtera. Didalamnya, kita harus memiliki Prinsip 6-UN: Hutan rimbun, Emisi turun, SDA berjibun, Ekonomi tambun, Rakyat Santun, Politik Anggun.

Menilik dari sejarah, Gubernur Sumsel Alex Noerdin dalam beberapa komitmennya ingin mewujudkan program Green South Sumatra dengan keterlibatan para aktor dalam mengelola bentang alam.

Pada Agustus 2014 dilakukan MoU dengan BP REDD+ dengan pendekatan yurisdiksional model Kemitraan Pengelolaan Lansekap atau Ekoregion. Dengan dukungan GIZ pada September 2014, Alex Noerdin menugaskan saya mempelajari Forest Management Unit di Hessen, Jerman.

Pada Maret 2015, Alex Noerdin diundang sebagai Pembicara pada Bonn Challenge High Level Meeting di Bonn Jerman.  Juli 2015, dengan dukungan IDH dan sejumlah perusahaan, diluncurkan Model Kemitraan Pengelolaan Lansekap atau Ekoregion di Jakarta dengan mengundang perwakilan negara asing, pimpinan perusahaan dan lembaga donor Internasional.

Pada Agustus 2015 pemerintah Sumatera Selatan melakukan pertemuan dengan IDH Belanda, NICFI Norwegia serta DFID UKCCU Inggris.  Dari sini awal Proyek Kelola Sendang (Sembilang-Dangku), sebuah kawasan ekoregion penting di Sumatera Selatan, dimana sebelum menghadiri CoP 21 Paris, Desember 2015 Alex Noerdin bertemu DFID di London Inggris.

 

Penampakan udara lahan gambut Sumatera yang masih bervegetasi hutan alami. Foto: Rhett A. Butler

 

Di Paris, selanjutnya dideklarasikan secara internasional Model Kemitraan Pengelolaan Lanskap atau Ekoregion, termasuk Kelola Sendang. Prinsip proyek Kelola Sendang mengambil spirit Prasasti Talang Tuwo, sebuah prasasti Kerajaan Sriwijaya yang menetapkan sebuah lansekap berdasarkan tata kelola air dan tanaman.

Apa manfaatnya dari proyek Kelola Sendang? Manfaat dari proyek Kelola Sendang tentunya untuk mendukung program kehutanan pemerintah Indonesia dalam upaya konservasi, rehabilitasi dan restorasi hutan Indonesia bersinerji dengan para aktor dari berbagai sektor.

Kita tidak menargetkan berapa tahun program Kelola Sendang berhasil, tetapi yang paling penting kita mempunyai platform dan sistem dalam pengelolaan suatu lansekap, proses pembelajaran yang menghasilkan Model Best Management Practice.

Hasilnya, Sumatera Selatan pada tahap awal ini melalui Peraturan Gubernur (Pergub)  menghasilkan Kelembagaan Green Growth, One Map Policy, RAD GRK yang mengacu pada Paris Agreement.

 

Badan Lansekap Nasional

Menurut hemat penulis, pelaksanaan proyek lansekap berkelanjutan ini bukan hanya perlu dilaksanakan di Sumsel, namun juga di beberapa daerah lain di Indonesia.  Saya berharap kedepannya, perlu adanya dukungan regulasi dan insitusional dari pemerintah untuk membentuk badan lansekap nasional.

Badan lansekap nasional tersebut, menurut saya, pada tahap awal menyediakan dokumen Green Gowth, dokumen Biodiversitas, dokumen Sustainable Green Growth,  kemudian membentuk Forum Komunikasi Lansekap di beberapa daerah, seperti Forum Lansekap Provinsi Belanjakesuma (Sumbagsel),  dan Forum Lansekap Sumatera; yang terlibat dengan prinsip P4 (Public, Private,People Partnership).

Terkait pembiayaan tentunya dengan mengintegrasikan kegiatan lintas sektor yang ada di APBD dan APBN, CSR dan CD dari perusahaan swasta dan dukungan donor Internasional. Menurut saya, badan ini berada di bawah lingkup Kementerian Koordinator Perekonomian yang membawahi kebijakan lintas sektor.

Terkait dengan badan lain yang mengurusi lingkungan hidup seperti BRG (Badan Restorasi Gambut) dapat disinerjikan, sebab BRG kegiatannya terbatas pada ekosistem gambut. Bekerja sesuai tupoksi masing-masing.

Terakhir, saya sangat percaya dan optimistis jika badan lansekap berkelanjutan tersebut akan mendapat dukungan berbagai pihak. Hal ini mengacu dari pengalaman proyek Kelola Sendang yang nantinya disebut “Kolega” atau Kemitraan Pengelolaan Ekoregion atau Lansekap yang bersifat lokal, telah banyak didukung mitra domestik dan international, dengan komitmen Gubernur serta adanya platform dan tim implementor.

 

Dr. Najib Asmani, penulis adalah staf khusus Gubernur Sumsel bidang Perubahan Iklim dan Ketua Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumsel. Artikel ini merupakan opini pribadi penulis.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,