Eksotika Alam Dusun Meliau yang Tidak Terlupakan (Bagian 1)

 

 

Dua jam perjalanan menyusuri sungai dan danau dari Desa Lanjak Deras, Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, sungguh tak terasa karena mata dimanja pemandangan eksotik danau purba, Sentarum. Perjalanan ini menuju sebuah perkampungan di DAS Leboyan; Dusun Meliau, di Desa Melemba.

Ada beberapa speed boat yang melayani penumpang menuju Meliau. Tarifnya berdasarkan jenis perahu, antara Rp700 ribu hingga Rp1 juta. Jika kemarau, harganya naik menjadi Rp900 ribu hingga Rp1,2 juta. Speed boat 40 PK dengan kapasitas lima orang, 15 PK dengan kapasitas tujuh orang, serta perahu yang disebut landas 15 dengan kapasitas empat orang, rata-rata tidak menggunakan jaket keselamatan.

Pemandangan sepanjang perjalanan ini memang memukau. Terutama ketika berada di tengah Danau Sentarum, saat terlihat indahnya sekumpulan pohon membentuk pulau-pulau kecil. Punggung Bukit Tekenang yang bebatu cadas, bersinar keemasan karena matahari pagi. Begitu juga dengan bukit lainnya yang mengurung Danau Sentarum seperti Bukit Semujan, Bukit Peninjau, Bukit Lanjak, dan Bukit Nanga Kenelang.

Desa Melemba terdiri dari tiga dusun yakni Dusun Meliau, Manggin dan Sungai Pelaik. Jarak satu dusun dengan dusun lainnya cukup jauh. Satu-satunya jalur transportasi yang menjangkau ketiganya adalah jalur sungai. Desa ini dilintasi Sungai Leboyan sekaligus penyangga Danau Sentarum. Luas desa berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Melemba mencapai 26.186 hektare dengan jumlah penduduk sebanyak 335 jiwa.

Penduduk desa, sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Belakangan mereka mulai memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, seperti madu, rotan, dan pandan laut untuk tikar. Melemba memang memiliki potensi perikanan air tawar yang bagus.

Kawasan sempadan sungainya, membentuk habitat hutan gambut. Hutan gambut ini merupakan habitat bagi spesies yang namanya begitu kita kenal seperti orangutan, owa, bekantan, serta burung enggang.

Dusun Meliau merupakan perkampungan kecil di tepian Sungai Leboyan. Permukiman dusun itu hanya terdiri dari sebuah rumah panjang, serta beberapa rumah warga, sebuah gereja, dan sekolah dasar. Rumah panjang Meliau dihuni kerabat dari Suku Dayak Iban.

 

Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, secara geografis berada di lansekap HoB. Foto: Andi Fachrizal

 

Adalah Sodik Asmoro (37), warga Jombang yang beristri Lingga (30) suku Dayak Iban. Dia berkisah, pertama kali terbersit keinginan untuk menjadi pegiat konservasi, karena melihat dampak kerusakan lingkungan akibat penebangan pohon. Ikan-ikan sulit didapat karena air keruh, sementara lalu lintas sungai padat oleh kayu. Warga pun sulit berburu satwa serta bercocok tanam. Belum lagi bila terjadi kebakaran hutan. Seluruh kegiatan yang berkaitan dengan industri ekstraktif, membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat sekitar.

Wawasan Sodik kian terbuka berkat pendekatan-pendekatan yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat. Salah satunya WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat. “Kami harus menjaga hutan. Kalau hutan tidak ada, air bersih pun tidak ada. Debit air tergantung dari banyaknya pohon di bukit belakang kampung kami,” ujar Sodik.

Bukit yang dimaksud adalah Bukit Peninjau. Di bukit dengan ketinggian sekitar 300 meter itu, terdapat mata air yang tidak pernah surut, bahkan di saat musim kemarau. Kini, air bersih sudah mengalir ke kampung melalui program pipanisasi. Mandi, cuci, kakus tak lagi di sungai.

Kaum perempuan membuat tikar dari pandan laut. Kini, hasil hutan bukan kayu yang diproduksi warga Dusun Meliau itu mempunyai nilai jual tinggi. Kerajinan tangan perempuan Dusun Meliau menjadi souvenir bagi para turis yang datang. Rumah panjang Meliau sekaligus dijadikan homestay untuk turis yang datang. Warga akhirnya mendapatkan manfaat dari menjaga alam dengan ekowisata.

 

Menyusuri sungai merupakan perjalanan menyenangkan menuju Desa Melelemba dan juga Dusun Meliau. Foto: Putri Hadrian

 

Minat khusus

Tak dipungkiri bentang alam di Dusun Meliau masih liar, eksotik, dan alami. Hal ini menjadi magnet bagi turis yang senang dengan wisata minat khusus. “Memang banyak turis mancanegara ketimbang domestik. Soalnya, biaya transportasi dari Putussibau ke Dusun Meliau cukup mahal, terutama sewa speed boat,” kata Sodik.

Menurutnya, sepanjang 2016, terdapat 70 wisatawan asing yang datang ke dusunnya. Jumlah ini meningkat dari tahun ke tahun. Asal wisatawan dari Eropa, Amerika, dan juga beberapa negara Asia, diantaranya Singapura dan Malaysia. “Orang Jerman dan Belanda yang mendominasi,” katanya.

Untuk turis domestik, kebanyakan dari Pulau Jawa. Sebanyak 120 wisatawan tercatat mengunjungi rumah panjang tersebut. Untuk memasarkan wisata di dusunnya, Kelompok Pengelola Pariwisata Kaban Mayas, dibantu Komunitas Pariwisata Kapuas Hulu (KOMPAKH), serta Pemda Kapuas Hulu.

Dusun Meliau sangat mematuhi aturan adat. Termasuk adat yang mengatur tata cara memancing di danau. Misalnya soal banyaknya pemacing. “Tidak boleh ada lebih dari enam pemancing yang pergi. Umpan juga kita awasi, tidak boleh pakai jangkrik, kecoa, atau kodok. Umpan ini disukai arwana,” kata Sodik.

 

Sumber: Dok. RPJMDes Melemba

 

Hermas Maring, pegiat konservasi di Kapuas Hulu menambahkan, aturan-aturan adat ini sebenarnya bertujuan agar ekosistem di kawasan danau bisa dijaga. “Lalu lintas sungai yang terlalu ramai, dapat menyebabkan terganggunya ekosistem danau,” ujarnya.

Ada beberapa aturan pula terkait alat tangkap. Jika menggunakan pukat, mata pukat yang diperkenankan adalah mata pukat kasar. Ukurannya lebih dari 4 inchi. Maksudnya, agar ikan yang terjaring berukuran 2 hingga 3 kilogram. Sementara anak-anak ikan tidak terjaring dan baru dapat ditangkap setelah ukurannya mencukupi. Musim memancing pun harus disesuaikan dengan musim pemijahan ikan arwana. Setiap akhir tahun, selama tiga bulan danau akan ditutup dari segala aktivitas.

“Biasanya ditandai suara kecipak ikan di air. Ikan melemparkan telurnya, sehingga tampak seperti bermanuver di udara. Saat itulah danau ditutup,” tambah Hermas.

Tak hanya itu, ikan jenis lain pun bertelur pada masa yang sama. Bagi para pelanggar, sanksi adat hanya membayar sejumlah uang, sekitar Rp20 ribu hingga Rp50 ribu. Namun, sanksi lainnya si pelanggar tidak diperkenankan ke danau minimal setahun. “Kalau kita dihukum, sama saja mata pencaharian kita hilang,” tambah Sodik. (bersambung)

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,